Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Ketika Pemandangan Semifinal Leg 1 Timnas Indonesia seperti Liga 1

23 Desember 2021   02:09 Diperbarui: 23 Desember 2021   11:15 1641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh hasil dari pemainan tim semenjana di EPL (skor 2-2). Sumber: via Google/search: epl

Laga pertama semifinal Piala AFF 2020 untuk Timnas Indonesia sudah tergelar (22/12). Indonesia yang bertemu dengan Timnas Singapura harus puas dengan hasil imbang, 1-1.

Sebenarnya, saya melihat hasil ini dengan dua sisi. Kurang bagus dan bagus.

Kurang bagus, karena Indonesia kehilangan keunggulan karena kesalahan di lini pertahanan sendiri. Dan Singapura akhirnya bisa mengeksekusi peluang tersebut menjadi gol, setelah yang sebelum-sebelumnya hampir gol.

Di sisi lain, saya melihat ini hasil yang bagus, karena sebenarnya Indonesia nyaris kalah kalau para pemain Singapura lebih presisi dalam mengeksekusi peluang. Termasuk, jika mereka beruntung, seperti sebuah peluang Singapura yang terkena tiang kanan gawang Nadeo.

Artinya, mau tidak mau, laga ini dianggap hasil yang bagus dan masih memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk ke final.

Saya pun menganggap hasil ini tetap bagus, karena di laga kedua, kedudukan masih seperti tidak ada laga pertama. Dan, saya berpikir kalau mungkin ini masuk dalam perhitungan terburuk yang sudah dipikirkan Shin Tae-yong.

Meski begitu, saya juga yakin kalau Singapura akan berupaya menyiapkan strategi permainan yang lebih baik di laga kedua nanti. Termasuk, Indonesia yang pasti akan melakukan evaluasi besar-besaran.

Evaluasi pertama, pemain belakang Indonesia cenderung terlalu percaya diri dalam menguasai bola. Imbasnya, mereka terlalu lama menguasai bola, terutama secara individual.

Seperti yang dilakukan Pratama Arhan. Hampir saja, Indonesia kebobolan karena Pratama kehilangan bola dan para pemain Singapura berhasil masuk ke dalam kotak penalti Indonesia.

Rachmat Irianto juga begitu. Namun, kesalahannya dalam menguasai bola kemungkinan besar karena penurunan stamina. Ini yang membuat fokusnya mulai menurun.

Beruntung, Shin Tae-yong lekas mengganti Irianto dengan Evan Dimas. Ini yang kemudian membuat Timnas Indonesia mulai sedikit membaik, terutama dalam mengontrol bola.

Kedua, pemain Indonesia kurang tenang saat membangun serangan. Ini lebih terlihat di babak kedua, dibanding pada babak pertama.

Padahal, jika dibandingkan dengan di babak pertama, tempo serangan Indonesia sedikit lebih lambat di babak kedua. Tetapi, ketika melakukan operan terobosan, seringkali terlihat tidak sesuai dengan pergerakan pemain yang ingin dituju.

Alhasil, pembangunan serangan Indonesia banyak yang terbuang sia-sia. Ini mengakibatkan Singapura lebih tenang, fokus, dan yakin bahwa kesempatan untuk menyamakan kedudukan lebih terbuka.

Artinya, secara mentalitas, pemain Singapura terbantu dengan penurunan efektivitas serangan Indonesia. Ditambah dengan taktik pergantian pemain yang dilakukan pelatih Singapura yang terlihat tepat.

Justru, Indonesia yang terlihat sedikit kurang tepat dalam pergantian pemain lewat pergantian Rizky Ridho dengan Elkan Baggott. Baru kali ini, Elkan terlihat kekurangannya, yaitu dalam hal mobilitas.

Dia kesulitan diajak berlari cepat jarak pendek oleh pemain-pemain lincah Singapura. Ini yang membuat kekokohan pertahanan Indonesia sedikit memudar. Mungkin, faktor kelelahan akibat jadwal padat memengaruhi.

Namun sekali lagi, Indonesia beruntung, karena timnas Singapura bisa dikatakan kurang mempunyai penyerang dengan naluri predator seperti Vietnam dan Thailand. Mereka hanya punya pemain yang dinamis dan skillfull.

Sedangkan, yang bisa menjadi andalan mencetak gol adalah Ikhsan Fandi. Penyerang bernomor punggung 9 ini patut diakui kualitasnya sebagai penyerang yang tenang dalam mengeksekusi peluang.

