Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Perempuan Kompasianer Mendominasi Nominee Best in Opinion, Kok Bisa?

27 November 2021   19:47 Diperbarui: 27 November 2021   20:02 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Laman akun Jeniffer Gracellia. Sumber: Kompasiana.com/jeniffer68599

Ketika sedang berada di laman situs mikro Kompasianival 2021, saya menemukan pemandangan menarik saat akan melakukan 'pemungutan suara' beberapa waktu lalu.

Perlu diketahui bagi yang belum terlalu mengenal Kompasiana, bahwa dalam Kompasianival terdapat Kompasiana Awards. Di situ terdapat empat nominasi untuk menempatkan kompasianer-kompasianer terbaik sesuai bidangnya masing-masing selama setahun berkecimpung di laman blog komunal Kompasiana.

Empat nominasi itu adalah 'Best in Specific Interest', 'Best in Citizen Journalism', 'Best in Fiction', dan 'Best in Opinion'.

Kalau membaca ulasan salah seorang kompasianer, Rudy Gunawan, tentu pembaca menemukan pembahasan tentang minimnya perempuan kompasianer di empat nominasi tersebut--meski meningkat dari tahun 2020. Faktanya memang dari 20 nominee, hanya ada empat perempuan yang masuk ke deretan orang-orang yang deg-degan saat malam penghargaan (27/11).

Mereka adalah Irmina Gultom, Luna Septalisa, Kazena Krista, dan Jeniffer Gracelia. Dari empat nama tersebut, Irmina Gultom adalah yang paling senior.

Irmina Gultom sudah ada di Kompasiana sejak 2012. Sumber: Kompasiana.com/irmina.gultom
Irmina Gultom sudah ada di Kompasiana sejak 2012. Sumber: Kompasiana.com/irmina.gultom

Irmina juga yang menjadi satu-satunya perempuan kompasianer yang nangkring di "panggung" Specific Interest, karena dia cenderung fokus membahas topik-topik tentang dunia medis. Faktor status sebagai praktisi memang sangat menunjang peluangnya untuk mengulas hal tersebut.

Bagaimana dengan yang lain?

Tiga nama lain secara kompak mejeng di "panggung" Opinion. Artinya, di balik minoritas mereka secara umum di panggung besar, mereka masih bisa menunjukkan dominasi di panggung khusus.

Tentu, tidak ada asap jika tidak ada api. Keberadaan tiga nama tersebut di nominasi Best in Opinion jelas ada faktor-faktor penunjang.

Walaupun, saya jarang melakukan blogwalking di Kompasiana, saya masih pernah berkesempatan untuk membaca artikel-artikel dari ketiganya. Bahkan, saya merasa beruntung, bahwa ketiga nominee ini cenderung sudah pernah saya baca dan saya ikuti rentetan tulisannya minimal dalam kurun waktu sebulan--sebelum mereka kini dinominasikan.

Ketika saya menulis ini, saya harus kembali mengunjungi laman akunnya untuk membaca artikel-artikel mereka, terutama yang terbaru. Ini perlu saya lakukan, agar pengamatan sederhana saya masih cukup otentik.

Dari tiga nama itu, Luna Septalisa yang paling lama saya ikuti rentetan tulisannya. Dari yang awalnya saya tahu dia menulis puisi--seingat saya, sampai kemudian dia rajin menulis opini terkait lingkungan, lifestyle, hingga finansial.

Contoh tulisan Luna.

Laman akun Luna Septalisa. Sumber: Kompasiana.com/lunaseptalisa
Laman akun Luna Septalisa. Sumber: Kompasiana.com/lunaseptalisa

Kemudian, Kazena Krista yang sempat cukup rutin saya baca artikel-artikelnya dalam waktu tertentu. Kazena juga mirip Luna yang cukup rajin menulis karya fiksi.

Contoh tulisan fiksi Kazena.

Namun, keduanya cenderung punya tendensi yang berbeda dalam melahirkan anak-anak fiksinya. Perbedaan keduanya juga terlihat di tulisan nonfiksi.

Cara bertutur Kazena cenderung kekinian, meski masih kurang seluwes kompasianer lain, misalnya Syarifah Lestari atau Yana Haudy. Dua kompasianer yang se-pengamatan dangkal saya, sudah sangat berpengalaman di dunia menulis kreatif.

Tentu, sebenarnya, masih banyak juga yang bisa dijadikan rujukan tentang gaya menulis nonfiksi yang luwes. Terutama, yang diracik oleh perempuan kompasianer.

Laman akun Kazena Krista. Sumber: Kompasiana.com/kazenakrista_
Laman akun Kazena Krista. Sumber: Kompasiana.com/kazenakrista_

Bagaimana dengan Jeniffer Gracellia?

