Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ketika Seorang "Tukang Khawatir" Divaksin

28 September 2021   19:56 Diperbarui: 28 September 2021   20:10 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasca vaksinasi, saya juga merasakan nafsu makan meningkat. Sumber: Pexels.com/Andrea Piacquadio

Saat ini, kita hidup di tengah pandemi Covid-19 yang kemudian membuat banyak orang terkena virus Corona dan banyak orang pun perlu melakukan vaksinasi. Soal apa "merek" vaksinnya, itu tidak penting untuk dibahas, yang penting vaksin.

Tetapi, bagi orang yang mudah khawatir seperti saya, program vaksinasi tidak gampang untuk diterima atau dilakukan begitu saja. Perlu pertimbangan tertentu dan persiapan.

Sebagai orang yang saat ini berdomisili di Malang, setahu saya, program vaksinasi sudah tiba sejak Maret 2021. Namun, saya tidak segera menyambutnya, karena pertimbangan saya adalah keberadaan informasi tentang pembagian jadwal vaksin berdasarkan usia dan status profesinya.

Saya pun berpikir kalau kaum muda masih bisa nanti. Ditambah, saya memang orang yang tingkat mobilitasnya sangat rendah, maka saya berpikir kalau vaksinasi masih belum saya butuhkan segera.

Pertimbangan selanjutnya adalah pengetahuan dan pemahaman saya tentang vaksin untuk menghadapi Covid-19 masih sedikit. Saya juga beberapa kali menemukan berita dan ulasan yang kurang positif terkait keberadaan vaksin.

Itulah yang membuat saya masih "adem-ayem" ketika yang lain sudah mulai bergerilya mencari vaksin. Saya tentu tidak bisa naif dengan sok percaya diri dan berani untuk vaksinasi, mengingat ketika dulu ada gelombang kepulangan WNI dari Wuhan atau China, saya juga cenderung punya kekhawatiran yang sama seperti penduduk Natuna kala itu.

Karena, menurut saya itu adalah hal logis. Manusia juga punya naluri untuk bertahan hidup dan menghindari bahaya, selain kepekaan dan kepedulian terhadap sesama.

Artinya, di dalam diri saya ada hitam dan putih. Ada sisi yang berani, ada juga sisi yang culun.

Baca juga: Bagaimana Kalau Kota Anda Menjadi Tempat Observasi Corona?

Saya pun menyadarinya dengan sadar, walau kadang juga larut dalam naluri atau juga kebiasaan kurang bagus, yaitu sering berprasangka buruk dan mudah khawatir. Di sinilah kemudian saya perlu mengubahnya, karena saya juga melihat adanya hal-hal positif yang dihasilkan dari vaksinasi.

Meskipun saya adalah satu di antara banyak orang di Indonesia yang belum pernah terpapar Covid-19, saya juga mulai memahami tentang pentingnya vaksinasi. Menurut logika sederhana saya, vaksinasi mirip orang yang berpresentasi. Terkadang bisa mengalami kegagalan jika kurang persiapan dan punya potensi keberhasilan jika sudah melakukan cukup persiapan.

Itulah yang kemudian saya lakukan sebelum menerima vaksin masuk ke dalam tubuh saya. Beberapa hari setelah mendapatkan informasi terkait vaksinasi di sebuah instansi pendidikan, saya mulai membaca-baca tentang vaksinasi yang diprogramkan di instansi-instansi besar.

Ilustrasi mencari informasi digital. Sumber: Pexels/Kaboompics.com
Ilustrasi mencari informasi digital. Sumber: Pexels/Kaboompics.com

Salah satu kesamaan program vaksinasi yang dilakukan di instansi besar baik di bidang kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan lainnya, adalah penggunaan AstraZeneca. Ada tiga rekan yang berlatarbelakang profesi berbeda yang mendapatkan vaksin AstraZeneca.

Namun, saat saya memberanikan diri untuk mengisi formulir survei pra-vaksinasi, saya masih belum tahu apakah vaksin yang diberikan nanti adalah AstraZeneca. Hanya saja, saat itu saya sudah merasa lebih siap untuk vaksin dibanding sebelumnya.

Singkat cerita, setelah menunggu kabar dari pihak instansi tersebut, akhirnya saya mendapatkan pesan singkat pemberitahuan tentang jadwal vaksin. Sebelumnya, saya sudah mendapatkan selebaran digital tentang jadwal vaksinasi bulan September yang dilaksanakan selama empat hari (18-21 September 2021).

Meski begitu, saya tidak tahu apakah jadwalnya fleksibel alias saya bisa datang kapan saja dalam rentang waktu tersebut, atau sudah ada jadwal khusus. Sampai kemudian, ternyata saya mendapatkan jadwal khusus, dan jadwalnya adalah hari pertama.

Pesan singkat pemberitahuan jadwal vaksinasi. Sumber: Dokumentasi penulis
Pesan singkat pemberitahuan jadwal vaksinasi. Sumber: Dokumentasi penulis

Pemberitahuan H-1 vaksinasi terasa membingungkan. Karena, di satu sisi senang bisa mendapatkan pemberitahuan dan kepastian, namun di sisi lain, saya merasa kembali dihadapkan pada kesangsian apakah saya bisa menjalani vaksinasi lalu di hari yang sama saya dapat melakukan aktivitas bersama orang-orang.

Setelah divaksin, saya tidak mengalami kendala berarti. Karena, saya juga sudah mempersiapkan hal yang tepat dan sudah disarankan beberapa teman, yaitu sarapan dulu sebelum vaksinasi. Kedua, saya harus segera istirahat setelah vaksinasi.

Formulir yang harus diisi jujur ini diserahkan setelah observasi untuk mendapatkan kartu vaksinasi Covid-19. Sumber: Dokumentasi penulis
Formulir yang harus diisi jujur ini diserahkan setelah observasi untuk mendapatkan kartu vaksinasi Covid-19. Sumber: Dokumentasi penulis

Sebenarnya, saya juga harus makan dulu sebelum istirahat. Namun, saya melewatkan itu dan memilih segera istirahat.

Alasan saya segera istirahat adalah agar bisa bangun dan segar, lalu siap untuk mengikuti aktivitas yang memang dijadwalkan pada jauh hari sebelumnya, yaitu syuting film pendek. Sekalipun saya hanya kru yang tidak terlalu melakukan apa-apa, saya perlu bersemangat untuk tetap berpartisipasi di hari itu.

Beruntungnya, saya masih cukup kondusif sampai kemudian mulai merasakan stamina menurun di akhir proses syuting hari pertama. Faktor terlambat makan dan sebelumnya juga mengalami semacam "rutin" masuk kamar mandi selama tiga kali membuat saya seperti itu.

Mungkin, kalau saya sebelum berangkat ke lokasi syuting sudah makan, ceritanya bisa berbeda. Inilah yang kemudian saya balas setelah usai syuting, yaitu makan sebelum tidur dan sebelum tidur juga minum obat paracetamol yang telah diberikan saat vaksinasi.

Esok paginya, saya merasa sudah cukup bugar untuk kembali menjalani proses syuting untuk hari kedua sekaligus hari kedua saya menjadi "makhluk vaksin". Hanya saja, saya merasa lebih cepat menurun terutama ketika proses syuting dimulai dengan tempo yang cukup lambat.

Baru ketika proses syuting berjalan cepat, saya merasa lupa dengan keadaan saya. Sampai kemudian saya merasa sudah kembali lebih baik ketika sudah makan. Meskipun badan masih demam, saya merasa energi saya tidak serendah saat saya menunggu proses syuting dimulai.

Dari sini kemudian saya mempelajari pola kerja vaksin di dalam tubuh saya, yaitu tentang pentingnya waktu istirahat yang cukup dan kecukupan asupan makanan dan minuman di dalam tubuh. 

Soal mengonsumsi paracetamol, ada yang bilang itu tidak terlalu wajib, tetapi kalau memang merasa itu penting, boleh saja dikonsumsi seperti yang saya lakukan.

Walaupun saya cenderung jarang mengonsumsi obat, tetap saja saya perlu mencoba memberikan asupan obat ke dalam tubuh saya ketika saya merasa tubuh sedang tidak dalam kondisi yang pernah dialami. Sekalipun saya pernah demam, tetapi demam karena sakit dengan demam karena vaksin rasanya berbeda.

Ketika demam karena sakit, biasanya tubuh sulit diajak berpura-pura baik-baik saja. Tetapi, kalau demam karena vaksin, tubuh sebenarnya tidak sepenuhnya lemah, hanya saja tidak sekuat biasanya.

Itulah yang kemudian membuat saya perlu mengonsumsi paracetamol, meskipun hanya sekali. Sejak itu, saya mulai menjalani masa pemulihan sampai akhirnya pada Minggu, 26 September 2021, saya sudah tidak lagi merasakan keluhan di lengan maupun di leher (suhu hangat).

Dari sini kemudian saya menemukan pelajaran berarti tentang proses melawan rasa khawatir dan prasangka buruk terhadap vaksin, yaitu tentang persiapan dan kemampuan dalam berlogika sederhana ketika menghadapi sesuatu yang jarang terjadi.

Maklum, vaksinasi terakhir sebelum ini adalah SMP kelas 7. Itu pun saya sudah lupa vaksinasi untuk mencegah penyakit apa.

Artinya, menghadapi vaksinasi adalah hal yang perlu saya pelajari dan perlu saya nalar. Contoh penalaran sederhana saya adalah tidak memijat-mijat lengan bekas suntik pasca vaksin.

Itu yang sempat saya lihat ketika sedang duduk di zona observasi 15 menit. Saya melihat seorang perempuan yang memijat-mijat lengan--yang terduga--bekas suntikan.

Meskipun saya bukan orang berlatarbelakang medis, saya berpikir kalau tindakan itu mungkin malah membuat rasa sakit menjalar ke mana-mana. Ini yang saya hindari selama dua-tiga hari pasca vaksin.

Kalaupun saya memegang area bekas vaksin, itu pun hanya sekadar menyentuh dan mengelus, tidak sampai menekan-nekannya. Karena, saya khawatir malah lengan saya makin sakit.

Kemudian, sebelum saya meminum paracetamol, saya bertanya ke teman yang saya anggap paham tentang aturan main obat-obatan dan saya juga membaca artikel tentang cara mengonsumsi paracetamol dengan tepat. Ini yang membuat rasa khawatir saya terhadap vaksin dan obat perlahan surut.

Salah satu tanggapan teman terhadap apa yang akan saya lakukan untuk pemulihan pasca vaksinasi. Sumber: Dokumentasi penulis
Salah satu tanggapan teman terhadap apa yang akan saya lakukan untuk pemulihan pasca vaksinasi. Sumber: Dokumentasi penulis

Saya kemudian berpikir kalau rasa khawatir dan prasangka buruk yang saya miliki mungkin adalah kebiasaan. Kebiasaan ini bisa karena melihat orang lain punya kekhawatiran dan prasangka buruk lalu saya menirunya. Atau, juga bisa karena saya kurang persiapan, baik wawasan maupun tindakan pencegahan.

Artinya, sebelum vaksinasi, kita perlu banyak mengisi kepala kita dengan berbagai informasi. Tentang sisi baik-buruk, itu nanti bisa dipilah dan dipahami dengan cara melakukan kroscek dengan apa yang dialami orang-orang terdekat.

Mengukur kesamaan "merek" vaksin juga perlu, karena mungkin beda "merek" akan menimbulkan gejala yang berbeda. Sampai akhirnya, kita mengetahui bahwa beda tubuh maka beda tingkat imunitasnya.

Itu yang kemudian perlu dipahami dan menjadi pijakan untuk membuat konklusi, apakah kita percaya dengan vaksin atau tidak. Sekalipun saya orang yang mudah khawatir dan cenderung berprasangka buruk, biasanya saya mengambil sisi positif dan mencari cara untuk mendapatkan sisi positif itu.

Saya mencari cara agar dapat sarapan sebelum vaksinasi. Juga cara agar tidak merasakan sakit pasca vaksin, karena ditusuk jarum di lengan yang kurus tetaplah menjengkelkan.

Kemudian, saya harus punya cara agar ketika ditanya "adakah gejala tertentu pasca vaksin", saya dapat menjawabnya dengan "biasa saja".

Dua kata itu bukan untuk berbohong dan sok tangguh, tetapi memang sudah dipersiapkan sejak awal. Ada tiga persiapan, yaitu tidak memedulikan area bekas suntik, tidak membebani tangan bekas suntik, dan tidak membebani bahu bagian lengan yang disuntik.

Sebenarnya, ada persiapan yang krusial namun cenderung tricky, yaitu tidak memusatkan pikiran ke suntikan, melainkan berupaya memenuhi pikiran dengan hal-hal lain. Dengan begitu, rasa sakit akibat suntikan tidak begitu terasa.

Setelah persiapan yang antisipatif, saya mulai mempersiapkan hal-hal selanjutnya. Seperti istirahat dan seharusnya makan tepat waktu.

Pasca vaksinasi, saya juga merasakan nafsu makan meningkat. Sumber: Pexels.com/Andrea Piacquadio
Pasca vaksinasi, saya juga merasakan nafsu makan meningkat. Sumber: Pexels.com/Andrea Piacquadio

Setelah proses syuting, saya membalas kelalaian saya tentang dua hal itu di beberapa hari selanjutnya. Sampai kemudian genap sepekan saya sudah merasa cukup normal, dan berdasarkan inilah saya berani menjadi salah seorang penyebar pengalaman pasca vaksinasi.

Memang, saya masih menjalani vaksinasi dosis satu. Namun, ini sudah menjadi bukti kalau "tukang khawatir" dan (terkadang) "negative thinker" juga berani menjalani vaksinasi.

Kalau saya bisa, mungkin Anda juga bisa membuat keputusan antara vaksinasi atau tidak. Ini memang keputusan masing-masing, tetapi bisa juga berpengaruh terhadap orang di sekitar masing-masing.

Pasca vaksinasi H+1,5. Sumber: diolah penulis dari Dokumentasi MASTER HOUSE
Pasca vaksinasi H+1,5. Sumber: diolah penulis dari Dokumentasi MASTER HOUSE

Malang, 28 September 2021
Deddy Husein S.

Terkait: CNNIndonesia.com, Goal.com, Terakota.id, Alodokter.com, Sehatq.com, Kompas.com, Alodokter.com, Hellosehat.com, Mindtools.com.
Baca juga: Anak Indekos Juga Harus Yakin Vaksin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun