Bentuk yang selama ini masih saya hindari, karena bersifat melaporkan, bukan mengulas atau menanggapi suatu kejadian. Jumlah katanya pun sebaiknya efektif, alias tidak kependekan juga tidak kepanjangan.
Jika dalam menulis artikel, sebaiknya dapat menyajikan fokus tulisan yang sejelas-jelasnya dan beralur. Maka, dalam menulis berita, sebaiknya lebih lugas meskipun tetap ada alurnya.
Pembukaan, isi, dan penutup tetap ada di berita. Hanya saja, tidak perlu disajikan secara rinci, yang penting fokus topiknya sudah jelas.
Unsur-unsur yang paling utama muncul dalam berita adalah menjawab pertanyaan yang berawal dari 'apa' dan 'mengapa'. Seperti, "apa isi RUU PPRT yang diusung oleh Adang Daradjatun", dan "mengapa fraksi PKS mendukung RUU PPRT dalam sidang paripurna DPR RI".
Tentu, semua proses kepenulisan menghadirkan pengalaman yang berbeda. Termasuk saat saya akhirnya berani menulis berita dan bukan tentang bidang yang saya sukai.
Pengalaman menariknya adalah pertama kalinya saya harus betul-betul mendengarkan kalimat yang diucapkan oleh figur yang berbicara untuk dimasukkan dalam bentuk kutipan ke dalam berita.
Supaya kalimatnya otentik, maka harus diputar berkali-kali sembari menulis setiap kata yang terucap. Inilah yang biasanya disebut sebagai transkrip.
Selama ini, saya tidak pernah membuat kutipan dari ungkapan seseorang ketika mencantumkan persepsinya, karena saya tidak suka menggunakan susunan kalimat yang sama dan persis.
Selain dapat meningkatkan persentase plagiasi--jika ungkapannya sudah beredar secara tekstual, juga dapat membuat saya harus mencermati setiap kata yang terucap dan harus menyalinnya ke bentuk tulisan yang tidak terutak-atik, demi menjaga keotentikannya.