Seingat saya, saya membaca tulisan-tulisan Jeniffer hampir bersamaan dengan waktu saya mulai membaca tulisan-tulisan dari Siska Dewi dan sebuah komunitas di Kompasiana yang bernama Inspirasiana.

Seingat saya, Jeniffer cenderung langsung dominan dalam menyajikan tulisan nonfiksi, yang kemudian berisi curahan-curahan opini yang otentik. Ini dikarenakan, Jeniffer sering mengandalkan pengalamannya dalam menggugah gagasan yang dia miliki.

Contoh tulisan Jeniffer.

Laman akun Jeniffer Gracellia. Sumber: Kompasiana.com/jeniffer68599
Laman akun Jeniffer Gracellia. Sumber: Kompasiana.com/jeniffer68599

Ketiganya tentu punya gaya menulis tersendiri, meski sama-sama berada di panggung 'Opini'. Namun, karena ini adalah kompetisi, maka harus dicari yang terbaik, atau yang sesuai dengan pilihan mayoritas.

Terlepas dari siapa yang menang, saya tetap menganggap keberadaan mereka di kategori opini patut diapresiasi. Dan menurut saya, ada tiga faktor yang bisa menjadi pemicu eksistensi mereka di kategori tersebut.

Pertama, mereka mampu beradaptasi. Bisa dalam arti sempit, yaitu ekosistem di Kompasiana. Bisa juga dalam arti luas, yaitu ekosistem dunia literasi digital.

Luna Septalisa adalah salah satu contoh perempuan kompasianer yang terlihat survive di Kompasiana. Saya seperti melihat adanya usaha untuk berkembang, selain ingin tetap ada, alias eksisten.

Contoh tulisan fiksi Luna.

Apakah berarti penulis fiksi dianggap tidak berkembang jika tidak menulis nonfiksi?

Sebenarnya, tidak juga. Penulis fiksi sangat bisa dianggap berkembang, jika karya-karya fiksinya masih bisa mempertemukan antara renungan pribadi (personal sentimental) dengan kejadian sosial (social issues).

Itu menurut saya.

Selain itu, melebarkan sayap dari penulis fiksi ke penulis nonfiksi juga merupakan hak semua orang. Termasuk, bagi mereka yang awalnya "besar" di kategori nonfiksi kemudian beralih ke fiksi. Itu juga pilihan.

Kedua, mereka mampu mengolah pengalaman menjadi narasi-narasi yang bisa dipertanggung-jawabkan. Modal menulis paling bagus memang pengalaman.

Ini bisa dilihat dari Kazena yang berbagi opininya dengan keresahan yang berdasarkan kejadian yang ia alami. Salah satunya dengan mengungkapkan unek-unek seputar kualitas tontonan sinetron Indonesia.

Luna juga tidak jarang memberikan opininya terkait hal-hal yang sepertinya pernah dialami. Salah satunya seperti, kiat-kiat dalam dunia investasi saham.

Jeniffer pun bisa dikatakan royal dalam berbagi pengalamannya dalam melihat realitas. Terutama, yang sedang naik di meja rumpi digital.

Ulasannya tentang aktivitas yang terjadi di sekitarnya juga dapat dikemas dengan menarik tanpa kehilangan esensi dari topik tersebut. Salah satunya dengan membahas perayaan hari raya keagamaan versi keluarganya atau orang-orang di daerah domisilinya.

Ketiga, mereka juga menyajikan opini dengan teori dan pemahaman yang tepat koridor. Mungkin, kalau membahas opini, di antara kita akan berpikir bahwa yang paling penting adalah pendapat pribadi.

Tidak sepenuhnya salah, tetapi juga kurang tepat. Opini yang hanya mengandalkan pendapat sendiri terkadang patut dipertanyakan. Karena, dewasa ini, apa yang kita pikirkan sebenarnya sudah banyak yang memikirkannya.

Berbeda kalau kita hidup zaman pencerdasan awal manusia, atau hidup zaman dinosaurus. Sangat mungkin bagi manusia kala itu untuk saling berebut takhta sebagai pemilik suatu pendapat yang mutlak.

Sedangkan, pada dewasa ini, pendapat saya bisa saja sama dengan pendapat orang di rumah yang berbeda, kampung yang berbeda, hingga negara yang berbeda.

Penyebab saya merasa yakin bahwa sayalah yang punya suatu pemikiran tersebut, hanyalah faktor ketidaktahuan.

Ketidaktahuan itu bisa berasal dari keterbatasan pengetahuan yang masuk, hingga kurangnya jalinan interaksi yang biasanya menjadi gerbang masuknya informasi.

