Sebenarnya, jika dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya, Indonesia cenderung sudah lebih siap dalam memainkan pertandingan ini.Â
Mereka tidak grogi di awal laga, dan mereka juga bisa membangun serangan serta menciptakan peluang berbahaya di babak pertama.
Hanya saja, penyakit boros peluang masih ada di lini depan tim Indonesia. Nahasnya lagi, lini keduanya juga terlihat kurang berani membawa penguasaan bola sampai di dekat kotak penalti dan menempati ruang-ruang kosong di area pertahanan lawan saat menyerang.
Sehingga, permainan Indonesia saat menyerang cenderung konservatif. Hanya mengandalkan tiga penyerangnya untuk membongkar pertahanan lawan di dalam kotak penalti.
Pada babak kedua, sebenarnya lini kedua sudah mulai mendukung lini serang untuk maju. Baik saat menyerang maupun bertahan dengan garis tinggi.
Namun, yang membuat Indonesia kemudian harus kalah adalah kehilangan kelugasan dalam bertahan. Ketika Elkan Baggot keluar karena cedera, cara bertahan Indonesia yang awalnya praktis dalam mengantisipasi serangan balik Afghanistan atau pun serangan silang dengan memanfaatkan sisi sayapnya, menjadi kurang praktis.
Keunggulan dalam duel bola transisi, alias intersep dari tengah lapangan menurun. Pertahanan menjadi cepat mundur dengan menciptakan garis bertahan rendah dan tidak ada pemain yang bertugas sebagai pemotong aliran bola.
Rachmat Irianto sebenarnya sering melakukan tugas itu. Tetapi, di lini belakang tugas itu juga dijalankan dengan baik oleh duo Fachruddin dan Elkan.
Ketika Elkan digantikan oleh Victor Igbonefo, aksi tersebut mulai kurang terlihat. Sebenarnya, memasukkan Victor bukanlah kesalahan.
Sebelum ada Elkan di timnas, memang Victor yang menjadi rekan duet Fachruddin. Dan dia adalah salah satu pemain kunci kemenangan Indonesia melawan China Taipei, sekaligus juga fasih dalam urusan potong-memotong aliran bola transisi.