Tidak ada orang yang mau kalah. Logika secara naluriahnya seperti itu.
Saya pun kalau mengikuti kompetisi, meski dengan modal tidak cukup untuk bersaing, terutama modal kualitas, tetap saja saya masih berpikir tentang kemungkinan untuk menang.
Di dalam kompetisi, menang dan kalah adalah sesuatu yang wajar. Karena, itulah yang dicari. Kalau tidak ingin ada hasil seperti itu, berarti dimasukkan saja buah perjuangannya ke pameran, parade, atau museum.
Lalu, apakah wajar jika seseorang berpikir bahwa dirinya tidak masalah kalau mengalami kekalahan?
Sebenarnya, ada dua kemungkinan dari keberadaan orang yang berpikir begitu. Kemungkinan pertama, dia adalah orang yang mudah menyerah, alias pasrah.
Kemungkinan kedua, dia punya alasan yang memang mendasari untuk terjadinya kemungkinan untuk kalah. Salah satu alasannya bisa didapat lewat cara menganalisis modal kualitas yang dimiliki.
Saya beberapa kali ikut kompetisi menulis, fiksi maupun nonfiksi. Tidak ada hasil yang memuaskan, karena modal kualitasnya memang belum sampai ke sana.
Saya pun menyadari itu selepas menyertakan karya tulis tersebut ke panitia. Kalau saat menyelesaikan dan mengirim karyanya, biasanya saya masih berpikir positif.
Biasanya, saya akan berpikir bahwa, "ini mungkin yang terbaik dari yang bisa saya lakukan". Dengan begitu, saya masih punya kepercayaan diri sekaligus kenekatan untuk ikut berkompetisi.
Pemikiran seperti itu perlu untuk memunculkan keberanian dalam bersaing. Tetapi, setelah itu, saya mulai menganalisis hasil pekerjaan saya untuk mencari kelemahannya di mana.