Lalu, evaluasi ketiga adalah turunan dari poin kedua, yaitu akurasi operan. Baik operan terobosan, operan pendek, apalagi operan jauh. Sungguh memilukan untuk memandangnya.

Poin inilah yang kemudian membuat saya menganggap semifinal leg pertama ini seperti pertandingan Liga 1. Hanya saja, sedikit lebih enak dilihat.

Ditambah, atmosfernya adalah timnas. Maka, mau tidak mau harus dipelototin seluruh jalannya pertandingan sampai tuntas.

Seandainya, ini pertandingan Liga 1, saya pasti akan menyelingi aktivitas menontonnya dengan merebus air, menyeduh teh hangat, atau malah makan malam. Kenapa begitu?

Karena, permainan direct football hanya akan enak dilihat kalau kualitas teknik dasar pemain bagus. Akurasi tendangan, pemosisian pemain, dan pergerakan dalam mengisi ruang kosong mencapai titik kesinkronan.

Kalau tiga hal itu tidak sinkron, pemandangannya menjadi buruk. Kalau penonton saja tidak senang, apalagi pelatih?

Inilah yang kemudian saya harap dievaluasi. Sekali lagi, saya tidak menuntut akurasi operan yang diperbaiki, tetapi lebih ke kemampuan pemain dalam mengisi ruang gerak.

Baca juga: "Ketika Timnas Indonesia Menjadi Korea Selatan 0.5"

Kalau pemain bisa mencari ruang gerak yang tepat untuk menerima bola yang mungkin akan sedikit asal-asalan, kemungkinan untuk direbut oleh lawan akan sedikit.

Mungkin, saya ingin memberi contoh lewat proses gol Witan. Alasan kuat dari keberhasilan kerja sama antara Witan dengan Asnawi dikarenakan dua pemain ini bisa mengisi ruang gerak dengan tepat.

Witan bisa mencari ruang kosong, dan Asnawi juga bergerak ke ruang yang kosong. Bolanya pun sebenarnya mengarah ke ruang kosong, terutama yang dilakukan Witan ke Asnawi.

Gol Witan dari sinkronisasi antara pergerakan pemain mengisi ruang yang tepat dan akurasi operan. Sumber: AFP/Roslan Rahman/via Kompas.com
Gol Witan dari sinkronisasi antara pergerakan pemain mengisi ruang yang tepat dan akurasi operan. Sumber: AFP/Roslan Rahman/via Kompas.com

Ketika pergerakan dan pemosisian sudah tepat, tingkat akurasi operannya pun akan terlihat lebih baik. Dan sejauh ini, Indonesia memang lebih tepat kalau bermain dengan sistem operan bola pendek.

Kalaupun harus melakukan operan bola panjang, harus memastikan terlebih dahulu, bahwa ada indikasi dari pemain tertentu yang bergerak ke ruang kosong. Ini seperti pergerakan Irfan Jaya yang sempat dilayani Evan Dimas.

Sayangnya, Irfan Jaya kurang tenang, dan bola juga sedikit lebih kencang. Momen bagus itu pun harus menjadi hampa.

Uniknya, pemandangan ini juga terjadi di Singapura. Permainannya 11-12 dengan Indonesia. Salah oper, salah posisi, dan kurang tahu harus bergerak ke mana.

Bola-bola jauh dan operan terobosan kurang lancar di babak kedua, itu merusak momentum Timnas Indonesia. Sumber: Dokumentasi PSSI/via Kompas.com
Bola-bola jauh dan operan terobosan kurang lancar di babak kedua, itu merusak momentum Timnas Indonesia. Sumber: Dokumentasi PSSI/via Kompas.com

Inilah yang kemudian mempertebal kesan saya dalam menilai laga ini seperti pertandingan yang sering disuguhkan di Liga 1. Kebanyakan klub di Liga 1 bermain seperti Serie A, yang bermain bola-bola panjang.

Kalau tidak percaya, silakan cek di bagian referensi yang saya cantumkan di bagan "Terkait". Di situ, bahkan ada analisis dan data yang menggambarkan permainan Liga 1 seperti apa.

Bentuk permainan di kompetisi sepak bola tertinggi Indonesia ini juga cenderung seperti English Premier League, jika yang bermain klub semenjana. Bedanya, kualitas teknik dasar di pemain EPL masih lebih bagus. Dan tentu saja, saya malas menonton klub semenjana bermain.

