Menjadi orang yang optimis memang bagus. Tetapi, orang yang optimis juga perlu realistis. Supaya ketika membuat rencana atau harapan, tidak terkesan muluk-muluk.
Itu yang saya alami ketika "mengirimkan" harapan kepada Tim Thomas Indonesia dan Tim Uber Indonesia yang berlaga di Ceres Arena, Aarhus, Denmark, sejak 9 Oktober lalu. Saat mereka berangkat dari Vantaa, Finlandia, ke Aarhus, pendukung tim Indonesia terpecah menjadi dua.
Ada yang masih optimistis, ada yang pesimistis, dan ada yang realistis. Yang realistis beda tipis dengan yang pesimistis, karena cenderung memasang target yang standar dan cenderung minimalis.
Kalau misalnya di Piala Sudirman mereka "hanya" sampai perempat final, maka pencapaian di Thomas atau Uber kemungkinan ada di situ. Mungkin, yang sedikit lebih menjanjikan adalah di tim Thomas, karena Indonesia punya jajaran pemain terbaik di 10 besar BWF.
Anthony Ginting dan Jonatan Christie ada di 10 besar sektor tunggal putra, yaitu peringkat lima dan tujuh--saat tulisan ini dibuat. Ganda putra malah ada dua pasang penguasa dua peringkat tertinggi, yaitu Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo (1) dan Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan (2).
Pada sektor itu juga sudah ada "tabungan" Indonesia untuk masa selanjutnya, yaitu Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto di peringkat ketujuh. Mereka pun patut diperhitungkan kalau mendapat kesempatan tampil di Thomas.
Namun, ketangguhan pemain Tim Thomas malah cenderung diragukan, karena faktor hasil mereka di Piala Sudirman. Turnamen bergengsi yang digelar di Finlandia itu seperti menunjukkan bahwa sektor putra malah mendapatkan tinta merah dibandingkan sektor putri yang sebenarnya minim bintang.
Piala Sudirman juga memainkan lima pertandingan dalam satu pertandingan antartim. Satu tunggal putra, satu tunggal putri, satu ganda putra, satu ganda putri, dan satu ganda campuran.
Di sinilah kita melihat di sektor putra terdapat kekurangan. Anthony Ginting dan Jonatan Christie yang dimainkan bergantian, terlihat kurang berkelas sebagai pemain tunggal terbaik Indonesia.
Padahal, mereka jauh diharapkan dibandingkan sektor tunggal putri yang masih belum bisa menyaingi kualitas pemain tunggal negara lain. Namun, justru sektor tunggal putri terlihat cukup menjanjikan dan lebih siap memikul beban berat.
Nahasnya, di sektor ganda putra juga begitu. Marcus/Kevin yang menjadi andalan malah kesulitan menghadapi permainan 'nothing to lose' dari lawan. Ini berbeda dengan ganda putri terbaik Indonesia saat ini, Greysia Polii/Apriyani Rahayu yang malah menjadi tulang punggung di setiap laga.
Bagaimana dengan sektor ganda campuran?
Mereka cenderung 50-50, atau kalau istilah yang dikatakan Justinus Lhaksana--komentator sepak bola--adalah 'so-so'. Begitulah penampilan Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti. Meski begitu, mereka cenderung lebih dimaafkan, dan mereka juga tidak akan ikut di Thomas dan Uber.
Baca juga:Â Melepas Kecewa di Piala Sudirman 2021
Melihat rapor di Piala Sudirman itulah masyarakat Indonesia mulai tidak optimis untuk menyongsong Piala Thomas dan Uber 2020, seperti saat menyambut Piala Sudirman. Maklum, ketika akan berpartisipasi di Piala Sudirman, masyarakat punya patokan di All England.
Penampilan yang masih bisa dikatakan lumayan di Olimpiade Tokyo 2020 juga menjadi harapan, bahwa ketika mereka bersatu di Piala Sudirman, akan makin kuat. Namun, harapan bukan jaminan untuk kenyataan.
Kenyataan seringkali membuat orang sulit menerimanya. Termasuk untuk menerima keharusan masyarakat Indonesia untuk tidak terlalu berharap tinggi terhadap punggawa Thomas maupun Uber Indonesia. Tentu, itu pemandangan yang menyakitkan.
Melihat tim sendiri kurang dipercaya untuk dapat tampil hebat, rasanya kurang benar. Nahasnya, saya pun menjadi bagian dari orang-orang yang memilih tidak mengharapkan tim Indonesia meraih hasil lebih baik dari Piala Sudirman.
Meski begitu, saya punya patokan untuk tidak terlalu berharap besar di Thomas dan Uber. Patokan saya adalah kualitas servis.
Sejauh yang saya lihat di pertandingan yang dimainkan Indonesia, saya cukup sering menemukan kesalahan servis (service error) dari pemain Indonesia. Dan, nahasnya itu dilakukan oleh pemain sektor putra.
Kesalahan itu sering terlihat di sektor putra, karena penggunaan teknik servis pendek lebih sering digunakan di sektor putra daripada sektor putri. Di sektor putri, kalau pemainnya sedang kurang yakin untuk melakukan servis pendek, dia akan melakukan servis panjang.
Faktor tinggi badan juga membuat pemain sektor putri bisa menggunakan servis panjang, karena jarang ada pemain yang tinggi banget. Berbeda dengan sektor putra yang banyak pemain yang bertubuh tinggi. Bahkan, rata-rata tinggi pemain putra adalah 170 cm.
Itu sudah ideal untuk melahap lambungan kok tinggi dengan kecepatan tanggung. Maka dari itu, pemain sektor putra perlu menghindari itu.
Nahasnya, jika dibandingkan dengan pebulu tangkis putra dari negara lain, kesalahan servis dari pebulu tangkis putra dari Indonesia jauh lebih banyak. Ini yang membuat mereka seringkali kalah, atau kesusahan sendiri, karena harus mencari poin untuk membayar kesalahan tersebut.
Kalau kesalahan dalam adu net dan smash, itu hal wajar. Karena, dalam permainan terbuka, pemain jelas lebih sulit mengontrol tenaga tangan dan akurasi penempatan kok. Dan, ini bukan kesalahan dasar.
Berbeda dengan kesalahan servis, yang menjurus pada teknik dasar. Teknik yang harus dikuasai dulu oleh calon pebulu tangkis amatir sebelum belajar melakukan smash hingga netting.
Itulah yang kemudian membuat saya berpikir bahwa pemain kita seperti kehilangan sentuhan pada teknik dasar, dan itu membuat mereka mempersulit diri sendiri dengan malah berupaya fokus ke tahap lain. Seperti, fokus dalam teknik menyerang lewat smash dan netting.
Padahal, yang seharusnya mereka perbaiki adalah teknik servisnya. Kalau teknik servisnya sudah akurat, maka mereka bisa "meringankan" beban menuju ke tantangan selanjutnya, yaitu bagaimana membangun serangan dan mengatur tempo permainan.
Itu juga berlaku sebaliknya. Kalau teknik servisnya tidak akurat, mereka makin sulit untuk memikirkan cara untuk keluar dari tekanan lawan.
Jangankan keluar dari tekanan lawan, keluar dari tekanan diri sendiri saja sulit banget. Inilah yang kemudian menjadi faktor lain yang membuat pemain kita terutama yang sektor putra sering melakukan kesalahan servis.
Mereka bisa diprediksi sering kesulitan mengontrol emosi dan pikiran yang mengakibatkan teknik servisnya amburadul. Uniknya, mereka bisa melakukan kesalahan itu justru ketika sedang memimpin perolehan poin.
Artinya, kita seperti melihat mereka sedang "bagi-bagi" poin. Bagaimana kita tidak geregetan kalau melihat hal itu terjadi?
Dari patokan inilah, saya kemudian menggantungkan harapan yang sangat sederhana, yaitu mereka saya doakan untuk dapat meminimalisir kesalahan servis. Itu saja dulu yang perlu mereka lakukan terutama di Piala Thomas.
Kalau itu sudah bisa dilakukan, saya yakin target yang lebih besar bisa mulai terasa lebih dekat di jangkauan kita. Mau semifinal dan final, pasti akan terbuka peluang itu jika kita tidak banyak melakukan kesalahan servis.
Mau berhadapan dengan Jepang atau China di final pun, gas! Karena, sebenarnya dalam urusan teknik selanjutnya, para pebulu tangkis Indonesia sudah cukup untuk bersaing dengan rival-rival terberat.
Jika tidak begitu, tidak mungkin mereka bisa berprestasi dan masuk ke peringkat 10 besar BWF. Bahkan, yang membuat saya terkejut adalah Tim Thomas Indonesia adalah unggulan pertama di turnamen ini.
Luar biasa!
Label yang kemudian tidak membuat tim yang dipimpin oleh Hendra Setiawan itu terbebani. Mereka bisa melepaskan diri dari grup neraka sebagai juara grup dengan mengalahkan Thailand dan China Taipei, selain Aljazair yang harus menjadi lumbung poin.
Kemudian, di perempat final, mereka bisa menggusur Malaysia yang sempat memberi mimpi buruk bagi Tim Indonesia di Piala Sudirman. Keberhasilan ini tidak lepas dari kebangkitan Anthony Ginting dan Jonatan Christie, yang kemudian membuat Shesar Hiren Rhustavito tidak perlu mengelap keringat seperti di dua pertandingan terakhir fase grup.
Itu adalah momen yang jelas sangat tepat, karena Indonesia sedang butuh mereka untuk misi yang mulai perlahan menjadi mungkin, yaitu juara Piala Thomas. Misi itu bisa dikatakan makin mungkin terjadi, ketika mereka berhasil menyingkirkan tuan rumah, Denmark.
Dengan gaya, mereka bisa meneruskan tren bagus dan bahkan bisa membuat Shesar kembali beristirahat. Tim Thomas Indonesia pun melaju ke final dan berhadapan dengan sang juara bertahan, China.
Bisa dibilang, ini adalah momen yang seratus persen tepat. Faktor susunan pemainnya yang sudah mendekati level paling komplet adalah alasannya.
Pada segi pengalaman, sudah ada Hendra/Ahsan, Anthony, dan Jonatan. Segi kualitas, ada di Marcus/Kevin. Segi semangat ada di Fajar/Rian dan Shesar. Dan, tentu saja, ada segi harapan untuk masa depan dengan keberadaan Leo R. Carnando/Daniel Marthin dan Chico A. Dwi Wardoyo.
Sejauh yang saya tahu, itulah susunan terbaik selepas peralihan 2000-an ke 2010-an yang dimiliki Indonesia. Bahkan, sekarang sudah memasuki dekade 2020-an yang tentu akan ada regenerasi untuk bertarung penuh sampai sembilan tahun selanjutnya.
Artinya, kalau tidak sekarang, kapan lagi Indonesia bisa memulai kebangkitannya sebagai raja Piala Thomas?
Apakah harus menunggu China menemukan "Lin Dan"-nya? Kemudian, sampai Jepang menemukan generasi terbaik di ganda putra setelah Hiroyuki Endo/Yuta Watanabe. Atau, malah menunggu Malaysia bangkit dari tidur panjangnya. Jangan!
Beruntungnya, Indonesia berhasil menjawab kesangsian dan tantangan dari masyarakat Indonesia lewat gelar juara Piala Thomas 2020. Ini juga menjadi momen yang menarik, karena mengalahkan China yang merupakan juara bertahan, dan berpesta di Denmark yang pada 2016 tim Thomas-nya menggagalkan Indonesia memupus dahaga gelar sejak 2002.
Pencapaian ini tidak hanya membuat saya mengapresiasi tim Thomas, tetapi juga kepada tim Uber Indonesia. Menurut saya, mereka bisa saja memberikan teladan kepada tim Thomas, bahwa di balik kekurangan kualitas dan determinasi, tim Uber Indonesia bertarung habis-habisan sekuatnya.
Maka, kenapa tidak, tim Thomas menunjukkan kualitas dan determinasi yang sebenarnya mereka punya secara merata. Inilah yang kemudian saya lihat di Thomas Indonesia, terutama di fase-fase genting. Mereka seperti bangun dari tidur tepat pada waktunya.
Jadi, terima kasih banyak, Tim Indonesia! Saya pasti akan mengingat pencapaian ini sebagai bagian dari pengalaman saya melihat perjuangan hebat bulu tangkis Indonesia.
Malang, 17 Oktober 2021
Deddy Husein S.
Tersemat: Kompas.com
Terkait: bwfthomasubercups.bwfbadminton.com 1, bwfthomasubercups.bwfbadminton.com 2, CNNIndonesia.com.
Baca juga: Nandini dan Mimpi Buruk Pebulu Tangkis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H