Drakor ini bisa dikatakan underrated jika dibandingkan dengan "Penthouse" (2020). Namun, saya pikir, drakor ini mampu membawa kita sedikit paham tentang bagaimana kehidupan di apartemen.
Banyak orang boleh mengatakan, bahwa kehidupan di apartemen lebih "dingin" daripada kehidupan di pemukiman biasa. Meski begitu, lewat drakor ini--sekalipun fiksi, kita bisa tahu cara untuk tetap menjalin interaksi kuat dengan sesama penghuni apartemen.
Caranya, tentu dengan memanfaatkan gawai dan grup obrolan (chatting group). Dari situ, para penghuninya bisa saling bertukar informasi, terutama terkait dengan apa yang terjadi di sekitar apartemen tersebut.
Lalu, saya juga melihat bahwa apartemen memang bisa menjadi tempat yang tepat bagi makhluk soliter dan lajang. Biasanya, mereka hanya fokus mengisi kegiatan hariannya dengan bekerja dan tidur.
Mereka tidak perlu banyak berbasa-basi dengan orang lain, apalagi dengan orang-orang yang mudah kepo dan mudah bergosip. Buang waktu! Hehehe.
Dari sinilah, saya berpikir bahwa kehidupan di Korea Selatan kemungkinan besar juga seperti itu. Ada makhluk soliter yang tinggal di apartemen, maupun makhluk-makhluk komunal yang nyatanya tetap bisa membaur di apartemen walaupun harus dengan cara yang kekinian.
Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Apakah tontonan ini bisa relate?
Menurut saya, tontonan ini masih relate. Bedanya hanya di ruang lingkup. Kalau orang Indonesia, terutama yang lajang dan apalagi uangnya pas-pasan, hidup secara indekos, alias menjadi 'anak kos' sudah mirip dengan kehidupan di apartemen.
Walaupun masih bisa berinteraksi lebih banyak dengan sesama penghuni kos, nyatanya orang-orang yang ngekos juga bisa saja ada yang merupakan makhluk soliter. Makhluk yang lebih nyaman menutup pintunya sepanjang hari, dibandingkan membuka pintu untuk menunjukkan eksistensinya.