Selain harus memberikan argumentasi yang tepat--tidak terkesan menggurui, penyedia jasa juga perlu segera memberikan contoh atau wujud dari apa yang dapat dikerjakan setelah mendapatkan konsep permintaan dari klien. Dengan begitu, klien juga mengerti apa yang dimaksud penyedia jasa.
Jika klien setuju, maka pengerjaan yang sesungguhnya dapat dilakukan atau dilanjutkan.
Poin ketiga, belajar berkompromi. Setelah mendapatkan gambaran tentang permintaan klien dan pihak penyedia jasa juga sudah mencoba memberikan penawaran tentang perwujudan yang dapat dihasilkan, maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah berkompromi.
Kompromi tentu tidak hanya dalam hal upaya mewujudkan karya, tetapi juga dalam hal upah. Bagian ini yang biasanya paling cepat diperhitungkan oleh banyak orang.
Padahal, sebenarnya yang paling penting dari negosiasi adalah output yang bisa dicapai oleh kedua belah pihak. Artinya, yang harus dicari kesepakatannya terlebih dahulu adalah rancangan wujud kerja samanya, bukan bayarannya.
Sekalipun, bayaran adalah target realistis bagi si penyedia jasa--termasuk saya, dia akan cenderung mengikuti apa yang dapat dicapai dari kesepakatan ide antara klien dengan penyedia jasa.
Kalau idenya tidak bertemu, bagaimana bisa mempertemukan si penyedia jasa dengan upah?
Itulah kenapa, saya pun harus berkompromi. Selain berkompromi lewat konsep yang diminta klien dengan konsep yang dapat saya wujudkan lewat naskah yang dibutuhkan, maka saya juga perlu berkompromi dengan pendapatan.
Awalnya, saya berpikir kalau sistemnya akan benar kalau saya menggunakan sistem bagi hasil dalam bentuk persenan. Namun, sistem itu terasa kurang baik kalau menyadari bahwa kerja sama ini bersifat tidak menentu, alias tidak terikat pada kerja sama yang panjang.
Lagipula, kalau berkaitan dengan kanal Youtube, kita juga perlu berpikir tentang bagaimana dan siapa yang menumbuhkan kanal tersebut. Jika yang menumbuhkan bukan saya, maka tidak mungkin saya dapat mematenkan segala hal yang ada di kanal tersebut.