Contoh hasil dari pemainan tim semenjana di EPL (skor 2-2). Sumber: via Google/search: epl
Contoh hasil dari pemainan tim semenjana di EPL (skor 2-2). Sumber: via Google/search: epl

Contoh hasil permainan semenjana lainnya di EPL yang dibedakan dengan kualitas di lini depan (Arsenal menang 1-4). Sumber: via Google/search: epl 
Contoh hasil permainan semenjana lainnya di EPL yang dibedakan dengan kualitas di lini depan (Arsenal menang 1-4). Sumber: via Google/search: epl 

Sedangkan di Serie A, saya seperti melihat permainan direct football sebagai tren saat ini. Padahal, di sana sebenarnya banyak diisi oleh pemain-pemain tua.

Tetapi, permainan mereka justru mengandalkan kecepatan berlari untuk segera mengisi ruang kosong di lini depan maupun lini belakang. Unik!

Contoh hasil dari permainan minimalis di kelas bigmatch-nya Serie A (Napoli menang 0-1). Sumber: via Google/search: serie a
Contoh hasil dari permainan minimalis di kelas bigmatch-nya Serie A (Napoli menang 0-1). Sumber: via Google/search: serie a

Contoh hasil dari direct football yang dimenangkan tim yang jago mengeksekusinya (AS Roma menang 1-4). Sumber: via Google/search: serie a
Contoh hasil dari direct football yang dimenangkan tim yang jago mengeksekusinya (AS Roma menang 1-4). Sumber: via Google/search: serie a

Meskipun, saya cenderung kurang menyukai permainan direct football, terkadang saya menilai permainan seperti itu terkesan seru. Apalagi, kalau ternyata tim yang didukung menang.

Itu pula yang akan saya rasakan jika Timnas Indonesia menang. Kalau Indonesia bisa menang dengan skema direct football, maka itu akan menjadi kelebihan, karena artinya Indonesia telah efektif dan presisi dalam membuat dan mengeksekusi peluang.

Hanya saja, hal itu tidak terjadi di laga pertama semifinal ini. Inilah yang kemudian membuat saya sangat berharap bahwa Indonesia tidak mengulangi pemandangan seperti ini di semifinal kedua (25/12).

Saya pun kemudian berpikir, bahwa ada kemungkinan jika Indonesia menang di semifinal kedua dan lolos ke final, maka ada keraguan untuk timnas kita bisa juara.

Karena, lawannya nanti sudah pasti punya kualitas pembangunan serangan yang lebih bagus dari Singapura. Mereka juga punya efektivitas di lini serang yang lebih bagus.

Dan mungkin, taktik bertahan Shin Tae-yong tidak bisa efektif lagi di final. Karena, pelatih Thailand maupun Vietnam pasti sudah mempelajari taktik bertahan dari Indonesia saat melawan Vietnam di fase grup.

Inilah yang kemudian menjadi tantangan bagi Shin Tae-yong. Patut dinantikan cara pelatih asal Korea Selatan ini menghadapi langkah selanjutnya, terutama di semifinal kedua, nanti.

Meski saya sedikit pesimis, saya tetap punya harapan yang tidak bisa ditawar dengan hal lain. Harapan ini adalah Shin Tae-yong harus tetap melatih Timnas Indonesia, selama mungkin.

Karena, segala pemandangan yang ada di Piala AFF 2020 adalah bagian dari Timnas Indonesia berproses bersama Shin Tae-yong. Apa pun yang terjadi di Piala AFF 2020, Shin Tae-yong harus tetap bersama timnas kita. Tidak ada pilihan lain.

Statistik serba minimalis kedua tim di babak pertama. Sumber: via Google/search: aff cup
Statistik serba minimalis kedua tim di babak pertama. Sumber: via Google/search: aff cup

Statistik
Statistik "istimewa" hanya di jumlah pelanggaran. Sumber: via Google/search: aff cup

Malang, 23 Desember 2021

Deddy Husein S.

***

Terkait: Kompas.com 1, Kompas.com 2, Lapangbola.com, Tribunnews 1, Tribunnews.com 2, Pikiranrakyat.com, Bolanas.bolasport.com.

Baca juga: Irfan Jaya, Aktor Utama Kemenangan Timnas Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun