Ketika ada Messi, Barcelona dicap sebagai klub yang mulai tak lebih besar dari Messi. Tetapi, ketika tidak ada Messi, Barcelona urung membuktikan diri mereka lebih besar dari Messi.
Memang, semua pemain termasuk Messi akan meninggalkan klubnya, tetapi kepergian Messi tidak diiringi transisi yang positif.
Sebenarnya, Barcelona sudah berupaya menimbang-nimbang potensi mereka jika tanpa Messi. Ini bisa dilihat dari perekrutan Philipe Coutinho dan Antoine Griezmann.
Dua pemain yang bertipikal menyerang dan punya keterampilan individual bagus. Sayangnya, dua pemain ini seperti tidak mampu menemukan performa yang bagus dan apalagi konsisten.
Itu yang membuat transisi Barcelona dari masa akhir kebersamaan dengan Messi menuju tanpa Messi seperti masa kegelapan. Mereka pun mengikuti jejak Real Madrid yang sempat kesulitan pasca kepergian Cristiano Ronaldo.
Pemain hebat lainnya yang tak kalah memabukkan bagi klub yang menaunginya. Bisa dikatakan, keberhasilan Madrid merengkuh empat titel "Si Kuping Besar" karena ada Ronaldo.
Ronaldo memang tidak sevital Messi di Barcelona, tetapi Ronaldo masih bisa diandalkan untuk mencetak gol-gol penting. Inilah yang membuat mereka akhirnya meraih 13 trofi, terbanyak sepanjang sejarah saat ini.
Sejarah hebat yang kemudian menjadi parameter kualitas Madrid ke tahun-tahun selanjutnya. Seperti kekalahan Madrid dari Ajax (1-4) di 16 besar musim 2018/19, dan kini menuai kekalahan dari Sheriff Tiraspol (29/9).
Uniknya, kekalahan itu terjadi di tempat yang sama. Santiago Bernabeu.
Tempat megah yang ternyata tidak hanya menjadi surga bagi publik El Real, tetapi juga menjadi neraka bagi mereka.
Kekalahan dari Sheriff (1-2) kemudian dianggap sebagai sejarah memalukan, karena tolok ukurnya adalah 13 trofi UCL vs klub debutan. Adil?