Kedua, pemain Indonesia kurang tenang saat membangun serangan. Ini lebih terlihat di babak kedua, dibanding pada babak pertama.
Padahal, jika dibandingkan dengan di babak pertama, tempo serangan Indonesia sedikit lebih lambat di babak kedua. Tetapi, ketika melakukan operan terobosan, seringkali terlihat tidak sesuai dengan pergerakan pemain yang ingin dituju.
Alhasil, pembangunan serangan Indonesia banyak yang terbuang sia-sia. Ini mengakibatkan Singapura lebih tenang, fokus, dan yakin bahwa kesempatan untuk menyamakan kedudukan lebih terbuka.
Artinya, secara mentalitas, pemain Singapura terbantu dengan penurunan efektivitas serangan Indonesia. Ditambah dengan taktik pergantian pemain yang dilakukan pelatih Singapura yang terlihat tepat.
Justru, Indonesia yang terlihat sedikit kurang tepat dalam pergantian pemain lewat pergantian Rizky Ridho dengan Elkan Baggott. Baru kali ini, Elkan terlihat kekurangannya, yaitu dalam hal mobilitas.
Dia kesulitan diajak berlari cepat jarak pendek oleh pemain-pemain lincah Singapura. Ini yang membuat kekokohan pertahanan Indonesia sedikit memudar. Mungkin, faktor kelelahan akibat jadwal padat memengaruhi.
Namun sekali lagi, Indonesia beruntung, karena timnas Singapura bisa dikatakan kurang mempunyai penyerang dengan naluri predator seperti Vietnam dan Thailand. Mereka hanya punya pemain yang dinamis dan skillfull.
Sedangkan, yang bisa menjadi andalan mencetak gol adalah Ikhsan Fandi. Penyerang bernomor punggung 9 ini patut diakui kualitasnya sebagai penyerang yang tenang dalam mengeksekusi peluang.
Lalu, evaluasi ketiga adalah turunan dari poin kedua, yaitu akurasi operan. Baik operan terobosan, operan pendek, apalagi operan jauh. Sungguh memilukan untuk memandangnya.
Poin inilah yang kemudian membuat saya menganggap semifinal leg pertama ini seperti pertandingan Liga 1. Hanya saja, sedikit lebih enak dilihat.
Ditambah, atmosfernya adalah timnas. Maka, mau tidak mau harus dipelototin seluruh jalannya pertandingan sampai tuntas.