Setelah membaca berita-berita seputar seri ketiga MotoGP 2022 di GP Argentina (4/4 dini hari WIB), saya tetap berpegang pada penilaian saya pasca-menonton siaran langsung balapan di Sirkuit Termas de Rio Hondo tersebut. Menurut saya, bukan hanya Aleix Espargaro, Jorge Martin, dan Alex Rins yang patut dipuji, namun juga Fabio Quartararo.
Meskipun sang juara dunia MotoGP 2021 tersebut hanya mampu finis kedelapan, saya melihat dia adalah sosok 'the true champion'. Apa maksudnya?
Maksudnya adalah Quartararo membalap dengan mengejar konsistensi dalam meraih poin. Memang, dia tidak meraih kemenangan atau pun podium, namun jangan lupa, bahwa ini masih di seri ketiga, sedangkan jumlah seri balap MotoGP 2022 mencapai 21 seri. Artinya, masih ada 18 balapan lagi, bro and sis!
Maka dari itu, ketika saya melihat Quartararo hanya mendapatkan nilai 5 dari Crash, hanya karena ia dari posisi start keenam lalu finis di posisi delapan, saya merasa itu kurang tepat. Kita harus melek dengan fakta di lintasan bahwa siapa pembalap Yamaha yang lebih baik dari Quartararo?
Tidak ada!
Bahkan, Franco Morbidelli, sang tandem harus mengalami masalah teknis pada motornya. Begitu pula dengan pembalap gaek, Andrea Dovizioso di tim satelit, Yamaha WithU RNF. Mantan pembalap Ducati Corse itu untuk kedua kalinya secara beruntun harus gagal finis karena masalah teknis pada motornya.
Hal yang sama ia alami ketika membalap di MotoGP Indonesia Maret lalu (20/3). Tentu, kita juga tidak bisa mengharap banyak pada Darryn Binder yang seorang debutan (rookie) dan menggunakan motor paling tua di grid, yakni motor 2019.
Jika motor Yamaha (YZR-M1) 2022 saja kecepatannya sudah tidak sanggup bersaing dengan motor lain, apalagi motor M1 2019. Mau mengharap apa? Mengharap hujan?
Sedangkan, pada balapan di Argentina dan nanti di GP Cota (11/4 dini hari WIB), Amerika Serikat (AS), cuaca pun diprediksi akan 11-12 dengan Argentina. Jika di Indonesia sedang sering hujan, di benua Amerika sepertinya sedang cerah, walaupun temperaturnya tidak sepanas Mandalika yang versi cerah.
Artinya, apa yang dilakukan Quartararo di Argentina sudah yang paling maksimal. Ia sudah berupaya keras kembali ke barisan depan setelah tercecer di putaran awal. Dengan motor yang "kentang" di trek lurus, jelas apa yang dilakukan Quartararo dengan Yamaha-nya adalah pemandangan luar biasa.
Itulah kenapa, ketika banyak orang memuji Aleix Espargaro, saya hanya ingin mengingatkan, bahwa Espargaro pembalap tua yang selama ini kesulitan bersaing kompetitif dengan pembalap yang senior, seangkatan, hingga yang lebih muda darinya. Memang, ia belum pernah mengendarai motor terbaik di MotoGP sepanjang kariernya, namun sekalipun Aprilia saat ini sedang menunjuk progres luar biasa, saya pikir, ia masih belum tentu akan meneruskan tren bagusnya.
Akan ada sirkuit-sirkuit yang membuat Aprilia hanya akan mentok di baris tengah. Itu pun jika Espargaro tidak berupaya mendorong motornya melebihi batas. Jika ia melakukannya, potensi kecelakaan (crash) dan gagal finis pun masih bisa terjadi.
Baca juga: Aprilia 2021, Meniru Juga Bisa Bawa Berkah
Selain itu, Espargaro belum pernah merasakan tingginya tekanan di puncak klasemen pembalap. Sekalipun ia paling tua kedua setelah Dovizioso, saya masih sangsi dengan kemampuannya dalam mengelola tekanan besar tersebut.
Sedangkan, masih banyak pembalap lain yang punya pengalaman mengelola tekanan tersebut. Bahkan, tidak harus yang berpengalaman di MotoGP, di kelas di bawahnya pun, banyak pembalap yang punya pengalaman lebih baik dalam urusan mengelola tekanan tersebut.
Selain Quartararo dan Joan Mir yang sudah pernah juara dunia MotoGP, tentu kita perlu melihat adanya Enea Bastianini yang merupakan mantan juara Moto2. Pengalaman tersebut tentu sangat berguna dalam bersaing di kejuaran dunia MotoGP, yang notabene belum pernah dimiliki Espargaro selama membalap di Moto3 (sebelumnya 125cc), Moto2 (sebelumnya 250cc), dan apalagi MotoGP.
Saya lebih melihat jika apa yang dialami Espargaro adalah fase di mana ia akhirnya mampu memaksimalkan perkembangan motornya ke arah yang lebih baik. Ditambah, keberadaan Maverick Vinales di Aprilia yang punya pengalaman memenangkan balapan lebih banyak darinya--saat di Suzuki Ecstar dan Yamaha Factory, bisa saja menjadi pelecut semangat Espargaro untuk membuktikan diri, bahwa ia masih harus diberi respek.
Saya sih mempunyai respek dan mengapresiasi atas pencapaiannya di Argentina tersebut. Namun, saya cenderung melihat pencapaian Espargaro cenderung wajar, karena ia berada di motor yang cocok dengan karakter sirkuit.
Terbukti, Maverick Vinales pun bisa finis kelima. Termasuk membuktikan bahwa sirkuit Termas de Rio Hondo ini punya kecenderungan cocok bagi motor-motor bertenaga besar terutama untuk melahap trek lurusnya yang mencapai 1000-an meter.
Artinya, jika Quartararo dengan motornya yang "abal-abal" di trek lurus saja masih bisa finis kedelapan, maka saya masih yakin kalau di sirkuit lain yang minim lintasan lurus panjang yang menyiksa motor Yamaha seperti Termas de Rio Hondo ini, Quartararo akan bisa meraih hasil yang lebih baik.
Dan, ketika saya melihat perjuangan Quartararo dalam menaklukkan motornya yang banyak masalah tersebut di Argentina tersebut, maka saya masih yakin jika dialah pembalap yang patut ditandai dalam kejuaraan MotoGP musim ini. Enea Bastianini dan Aleix Espargaro boleh mencicipi puncak klasemen sementara di awal musim ini, namun patut kita nantikan siapa yang paling konsisten hingga akhir musim nanti.
---
Malang, 4-4-2022
Deddy Husein S.
Terkait: Crash.net, Kompas.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI