Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Balap Artikel Utama

Ketika Pembalap Sehebat Marc Marquez Bisa Krisis Kepercayaan Diri, Bagaimana Kita?

12 April 2022   15:40 Diperbarui: 13 April 2022   19:01 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiap orang pasti punya masalah. Ibarat sebuah rumah, di dalamnya pasti ada perkara. Entah, kadarnya besar atau kecil, lingkupnya individu maupun sosial.

Tiap masalah itulah yang kemudian bisa menimbulkan efek dua sisi. Bisa membuat seseorang menjadi buruk dan lemah, bisa pula membuat seseorang menjadi baik dan kuat.

Kadar masalah juga dapat membuat seseorang menanggapinya secara berbeda. Biasanya, makin rumit, makin tidak bisa dihadapi dengan santai. Makin lama masalah itu menyertai kehidupan seseorang, juga bisa membuat orang tersebut makin susah melupakan.

Ketika masalah susah dilupakan, maka pengaruhnya bisa panjang, yakni menumbuhkan efek traumatis. Traumatis seseorang terkadang bisa menjadi lelucon dan dianggap sepele bagi orang lain yang tidak mengalaminya, namun bagi yang mengalami, traumatis adalah mimpi buruk luar biasa yang bisa hadir kapan saja, alias tidak hanya saat tidur.

Orang yang punya traumatis tertentu juga punya dua cara. Menghadapinya untuk melawan dan mengalahkan trauma tersebut. Atau, melupakannya dengan cara mencari hal baru untuk membangun pondasi mental baru yang nantinya bisa diperkokoh dan kalau sewaktu-waktu kenangan buruknya muncul, ia tidak lagi merasa trauma sebesar sebelumnya.

Mempunyai trauma terhadap sesuatu membuat seseorang menjadi lemah. Maka, tidak mengherankan kalau banyak orang mencoba mengusir trauma. Karena, jika seseorang masih punya trauma dan ia tidak bisa melawannya, maka ia akan kehilangan unsur penting dalam bertahan hidup, yakni kepercayaan diri.

Kepercayaan diri penting bagi kita, agar tetap punya semangat untuk bangun dan menjalani setiap aktivitas dan produktivitas kita sehari-hari. Tanpa itu, kita bisa saja tidak ubahnya robot yang hanya menjalani kehidupan dengan "tuntutan program", tanpa ada dorongan sendiri dari akal sehat kita.

Itulah mengapa, ketika seseorang mengalami krisis kepercayaan diri, ia harus dapat segera mengatasinya. Bantuan dari orang terdekat yang mengetahui problematika tersebut juga diperlukan. Tidak selamanya, seseorang bisa bangkit sendiri, ia juga perlu bantuan orang lain, secara langsung maupun tidak langsung.

Jika kepercayaan diri tak kunjung kembali, maka orang tersebut dapat terjebak pada bayang-bayang buruk tentang apa yang pernah ia alami. Yang secara kompleksnya kemudian disebut trauma. Orang yang krisis kepercayaan diri, sebagian besar dipicu oleh susah move on dari kenangan masa lalu yang buruk. Atau, mengalami rentetan masalah yang tidak kunjung padam, yang membuat seseorang menjadi kurang percaya diri.

Jika merujuk pada ulasan di Alodokter, kehilangan kepercayaan diri dapat muncul karena pernah mengalami pengalaman yang buruk, pernah mengalami penindasan, maupun trauma.

Pengalaman buruk dan trauma, kemudian menjadi mimpi buruk bagi Marc Marquez, seorang pembalap hebat di MotoGP saat ini, yang rekam jejak kariernya hampir mirip dengan Valentino Rossi. Ia sudah menjadi juara dunia delapan kali dengan enam diantaranya adalah juara dunia MotoGP.

Capaian kumulatifnya hanya kurang satu dengan Valentino Rossi yang sepanjang dua dekade lebih membalap di MotoGP--dan kelas di bawahnya, telah mengoleksi sembilan gelar juara dunia. Tujuh diantaranya adalah juara dunia MotoGP dan yang dulu disebut GP500.

Di usia yang masih 29 tahun--kelahiran Februari 1993, Marc Marquez sebenarnya sangat berpeluang menyamai bahkan melampaui pencapaian Valentino Rossi. Namun, sejak pernah mengalami cedera horor pada 2020 lalu, ia masih kesulitan untuk kembali bersaing di jalur juara.

Kesialan-kesialan juga Marquez alami, seperti kecelakaan di latihan motocross pada akhir musim 2021, yang membuatnya cedera kepala dan penglihatan ganda (diplopia). Imbasnya, ia mengakhiri musim lebih cepat saat balapan masih menyisakan dua seri pamungkas.

Begitu pula di awal musim ini (2022), pembalap Repsol Honda tersebut harus mengalami mimpi buruk kala beraksi di MotoGP Indonesia di Mandalika. Marquez mengalami empat kecelakaan dengan salah satunya adalah kecelakaan high side di sesi pemanasan (warm-up) Minggu pagi (20/3). Akibatnya, ia absen di balapan yang digelar sore.

Pasca-kecelakaan tersebut, Marquez harus absen di MotoGP Argentina (3/4) pada seri ketiga musim ini. Namun, kakak Alex Marquez, dapat kembali ke MotoGP Amerika di COTA akhir pekan lalu (10/4). Di sinilah, ia sempat mengatakan jika dirinya kehilangan kepercayaan diri.

Meski begitu, ia dapat memulai balap GP COTA dari posisi sembilan. Hanya saja, di sini, ia juga mengalami kesialan, yakni pengaturan pada motornya yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya untuk start. Akibatnya, Marquez harus turun sampai di urutan paling belakang saat memasuki tikungan pertama.

Namun, di sinilah, kita dapat melihat bahwa Marc Marquez punya kemauan besar untuk melawan kelemahannya--sedang inferior, dan kenahasannya--gagal start bagus. Pembalap yang identik dengan nomor 93 tersebut kemudian terus melaju dan sampai akhirnya berhasil menuntaskan balap di posisi enam dari 24 pembalap di starting grid.

Artinya, Marc Marquez adalah contoh bagaimana seseorang perlu tetap berjuang meski sedang krisis kepercayaan diri. Ia pun beruntung tetap mendapatkan dukungan dari orang sekitarnya, yakni tim medis yang mengizinkannya kembali membalap di COTA, dan tim balapnya yang tetap percaya jika Marquez bisa melakukan sesuatu di COTA.

Dampaknya, Marc Marquez kini mengaku telah kembali punya kepercayaan diri untuk menatap seri balap selanjutnya di MotoGP 2022. Inilah yang membuat kita juga perlu melakukan hal sama ketika sedang berada di titik kehilangan kepercayaan diri.

Mengakui diri sedang krisis kepercayaan diri tidak masalah, namun bukan berarti tetap tenggelam dalam lubang ketidakpercayaan diri selamanya. Jika tidak bisa mengatasi sendiri dan bangkit sendiri, maka perlu menurunkan ego dengan meminta bantuan kepada orang lain, terutama orang terdekat yang tahu cara tepat untuk membantu kita. ***

Malang, 12 April 2022

Deddy Husein S.

Terkait: Kompas.com, Alodokter.com 1 dan 2, CNNIndonesia.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Balap Selengkapnya
Lihat Balap Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun