Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Melepas Kecewa di Piala Sudirman 2021

2 Oktober 2021   16:27 Diperbarui: 6 Oktober 2021   11:14 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Greysia/Apriyani masih menjadi tumpuan krusial. Sumber: Badminton Photo/via Kompas.com

Saat melihat tim Indonesia akan menghadapi tim Malaysia pada babak perempat final (1/10), saya sempat berpikir tiga sisi dalam waktu berdekatan. Pesimis, optimis, dan ragu.

Saya pesimis, karena setahu saya Malaysia punya beberapa pemain bagus. Dua diantaranya di ganda putra dan tunggal putra.

Menurut statistik pada 2021, ganda putra, Aaron Chia dan Soh Wooi Yik mampu berbicara lebih banyak dari pencapaian ganda terbaik Indonesia dan dunia saat ini, Marcus Fernaldi Gideon dan Kevin Sanjaya Sukamuljo. Terutama di dua turnamen di Thailand awal tahun 2021.

Tentu dengan respek dan rasa bangga terhadap ganda putra Indonesia dan punggawa lainnya, saya pikir tim Indonesia akan menghadapi pertarungan super sengit di fase ini. Tidak hanya pada segi teknik, tapi juga nonteknik.

Soal teknik, saya masih yakin Indonesia punya kemampuan untuk menang. Tetapi, bagaimana dengan nonteknik?

Namun, pesimistis saya sedikit meluntur ketika mengetahui punggawa yang dibawa Malaysia adalah pemain-pemain muda. Bahkan, duo Aaron/Wooi Yik juga lebih muda dari ganda putra senior yang sebenarnya masih dimiliki Malaysia, yaitu duet Goh/Tan.

Tetapi, pemain lain secara jam terbang dan ranking dunia (BWF) jauh di bawah Aaron/Wooi Yik. Peringkat terbaik selain mereka adalah Lee Zii Jia, yaitu ke-8. Persis dengan posisi Aaron/Wooi Yik.

Selain Lee, ada Ng Tze Yong yang berperingkat 92. Ganda putra lain, Man Wei Chong/Tee Kai Wun berperingkat 126.

Tunggal putri, Selvaduray Kisona berperingkat 53. Eoon Qi Xuan berperingkat 134.

Ganda putri ada Pearly Tan/M. Thinaah yang berperingkat 19. Dan, Yap Ling/Teoh Mei Xing di peringkat 70.

Pada ganda campuran, Hoo Pang Ron/Cheah Yee See menjadi andalan, dengan peringkat 27. Lebih baik dari Chen Tang Jie/Peck Yen Wei yang masih berperingkat 49.

Membandingkan skuad ini sebenarnya seperti lelucon bagi tim Indonesia kalau sampai kalah. Karena, di partai perempat final sudah pasti pemain berperingkat tertinggi yang dimiliki Indonesia diturunkan.

Ada The Minions, Anthony Ginting, Gregoria Tunjung, Greysia/Apriyani, dan Praveen/Melati. Mereka berperingkat 1, 5, 21, 6, dan 4.

Duelnya juga jelas mempertemukan peringkat terbaik di kedua kubu. Peringkat 1 vs 8. Peringkat 21 vs 53.

Peringkat 5 vs 8, 6 vs 19, dan 4 vs 27. Inilah yang tersaji di lapangan kedua (court 2) pada Jumat malam, 1 Oktober 2021 hingga dinihari (2/10).

Setelah melihat secara peringkat dan jam terbang, saya optimis. Namun, beberapa saat kemudian muncul keraguan.

Ini dikarenakan saya melihat performa para pemain muda Malaysia ternyata tidak "seburuk" catatan di atas kertas.

Selama di fase grup, mereka berhasil menjadi kuda hitam, meskipun seharusnya mereka masuk ke dalam jajaran tim papan atas. Namun, tim Malaysia seperti ingin membuktikan satu hal yang sangat esensial di dalam persaingan olahraga, yaitu "semua atlet masih manusia".

Artinya, secara peringkat dan pengalaman boleh berbeda, tetapi di atas lapangan banyak hal yang bisa memengaruhi hasil akhir. Ini yang membuat saya menjadi abu-abu dalam meyakini bahwa Indonesia akan melaju minimal sampai semifinal.

Bukan karena saya meremehkan tim Indonesia, tetapi saya melihat para pemain Indonesia seperti tidak dalam performa terbaik.

Mereka cenderung inkonsisten. Satu-satunya yang terlihat konsisten adalah Greysia Polii/Apriyani Rahayu. Itu pun harus dilihat secara hasil, bukan performa menyeluruh.

Pemandangan menyedihkan sebagai pendukung Indonesia adalah melihat The Minions yang seperti belum bisa menemukan performa terbaiknya sejak awal 2021. Apakah kemudian tim Indonesia melakukan kesalahan dengan memainkan Marcus/Kevin alih-alih The Daddies?

Menurut saya, tidak. Ketika kita punya pemain terbaik dunia, kenapa harus diparkir?

Itulah yang membuat saya tetap bersemangat mendukung laga antara Tim Malaysia vs Tim Indonesia. Tim muda vs Tim sarat pengalaman.

Laga pertama, Indonesia harus menelan pil pahit, The Minions kalah dari Aaron/Wooi Yik. Skornya pun bisa dikatakan telak untuk kekalahan pemain terbaik dunia, yaitu 21-12, 21-15.

Malaysia unggul 1-0. Dan, beban berat dipikul Gregoria di laga kedua.

Penampilan Gregoria bisa dikatakan stabil di turnamen ini. Sumber: Jnanesh Salian/Badminton Photo/via Kompas.com
Penampilan Gregoria bisa dikatakan stabil di turnamen ini. Sumber: Jnanesh Salian/Badminton Photo/via Kompas.com

Secara luar biasa, Gregoria bisa mengalahkan perlawanan super sengit Kisona dengan tiga gim. Skornya adalah 20-22, 21-18, 19-21.

Indonesia menyamakan kedudukan menjadi 1-1. Dan, rasa optimis cukup terbangun untuk melihat laga ketiga, antara Lee vs Ginting.

Namun, ternyata Lee tidak ingin membiarkan Ginting menunjukkan kualitasnya, dan kekalahan telak kembali tersaji. Skor 21-11 dan 21-16 mengantarkan tim Malaysia kembali unggul 2-1.

Permainan Ginting kemungkinan sudah banyak dipelajari lawan-lawannya. Sumber: Dok. Badminton Indonesia/via Kompas.com
Permainan Ginting kemungkinan sudah banyak dipelajari lawan-lawannya. Sumber: Dok. Badminton Indonesia/via Kompas.com

Indonesia pasti bisa mengejar. Inilah yang saya pikirkan saat laga keempat tersaji. Ada Greysia/Apriyani yang di turnamen ini masih berusaha menunjukkan sikap santainya untuk melepas ketegangan.

Tetapi, saya kembali melihat ganda putri terbaik Indonesia ini dibuat kalang-kabut oleh duet Pearly Tan/Muralitharan Thinaah. Skor di gim pertama saja mencapai 20-22.

Syukurnya, Greysia/Apriyani bisa mengakhiri laga dengan kemenangan 2-1. Rincian skornya, 20-22, 21-17, 18-21.

Greysia/Apriyani masih menjadi tumpuan krusial. Sumber: Badminton Photo/via Kompas.com
Greysia/Apriyani masih menjadi tumpuan krusial. Sumber: Badminton Photo/via Kompas.com

Malaysia dan Indonesia imbang, 2-2. Laga terakhir kembali menjadi penentuan bagi kedua tim.

Awalnya duet Praveen/Melati terlihat kuat. Tetapi, setiap interval kedua, mereka keteteran oleh serangan-serangan lawan. Hasilnya, Praveen/Melati kalah di laga ini lewat rubber game (21-19, 10-21, 21-16).

Praveen/Melati dkk. sudah memberikan segalanya di Finlandia. Sumber: Raphael Sachetat/Badminton Photo/via Kompas.com
Praveen/Melati dkk. sudah memberikan segalanya di Finlandia. Sumber: Raphael Sachetat/Badminton Photo/via Kompas.com

Malaysia yang menargetkan lolos ke perempat final malah berhasil meraih tiket semifinal. Sedangkan, Indonesia harus menyusul Denmark yang juga harus disingkirkan China setelah sempat membuat repot para pemain terbaik China.

Hasil ini jelas membuat saya kecewa. Seolah-olah, apa yang sudah saya bayangkan pasca laga Indonesia vs Denmark terjawab di laga ini.

Indonesia yang punya skuad bagus, nyatanya tidak hanya bisa mengandalkan faktor teknik, tetapi seharusnya memperhatikan sisi nonteknik. Mental dan semangat sangat penting untuk membuat pertandingan tidak sesulit ini.

Kalau dibandingkan dengan rekam permainan tim lain, misalnya China atau Korea Selatan, mereka punya keinginan untuk "membunuh" mental lawan atau mengacaukan skema permainan lawan. Ini yang seperti kurang terlihat di tim kita.

Seolah-olah, kalau lawannya lebih rendah peringkatnya, level kualitas yang "disediakan" juga "seimbang" dengan lawan.

Bahkan, Greysia/Apriyani pun terindikasi demikian. Mereka kemudian seperti baru sadar kalau kualitas teknik saja tidak cukup untuk mengalahkan ganda putri muda Malaysia di gim ketiga.

Sebenarnya, Praveen/Melati seperti ingin menunjukkan langsung mode seriusnya sejak awal laga. Ibaratnya, mereka sudah tidak mau "main-main" lagi.

Tetapi, entah apa yang bisa membuat Hoo-Cheah sangat termotivasi untuk mengalahkan Praveen/Melati. Seolah-olah, mereka tidak peduli dengan jarak peringkat dan pengalaman, mereka hanya ingin mengalahkan lawan di depannya.

Itulah yang kemudian membuat saya sempat berpikir, bahwa mungkin Indonesia juga perlu melakukan penyegaran dalam skuadnya. Memang, tidak perlu seekstrem Malaysia, setidaknya sekadar "menukar" jatah.

Seperti jatah utama tunggal putra mulai dipercayakan ke Shesar, alih-alih Jonatan Christie yang sejak Asian Games 2018 seperti terlihat "misi sudah selesai".

Kemudian, ganda putra mulai perlu mencoba "berjudi" dengan Fajar/Rian, sekalipun mereka juga seperti "cepat habis". Namun, apa pun hasilnya, ini mungkin bisa untuk membangunkan "kebuasan" Marcus/Kevin lagi.

Pada sektor ganda campuran memang terlihat sulit. Tetapi, duet Rinov/Pitha patut dipertimbangkan.

Bahkan, keputusan membawa Rinov/Pitha, alih-alih Hafiz/Gloria, patut diapresiasi. Karena, ini juga bisa untuk membuat Hafiz/Gloria perlu mengembangkan kualitasnya.

Kehadiran Rinov/Pitha bisa membuat "jatah" Praveen/Melati tidak otomatis beralih ke Hafiz/Gloria. Kompetisi internal ini sangat penting untuk membuat Indonesia tidak bergantung pada satu-dua pasangan.

Apalagi, kalau pasangan yang diandalkan juga inkonsisten. Ini tidak hanya celaka bagi Indonesia yang bersaing dengan tim-tim kuat, tapi juga untuk bersaing dengan tim-tim kejutan (contoh: Kanada) dan tim muda (contoh: Malaysia).

Pada sektor ganda putri, ini makin rumit lagi, karena duet Greysia/Apriyani seperti standar paling mentok yang bisa kita miliki. Duet yang saling melengkapi dari segi teknik dan nonteknik.

Tetapi, mencoba pasangan muda juga perlu. Ribka Sugiarto dan Siti Ramadhanti harus terus dipercaya memanggul beban besar.

Kalau harus menerobos ide di luar perkiraan, saya pikir mencoba duet Melati/Gloria di ganda putri bisa menjadi opsi mentok dalam menjaga faktor krusial, yaitu pengalaman.

Atau, Gloria dengan Apriyani. Gloria bagus dalam segi servis, sedangkan Apriyani bagus dari segi kecepatan dan mobilitas.

Kita juga bisa memanfaatkan postur tinggi Gloria untuk mengambil jatah 'smash'. Ini yang sedikit sulit terjadi ketika Gloria bermain dengan Hafiz.

Pemain setinggi Gloria (180-an cm) ditaruh di depan net, orang awam seperti saya pun sudah heran. Maka dari itu, sekalipun terkesan sangat eksperimental, tetapi kenapa tidak untuk dicoba?

Lagipula, Gloria masih berusia 28 tahun saat ini (28 Desember 1993). Secara hitung-hitungan kasar, dia masih bisa kompetitif sampai minimal 4 tahun ke depan.

Daripada pemain seperti Gloria terlihat "nganggur", karena terlihat sering diparkir dan tidak dikirim ke turnamen-turnamen besar. Kenapa tidak untuk merombak posisi bermainnya?

Lalu, bagaimana dengan tunggal putri?

Selain ganda putri yang rumit, alias susah bereksperimen, pada sektor tunggal putri juga begitu. Tetapi, dengan kondisi sedemikian rupa, kita bisa 'nothing to lose'.

Siapa pun yang dimainkan, biarkan saja dia memberikan apa yang dia bisa. Seperti Putri KW dan Ester Tri Wardoyo.

Siapa tahu, justru pemain-pemain yang masih semenjana di level senior ini malah bisa memberikan kejutan dan performa yang bagus.

Ini seperti dengan adanya pemain ganda putra Leo/Daniel. Duo pemain berzodiak Leo itu terbukti bisa memberikan kejutan di Thailand, karena pola permainannya masih susah ditebak oleh lawan.

Berbeda dengan para pemain senior yang sudah pasti dipelajari oleh calon lawan-lawannya. Itulah mengapa, para pemain hebat di masa lalu juga bisa tumbang di tangan pemain-pemain muda.

Contohnya seperti Lin Dan, yang di masa jayanya seperti 'Saitama', alias over power. Tetapi, kini yang kita jadikan referensi adalah Kento Momota dkk.

Pola inilah yang kemudian menurut saya perlu mulai dipertimbangkan untuk tim kita. Walaupun, sebenarnya sudah mulai dilakukan dengan salah satu buktinya di Piala Sudirman 2021.

Sekarang, kita perlu melepaskan kekecewaan atas kegagalan melaju ke semifinal Piala Sudirman dengan cara mengalihkan fokus ke turnamen selanjutnya, yaitu Piala Thomas dan Piala Uber. Dua turnamen ini rencananya akan digelar mulai 9 Oktober 2021 di Denmark.

Di sini, kita kembali berharap ada hal-hal baik yang terjadi pada dua tim kita. Tim Thomas dan Tim Uber Indonesia.

Bukti masyarakat Indonesia tetap mendukung kiprah pebulutangkis Indonesia. Sumber: Youtube/diolah penulis dari kanal penyedia live score streaming
Bukti masyarakat Indonesia tetap mendukung kiprah pebulutangkis Indonesia. Sumber: Youtube/diolah penulis dari kanal penyedia live score streaming

Malang, 2 Oktober 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Kompas.com 1, Kompas.com 2, Kompas.com 3.
Baca juga: Indonesia Lolos ke Perempatfinal Piala Sudirman 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun