Mengetahui kabar bahwa Indonesia akan berupaya mencapai Net-Zero Emissions paling cepat pada 2060, terasa menggembirakan. Artinya, Indonesia akan berupaya membuat perubahan yang berimbas pada perbaikan keadaan lingkungan.
Penyebab perubahan dari masa lalu yang kuno ke masa kini yang modern adalah kebiasaan. Kebiasaan yang kemudian ditunjang oleh struktur dan sistem.
Contohnya, kaum pekerja lapang identik dengan penggunaan sepeda motor. Kemudian, ditunjang dengan kemudahan melakukan kredit kendaraan bermotor roda dua dan cicilan dari nominal terendah yang sangat terjangkau.
Menariknya, kepemilikan sepeda motor juga akan dianggap sebagai bukti seseorang atau suatu keluarga telah naik kelas status sosialnya. Jika sudah dipahami begitu, maka tidak akan heran kalau semua orang mulai berlomba untuk mempunyai sepeda motor walau kredit.
Hal semacam itu bisa terjadi karena proses. Proses menanamkan suatu pemahaman, dan proses mempraktikkan apa yang dipahami, serta melihat bukti atau dampaknya.
Kalau dulu, dampak yang dilihat adalah afirmasi terhadap status sosial. Makin banyak kendaraan bermotor di rumah, makin dianggap kaya dan disegani. Biasanya bakal dicalonkan jadi Ketua RT/RW, Ketua Arisan, dan sebagainya.
Kalau sekarang, dampak yang seharusnya dilihat adalah kebahagiaan dan kesehatan. Orang kaya belum tentu bahagia.
Mereka harus membayar pajak, menggaji asisten rumah tangganya, dan pasti beban listriknya lebih tinggi dari masyarakat kelas menengah-bawah yang bahkan masih belum semuanya bisa memasang listrik. Keberadaan listrik dan kini ada Wi-Fi juga tidak sedikit mengakibatkan keluarga kaya menjadi cenderung kurang hangat.
Beda dengan orang kelas menengah-bawah yang masih cukup hangat, karena jarang ada pemecah perhatian mereka kala harus berkumpul di rumah. "Mangan (utowo) ora mangan, sing penting kumpul."
Kemudian, sektor kesehatan. Orang yang baru naik kelas cenderung sembrono terhadap pola hidup. Mungkin, faktor "demam panggung" dan menganggap apa yang dilakukan berbasis 'mumpung sekarang bisa', membuat orang yang baru kaya akan lupa diri.
Di sinilah muncul potensi merusak kesehatan tubuh. Pola makan tidak teratur, istirahat juga tidak teratur--karena menonton film lewat streaming sangat menyenangkan, dan tentunya makin tidak kenal dengan berolahraga.
Biasanya, mereka baru akan sadar kalau sudah pernah 'mengisi buku presensi' sebagai pasien di rumah sakit. Ini pun belum seratus persen jaminan. Tetapi, minimal, akan ada orang-orang yang mulai peduli dengan pola hidupnya pasca naik kelas.
Jika sudah begitu, mereka bisa mulai menjadi agen perubahan terhadap pola hidup yang tepat. Karena, basis mereka sudah jelas, yaitu faktor pengalaman. Dewasa ini, orang masih banyak didengar karena pengalamannya bukan pengetahuannya.
Meski faktanya semiris itu, saya masih mensyukuri keberadaan mereka. Dan di sisi lain, sebenarnya, menjadi agen perubahan terhadap pola hidup yang tepat tidak semata-mata dibebankan ke orang kaya dan orang yang baru kaya yang kemudian berbasis pengalaman hidupnya.
Ada faktor penting lain yang bisa mendorong seseorang untuk menjadi agen perubahan tanpa terikat oleh faktor ekonomi dan status sosial. Faktor penting itu adalah kesadaran.
Ketika seseorang sudah sadar dirinya melakukan sesuatu, entah yang benar atau salah, di situlah ada letak potensi untuk menjadi agen perubahan, terutama untuk pola hidup yang berkaitan dengan sumbangsih terhadap 'emisi nol-bersih' di masa depan.
Saya pun yakin, orang seperti saya yang secara status sosial dan ekonomi masih berada di golongan menengah-bawah dapat menjadi bagian dari upaya Indonesia mencapai 'emisi nol-bersih' di masa depan.
Mungkin, yang saya lakukan tidak bisa bertahan sampai 2060, karena usia adalah misteri. Maka, saya ingin menyampaikan apa saja yang sudah dan yang belum saya lakukan untuk mendukung Indonesia menuju Net-Zero Emissions pada 2060--yang akan dipantau sejak 2045, kemudian mungkin mulai terlihat matang selepas 2075.
Praktik pertama yang sudah saya lakukan adalah masih terbiasa berjalan kaki jika jarak tempuh masih ramah untuk pejalan kaki, terutama saya sendiri.
Praktik kedua, sejak pandemi, dengan ekonomi yang sedang turun, saya sudah mulai menghemat nyala lampu, dan biasanya menggunakan lampu LEDÂ untuk menerangi kegiatan saya di depan laptop.
Praktik ketiga, meminimalisir pembelian air kemasan plastik. Sebelum pandemi, sebagai anak kos, saya harus rutin membeli air mineral kemasan plastik, karena saya masih belum cocok dengan air dingin hasil rebusan.
Namun, sekarang saya sudah mengonsumsi air minum hasil rebusan, karena ternyata lidah dan tenggorokan sudah mau berkompromi. Dan dengan begitu, saya mulai tidak menyumbang sampah botol plastik di tempat pembuangan sampah.
Tiga praktik itu memang terlihat sangat sederhana, dan cenderung terdorong dari faktor ekonomi. Tetapi, seiring berjalannya waktu, saya mulai berpikir bahwa kesadaran tentang pentingnya menghemat 'pengeluaran' (emisi) dari dampak aktivitas yang saya lakukan, perlu dimulai dari hal-hal sepele.
Dengan begitu, kalau saya mau membuat perubahan pada kebiasaan awal ke kebiasaan baru yang lebih berat tantangannya, tidak akan terlalu terkejut.
Selain apa yang sudah saya lakukan, saya juga masih berjuang untuk mengubah kebiasaan lain yang masih terasa berat untuk diubah seratus persen.
Yang pertama, saya masih mengandalkan kantung plastik. Bahkan, saya cenderung sengaja mencarinya untuk nanti saya gunakan membungkus sampah-sampah yang saya kumpulkan terlebih dahulu sebelum saya buang.
Yang kedua, saya terkadang masih membeli minuman kemasan yang berjenis soft-drink. Walaupun, kebiasaan ini mulai berkurang, karena sudah mulai bisa menggantinya dengan minuman hangat yang dibuat sendiri sebagai "teman" menonton bola atau MotoGP.
Yang ketiga, saya masih membeli makanan instan dan makanan ringan yang berbungkus plastik. Faktor tanggal tua, dan/atau godaan ngemil sambil menonton siaran olahraga atau film, membuat saya masih menjadi salah satu penyumbang sampah plastik yang kalau dibakar bisa menjadi bagian dari polusi udara.
Yang keempat, seandainya saya punya pendapatan berlebih, saya masih tergoda untuk membeli buku-buku cetak. Keberadaan buku cetak berarti ada kertas. Ada kertas berarti ada pabrik penghasil kertas.
Artinya, keberadaan permintaan kertas yang masih tinggi akan membuat produktivitas pabrik penghasil kertas masih tinggi. Dan saya terka-terka, keberadaan stok pohon untuk menghasilkan kertas sampai bertahun-tahun nanti bisa saja makin tidak sebanding dengan kebutuhan adanya buku cetak.
Yang kelima, saya belum melakukan upaya mendukung sirkulasi udara segar, yaitu penanaman. Jangankan menanam bibit pohon, tanaman seperti cabai saja masih terbenam di angan-angan.
Meski begitu, orang tua saya bisa mewakili saya, karena mereka saat ini beralih profesi dari pembuka warung kecil-kecilan menjadi pembuka lahan kebun sederahana yang dapat ditanami aneka tanaman yang menguntungkan dari segi pemanfaatan lahan kosong dan ekonomi keluarga.
Dari sanalah, ada harapan bahwa setiap lahan kosong yang dimiliki setiap keluarga masing-masing bisa menumbuhkan kepedulian untuk memanfaatkannya sebagai lahan hijau sesuai dengan potensi lingkungannya. Ini hanya harapan dan pemikiran yang masih realistis, karena antara kebutuhan manusia--butuh sumber makanan--dan alam masih cukup seimbang.
Selain itu, pemanfaatan lahan kosong sebagai lahan hijau adalah langkah yang sesuai dengan kondisi alam kita yang sangat mendukung upaya tersebut. Kita berada di zona khatulistiwa, yang mendukung kita untuk mempunyai kawasan hijau dan ramah lingkungan.
Tinggal, seberapa besar kesadaran kita untuk berinovasi dan mewujudkan Net-Zero Emissions secara bertahap dan jelas. Lewat tulisan sederhana ini ada satu hal yang menjadi fokus saya sebagai salah satu upaya negara ini menuju target tersebut, yaitu sektor transportasi.
Saya berharap pemerintah merangkul penyedia jasa transportasi umum berbasis pribadi/terbatas seperti transportasi umum terbuka (transpumka). Di sini maksud dari transportasi umum terbatas adalah seperti ojek/taksi pangkalan dan yang lewat aplikasi.
Artinya, jika nanti transportasi umum terbuka--moda antarkota dan dalam kota--banyak yang beralih menggunakan bahan bakar ramah lingkungan, alat transportasi umum terbatas (transputas) juga harus begitu.
Caranya tentu dengan menjalin kerja sama dengan platform penyedia jasa tersebut, menerapkan kebijakan "tukar-tambah" terhadap alat transportasinya, dan memberikan penyuluhan kepada para pengemudi tentang karakteristik kendaraan dan perubahan gaya berkendara yang sesuai demi keselamatan.
Alat transportasinya juga akan menjadi lebih seragam, tidak menyiratkan status sosial/ekonomi si pengemudi, lebih meyakinkan secara kualitas bagi calon penumpang, dan tentu saja bisa mendukung program pemerintah Indonesia mencapai 'emisi nol-bersih'.
Kenapa harus dari sini? Karena, yang membuat banyak polusi selain asap pabrik, juga asap kendaraan bermotor. Dan, sebagai kaum pejalan kaki, sebenarnya saya tidak yakin kalau wilayah Indonesia yang per pulaunya bisa setara dengan luas suatu negara lain kemudian tanpa kendaraan bermotor apalagi yang berbasis pribadi.
Kemudian, saya juga cenderung memilih menggunakan transportasi umum terbatas, karena faktor keamanan, kenyamanan, fleksibilitas waktu, dan kalau beroda dua biasanya jarang terjebak macet. Untuk saat ini hingga di masa depan, rasanya transportasi umum terbatas lebih cocok dibanding transportasi umum terbuka.
Apakah pemerintah akan memperhatikan sektor ini? Kalau iya, apa cara yang tepat dari pemerintah untuk mengubah salah satu kebiasaan masyarakat Indonesia, yang saya pikir masih akan sulit untuk dipaksa berjalan kaki dari rumah ke stasiun, terminal, atau halte.
Kita lihat saja nanti.
Malang, 15 Oktober 2021
Deddy Husein S.
Terkait: Wri.org, Iea.org, Katadata.co.id, Databoks.katadata.co.id, Beritasatu.com, Medcom.id, Kompas.com 1, Kompas.com 2, Kompas.tv, Kompas.id 1, Kompas.id 2.
Tersemat: Wikiwand.com dan Tribunnews.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H