Itulah mengapa, ketika saya membaca artikel opini yang kemudian diperkuat dengan teori maupun konsep yang sesuai ruang lingkup topiknya, maka saya sangat mengapresiasi artikel tersebut. Dan, artikel-artikel opini seperti itu dihasilkan pula oleh ketiga nominee 'srikandi opini 2021'.

Contohnya ada di ulasan tentang Permendikbudristek PPKS yang diunggah Luna, Deforestasi di Brazil oleh Jeniffer, dan fenomena PNS membolos dari Kazena. Ketiganya mengulas topik berat dengan opini yang disertai konsep, regulasi, dan pembanding.

Itu yang membuat artikel opini mereka tidak bisa dianggap sekadar pendapat subjektif, melainkan upaya pengungkapan fakta yang diwakili oleh individu-individu, yang diantaranya adalah mereka.

Dari sini, saya juga menganggap keberhasilan mereka mendominasi kategori opini adalah bukti kuat bahwa perempuan dewasa ini sudah bisa bersikap kritis. Kalaupun di antara mereka mungkin jarang cerewet secara verbal, mereka masih bisa melepaskan energi cerewet mereka lewat tulisan yang berkualitas.

Dan dewasa ini, tulisan-tulisan berkualitas sangat dibutuhkan dalam upaya meningkatkan kualitas literasi kita, termasuk lewat media digital. Ditambah, kalau antara si penyampai dengan si penyimak punya kesamaan jenis kelamin.

Memang, lalu-lintas pengetahuan tidak mengenal jenis kelamin. Tetapi, kita juga harus menyadari bahwa koridor pengetahuan antara perempuan dengan laki-laki cukup banyak yang berbeda.

Contohnya adalah pengetahuan tentang fesyen, gaya hidup, sampai tentang jenis hiburan, yang biasanya antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan. Belum lagi kalau membahas tentang cinta, antara laki-laki dan perempuan, biasanya ada perbedaan dalam memahami cinta.

Kemudian, dalam pertukaran informasi, gaya berbahasa dalam sebuah tulisan juga menentukan terserap-tidaknya informasi tersebut oleh pembaca. Bahkan, bisa saja itu dikarenakan gaya berbahasa laki-laki dengan perempuan berbeda.

Leluconnya laki-laki dengan perempuan juga bisa saja berbeda polanya. Yang kemudian, itu membuat daya tangkap pembaca antara laki-laki dan perempuan perlu terakomodasi dengan tepat.

Maka dari itu, pengetahuan-pengetahuan yang berseliweran di media digital, termasuk yang berbentuk opini juga perlu disuguhkan oleh laki-laki dan perempuan.

Dengan begitu, pembaca bisa menemukan pilihan yang lebih banyak. Dari yang awalnya hanya berpangku pada laki-laki yang (berusaha) serba tahu, kini bisa menengok bagaimana pemikiran-pemikiran dari perempuan terkait hal-hal yang sebenarnya memang lebih pas jika dikuliti oleh perempuan.

Lalu, apakah para perempuan kompasianer harus mampu menyaingi kuantitas laki-laki kompasianer?

Menurut saya, bukan soal kuantitas yang perlu dikejar, melainkan daya tahan produktivitasnya. Laki-laki kompasianer bisa terlihat dominan secara kuantitas rata-rata karena daya tahan produktivitasnya.

Mereka bahkan ada yang mendedikasikan waktunya secara profesional untuk ngeblog, termasuk di Kompasiana.

Bagaimana dengan perempuan? Inilah yang menjadi pertanyaan untuk perempuan kompasianer maupun kreator konten tekstual secara umum.

Harapannya, para perempuan terutama yang menjadi kompasianer, mereka bisa konsisten untuk eksis dan kemudian berkembang. Harapan yang sebenarnya untuk semua orang, tanpa pandang jenis kelaminnya, termasuk untuk saya sendiri.

Jadi, selamat buat para perempuan kompasianer di Kompasiana Awards tahun ini--tanpa peduli apakah di antara mereka menang atau tidak. Terima kasih banyak atas keberadaan tulisan-tulisan hebatnya.

Malang, 27 November 2021

Deddy Husein S.

***

Catatan: Tulisan ini tidak bermaksud mengkotak-kotakkan kompasianer berdasarkan jenis kelamin. Ini adalah tulisan yang bermaksud untuk mendukung eksistensi perempuan kompasianer di tengah potensi besar mereka dalam berbagi intelektualitas.

Mohon maaf jika gaya menulis saya seperti saat mengulas topik olahraga yang cenderung 'nyinyir', dan dengan penyebutan nama saja tanpa ada bubuhan panggilan seperti 'Mbak' atau 'Bu'. Karena, dalam ulasan olahraga, hal itu tidak diperlukan demi kenetralan. Saya pikir kenetralan juga harus ada di ulasan ini.

Mohon dimaklumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun