Bahkan, sosok kreatif seperti Evan Dimas yang hobi melakukan operan jarak jauh juga bisa melakukan kesalahan operan saat momennya sangat penting bagi Indonesia untuk menyerang balik. Ini yang membuat taktik Shin Tae-yong masih belum sukses.
Saya menganggap Timnas Indonesia seperti ingin dibawa Shin Tae-yong bermain ala Timnas Korea Selatan di Piala Dunia 2018 melawan Jerman. Hanya saja, pemain Indonesia masih berada di bawah kualitas Son Heung-min dkk, terutama dalam akurasi operan.
Padahal, dalam skema permainan pragmatis, akurasi operan, terutama untuk serangan balik, itu adalah kunci utamanya. Bahkan, tim sekelas Laos saja--dengan respek menyertai--bisa melakukannya, sedangkan kita masih belum bisa melakukannya.
Itu yang kemudian membuat saya juga menaruh angka 0.5. Artinya, masih setengah dari harapan yang ideal.
Soal taktik bertahan, Indonesia bisa dikatakan selevel dengan apa yang diharapkan Shin Tae-yong. Tetapi, dalam taktik serangan balik, Indonesia belum selevel dengan harapan Shin Tae-yong.
Tentu saja, kita masih sangat bisa berharap bahwa para jagoan kita ini bisa mengevaluasi kualitas mereka. Minimal, berlatih menyusun ruang gerak.
Artinya, mereka berlatih melakukan pergerakan paling maksimal untuk menjangkau titik terjauh maupun titik terdekat dari bola yang dioper. Bukan mengandalkan daya dorong akurat dari kaki si pengoper saja.
Konsep ini juga berlaku dalam momen seperti yang dialami Ramai Rumakiek saat membangun serangan. Serangannya kemudian patah, karena operannya terlalu pelan saat melakukan backpass ke Evan.
Dalam konteks ini, berarti bukan hanya karena Ramai tidak bisa akurat dalam memberi operan, tetapi Evan juga tidak tahu ruang gerak yang harus dia bentuk agar dapat mendukung pergerakan Ramai.
Padahal, di momen seperti ini, setiap pemain yang sedang membawa bola apalagi dengan gerakan eksplosif harus terus diikuti oleh teman-temannya. Inilah yang menurut saya perlu diperbaiki.