Ibarat obrolan 'emak-emak komplek', Darryn akan menjadi topik rumpi utama saat mencegat abang penjual sayur tiap pagi. Pemicunya sudah jelas, yaitu Darryn tidak seperti kakaknya.
Kakaknya bisa menjadi juara Moto3, dia malah menjadi "juara adu banteng". Kakaknya bisa menunjukkan kepantasannya berlaga di MotoGP lewat penampilan progresif nan kompetitif di Moto2, Darryn malah langsung loncat ke MotoGP setelah tujuh musim "mengeram" di Moto3.
Padahal, pembalap yang loncat dari Moto3 ke MotoGP terbukti sulit kompetitif seperti yang terjadi pada Jack Miller. Sampai sejauh ini, kita bisa melihat bahwa Miller belum punya mentalitas pemenang sejati seperti yang sudah dimiliki Francesco Bagnaia, Fabio Quartararo, atau Joan Mir.
Bahkan, jika dibandingkan Enea Bastianini saja, Miller sudah terlihat kurang sebanding. Seandainya, Bastianini diberi motor dengan spesifikasi pabrikan, mungkin "pengawal" Bagnaia menuju pertarungan juara dunia pembalap musim 2021, bukan Miller, melainkan Bastianini.
Artinya, pembalap yang pernah melalui proses yang panjang dan bertahap, cenderung akan lebih jelas pola perkembangan kualitasnya dibanding pembalap yang membuat publik tercengang karena gebrakannya.
Di sinilah, keputusan tim-tim di MotoGP dalam merekrut pembalap muda untuk segera tampil di kelas primer sebenarnya patut dikritisi. Beruntung, pembalap fenomenal seperti Acosta ditahan lajunya untuk tidak langsung melompat ke MotoGP.
Balapan pada dewasa ini, tekanannya sudah sangat banyak. Dulu, pembalap mungkin "hanya" tertekan oleh target yang dipasang timnya.
Sekarang, pembalap juga bisa tertekan dengan cuitan netizen dan pengamat yang notabene adalah alumnus pembalap hebat. Seperti, Kevin Schwantz, Casey Stoner, hingga Jorge Lorenzo.
Kita lihat saja, saat Miller mendapatkan tekanan dari Jorge Lorenzo lewat media sosial, Miller terlihat emosional. Padahal, yang perlu dilakukan Miller--dan Aleix Espargaro--sebagai pembalap adalah membuktikan kualitasnya di sirkuit, bukan beradu 'bacot' di media sosial.
Itu artinya, pembalap masa kini juga perlu menata mental baik untuk urusan di atas sirkuit maupun di luar sirkuit. Kalau pembalap itu sudah pernah merasakan bagaimana keberhasilannya menata mentalitasnya di atas sirkuit, besar kemungkinan dia juga akan mampu menata sikapnya di luar sirkuit.
Itulah mengapa, menaikkan pembalap yang pernah juara dunia jauh lebih penting dibanding pembalap yang terlihat berpotensi. Potensi saja tidak cukup kalau harus bersaing dengan kumpulan pembalap hebat dari tahun ke tahun seperti MotoGP.