Fakta miris itu yang kemudian perlu diubah, terutama oleh orang-orang yang sudah mulai bersinggungan dengan pasar internasional. Memang, tidak semua negara luar punya tingkat apresiasi yang bagus terhadap karya kreatif.
Negara-negara berkembang--tidak hanya Indonesia--sebenarnya masih ada yang kacau dalam mengapresiasi karya kreatif. Bahkan, secara personal pun masih ada yang melakukan aksi ghosting setelah melakukan permintaan dan dibuatkan sketsa atau kerangka awal dari bentuk karya yang diminta.
Hal semacam itu memang masih menjadi kerikil-kerikil bahkan batu-batu besar yang dapat menyandung proses kreatif, termasuk dalam ranah kerja sama antara penyedia jasa dengan (calon) klien. Termasuk saya, yang masih menjadi pemain baru dan berada di bidang kepenulisan.
Di dalam ranah negosiasi upah terhadap penyediaan jasa kreatif, saya masih cenderung mau berkompromi. Kompromi yang saya lakukan pun tidak semata-mata karena saya sedang membutuhkan uang, melainkan ada beberapa faktor yang harus saya pertimbangkan sebelumnya.
Faktor pertama, tingkat kesulitan. Bisa diukur dari konsep dan panjang-pendek naskah. Panjang-pendek naskah berpengaruh dengan durasi.
Biasanya, orang-orang yang jarang menggunakan naskah yang benar dan baik untuk penggarapan konten audio-visual cenderung susah memastikan target halaman naskah. Di situlah peran saya untuk memberikan pemahaman tentang logika durasi dengan panjang-pendek naskah.
Faktor kedua, pengalaman. Berhubung saya saat itu belum pernah menulis naskah untuk konten audio-visual seperti animasi dan sejenisnya, maka saya juga masih sangat kooperatif dengan upah yang ditawarkan calon klien.
Faktor ketiga, jasa kepenulisan masih tidak sepenuhnya diremehkan. Dengan upah yang saya terima dengan perhitungan konsep dan durasi serta pengalaman, ternyata saya masih tidak terlalu melihat jasa kepenulisan dihargai rendah.