Mohon tunggu...
Deddy Perdana Bakti
Deddy Perdana Bakti Mohon Tunggu... Human Resources - Seorang HRD perusahaan IT

Lulusan S1 Pendidikan Bahasa Inggris. Suka sepak bola, teknologi, dan keresahan pribadi sehari-hari.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tak Perlu Suka Bola, Kita Semua Harus Mengawal Tragedi Kanjuruhan

6 Oktober 2022   12:38 Diperbarui: 6 Oktober 2022   14:30 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh SURYA/PURWANTO

Setelah Tragedi Kanjuruhan Sabtu malam (01/10/2022) kemarin, banyak tersebar cuplikan video kericuhan di sosial media. Satu dari sekian banyak yang menarik perhatian saya adalah konten tentang seorang orang tua yang kehilangan buah hatinya dengan diiringi lagu berjudul Slipping Through My Finger dari ABBA, band legendaris asal Swedia.

Lagu ini bercerita tentang orang tua yang melihat anaknya bertumbuh dewasa dan bersekolah. Setelah itu, si orang tua menyadari bahwa waktu dan kasih sayang yang telah diberikan masihlah sangat kurang. Sehingga, para orang tua ini hanya bisa menyelipkan jari-jarinya dengan erat karena keresahannya.

Bagi saya, lagu yang bertemakan tentang hubungan orang tua dan anaknya ini selalu memunculkan rasa haru tersendiri. Jangankan berpisah untuk selamanya, untuk melihat orang tua yang harus merelakan berpisah untuk urusan masa depan sang anak saja cukup membuat saya terenyuh.

Perasaan itu juga yang saya rasakan ketika melihat Tragedi Kanjuruhan, Malang, yang merenggut ratusan korban pada Sabtu (01/10/20220) lalu. Pasalnya, dari informasi yang tersebar di berbagai media sosial, banyak juga korban yang meninggal merupakan anak-anak. Komisioner KPAI, Retno Listyarti (03/10/2022), menyampaikan bahwa ada 17 anak yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan pada hari . Bahkan, selang beberapa hari, Deputi Perlindungan Khusus Anak KPPPA, Nahar (05/10/2022), menyatakan bahwa ada 33 anak yang meninggal dunia akibat kejadian pilu ini . Miris, sepak bola yang niatnya dikenalkan sebagai hiburan, kebanggaan, dan olahraga yang digrandungi ini berubah menjadi malapetaka.

Lebih miris lagi, sampai sekarang, belum ada satupun para stakeholder sepak bola tanah air yang berani pasang badan dan mengakui kelalaiannya. Semua masih sibuk lembar dadu. Semua masih mencari pembelaan diri. Seperti tidak berdosa sama sekali. Di sisi lain, banyak orang tua yang kehilangan anak kesayangannya baik di pelukan atau ketika orang tua sedang menanti di rumah sambil menyiapkannya hidangan kesukaannya. Bahkan, beberapa orang tua menemani anak-anak ini untuk pergi selama-lamanya atau sebaliknya.

Siapa sangka, hanya menonton sepak bola, ternyata bisa seburuk ini akibatnya. Tidak sepenuhnya salah orang tua yang mengizinkan anaknya untuk menonton sepak bola, pikir mereka, biasanya aman dan baik-baik saja. Selain itu, membolehkan kepenginan anak juga cara untuk membuat mereka bahagia, bukan?

Tapi sayang, kesalahan dan keburukan tata kelola sepak bola sampai langkah mitigasinya membuat semua terasa getir dirasakan. Kalau melihat fakta-fakta yang tersebar, tidak ada lagi tempat nyaman untuk mencari perlindungan ketika kericuhan terjadi. Sebaliknya, orang-orang yang kita percaya bisa mengamankan suasana justru menjadi salah satu aktor yang turut andil memperburuk jalannya cerita.

Kalau sudah begini, tidak ada kata lain selain usut tuntas dan pembenahan dari semua pihak terkait termasuk supporter. Dan sebaiknya kita harus selalu ikuti proses investigasinya sampai benar-benar jelas.

Kenapa harus usut tuntas?

Ini bukan perang, bukan bencana alam, bukan demonstrasi, dan bukan pula sengketa lahan. Hal-hal yang kita tahu dari awal akan resiko yang bisa saja terjadi. Ini hanya nonton sepak bola. Dimana kalau gol, kita rayakan sambil tertawa. Kalau kalah, ya kita beri nyanyi-nyanyian dukungan untuk menambah semangat. Urusan menang, besok bisa dicari. Urusan nyawa, tidak ada gantinya. Dari berita terbaru, ada 125 lebih nyawa melayang dan masih bertambah jumlahnya. Para petinggi pengurus sepak bola di sana harusnya malu, harusnya malu.

Sebagai seorang orang tua dan penggemar sepak bola tentu saja saya tidak bisa tenang akan hal ini. Rasanya marah, sedih,dan jengkel saja mendengar pernyataan-pernyataan beliau pemangku kebijakan disana yang tidak ada tata kata. Bukannya menghormati mereka yang sedang berduka, para stakeholder tersebut seakan-akan lebih mengkhawatirkan akan adanya sanksi FIFA yang bisa menutup kesempatan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2023 nanti. Selain itu, ketua PSSI, Iwan Bule, memberikan tanggapan akan desakan mundur yang dtujukan untuknya. Iwan Bule (05/10/2022) seperti dilansir Narasi Newsroom, menyatakan bahwa Tragedi Kanjuruhan sepenuhnya adalah tanggung jawab panpel laga antara Arema vs Persebaya. Tentu saja, hal ini tidaklah mengagetkan dan menuai intrik. Rasanya sia-sia, yang kita bisa adalah fokus memberikan simpati dan empati baik dalam bentuk moril dan materiil kepada keluarga yang ditinggalkan. Untuk kedepan, jangan sampai kejadian ini terjadi, bahkan di belahan dunia manapun.

Pikiran saya tidak tenang. Ditambah, hati saya kesal, sedih, dan marah bercampur menjadi satu. Mungkin tidak seburuk apa yang dialami oleh mereka yang kehilangan atau mereka yang merasakan malapetaka tersebut.  Ada ketakutan tersendiri dalam diri ini, pikir saya, nanti anak saya akan bertumbuh besar. Nanti, beberapa dari pembaca mungkin juga akan segera menjadi orang tua. Nanti kita harus merelakan anak kita melakukan hal yang mereka sukai, bisa saja sepak bola, konser, penyampaian suara, atau hal lain yang mengundang banyak massa. Tentu kita tidak mau ada keributan yang terjadi. Tapi, kalaupun ada, kita sebagai warga sipil mempunyai hak untuk mendapatkan penanganan keributan yang tepat oleh aparat terkait. Tidak seperti yang terjadi di Kanjuruhan, Malang.

Selain itu, banyak anak-anak bangsa yang bercita-cita sebagai pemain sepak bola. Banyak yang nanti mungkin suka sepak bola dan menjadi supporternya. Banyak yang bercita-cita sebagai dokter dan mungkin menjadi dokter suatu klub sepak bola. Banyak pula anak-anak yang bercita-cita jadi polisi atau tentara. Jika bukan semua itu, paling tidak, kita yang akan menjadi orang tua. Dari kejadian ini, mari kita jadikan batu lompatan agar mereka-mereka nanti terbekali dengan sikap yang baik. Sehingga tragedi seperti ini tidak akan terjadi lagi.

Yang terhormat Ketum PSSI dan jajarannya, Direktur PT. Liga Indonesia Baru sebagai operator liga, aparat pengamanan, dan seluruh panpel sepak bola, mari kita sambut perubahan agar sepak bola di negeri ini lebih bermartabat kedepannya. Walaupun, revolusi itu mungkin mengorbankan jabatan dan keuntungan komersil. Saya rasa itu semua tidak sebanding dengan ratusan nyawa yang hilang di Kanjuruhan, Malang. 

Kenapa harus usut tuntas?

Mungkin ini belum terjadi di keluarga kita tapi ini terjadi pada sebuah kegiatan yang dekat dengan kita. Ini terjadi pada kegiatan yang kita anggap positif dan aman-aman saja. Maka dari itu, sebelum terlambat, mari kita kawal kejadian ini agar segera ditemukan siapa yang harus bertanggung jawab dan segera dilakukan perbaikan besar-besaran setelahnya. Kita mau bahwa sepak bola adalah salah satu sumber dari lahirnya pemimpin, sahabat, kepedulian, sportifitas, kebanggaan dan hiburan. Mari kita ciptakan lingkungan ramah seperti tadi untuk masa depan anak-anak bangsa.  Kalau ditanya, apakah kita rela jika kelak menjadi korban seperti kejadian semacam ini? Jawabannya tentu satu dan tidak bisa ditawar, tidak.

Maka dari itu, kalau tidak dimulai sekarang kapan lagi. Sebagai generasi penerus bangsa kita harus lebih vokal dan menuntut. Kalau bukan kita siapa lagi. Tidak perlu untuk suka sepak bola untuk mengawal tragedi ini agar dilakukan pembenahan konkret karena kejadian ini bisa terjadi kepada kita semua. Kita semua yang kelak akan menjadi orang tua dan mempunyai anak yang berbeda-beda kemauannya.

Terakhir, sekali lagi, turut berbela sungkawa kepada semua korban yang ditinggalkan. Selain nyawa yang gugur, banyak juga cita-cita manusia yang juga ikut dikubur. Banyak orang tua yang karena kejadian ini benci akan sepak bola. Maaf, kita belum bisa menjadi negara yang memberikan perlindungan yang baik bagi rakyatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun