Karena, karya yang melibatkan saya bisa saja dihapus oleh si pemilik kanal dengan pertimbangan tertentu. Jika sudah begitu, saya pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Artinya, saya tidak bisa menggunakan logika yang biasanya digunakan oleh orang-orang yang bekerja sama untuk membangun kanal Youtube, yaitu sistem bagi hasil. Bahkan, saya juga tidak bisa menggunakan sistem "residual" terhadap jasa penulis skenario yang diberlakukan di jagat perfilman--terutama Hollywood.
Hal itu dikarenakan apa yang terjadi di kanal Youtube masih seperti praktik dalam struktur 'kreatif akar rumput'. Artinya, sistem yang familier adalah "Anda punya apa, saya beli".
Itu tidak hanya saya alami, tetapi juga dialami oleh rekan-rekan di bidang kreatif, termasuk ilustrator. Ini yang kemudian membuat salah seorang rekan saya harus melakukan survei tentang standar upah jasa di bidang kreatif, terutama ilustrasi.
Berhubung, dirinya sudah membuka jasa untuk pasar (calon klien) internasional, maka dia harus survei tentang standar upah jasa kreatif yang pas. Dia pun menggunakan logika tentang jatah pengeluaran dalam sehari di suatu negara atau daerah di dalam negara tertentu yang dapat dijadikan sebagai patokan tepat.
Misalnya, dia melihat pasarnya di sekitar Amerika Serikat (AS), maka dia akan menggunakan standar yang pas untuk pengeluaran paling mendasar di sana, yaitu biaya makan sehari. Logika itu juga bisa diterapkan di Eropa hingga Asia.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Mungkin, karena dia sudah punya pasar di internasional, maka pasar nasional dan lokal cenderung menjadi target sampingan. Inilah yang membuat dia sudah berani menerapkan sistem 'take it or leave it'.
Sistem itu sebenarnya juga bagus untuk membangun standar yang tepat terhadap upah penyediaan jasa kreatif di Indonesia. Karena, dewasa ini, makin bertumbuh-kembangnya aktivitas kreatif masyarakat Indonesia, ternyata belum diiringi dengan intelektualitas yang tepat dalam mengapresiasi karya.
Jangankan mengapresiasi karya orang lain, mengapresiasi karya sendiri saja masih sangat rendah. Ini dapat dibuktikan dengan maraknya upah penyediaan jasa kreatif yang sangat murah, bahkan seringkali berembel-embel kebutuhan pulsa.