Membahas tentang kesenian itu menarik. Ditambah, banyak cabang seni yang makin hari juga makin beragam dan terus-menerus berupaya untuk dipopulerkan. Kepenulisan pun masuk ke ranah seni dengan yang populer adalah sastra.
Sastra ini biasanya lekat dengan puisi. Karakteristik puisi yang identik dengan permainan majas, kemudian menjadi menarik untuk dilirik oleh orang-orang yang kreatif dan inovatif dalam merangkai kata-kata (diksi).
Keberadaan majas, membuat puisi bisa dikatakan ideal untuk membungkus pesan-pesan yang sebenarnya amat lekat dengan satu hal menjadi bisa terpecah ke banyak hal. Ini yang membuat puisi sukar ditebak secara pasti.
Kelebihan ini membuat puisi cenderung banyak digunakan untuk mengkritik, terutama kebijakan pemerintah untuk masyarakat. Banyak contoh karya puisi yang bisa menggambarkan kritik.
Bahkan, ada seorang sastrawan puisi yang identik dengan kritik sosialnya, yaitu Wiji Thukul. Karyanya bahkan sering diorasikan dalam aksi-aksi mengkritik pemerintah dari masa ke masa.
Namun, seiring berjalannya waktu, puisi menjadi terlihat seperti kekurangan magis. Bukan hanya karena sastrawan puisi yang menulis puisi satir kalah banyak dengan puisi romansa, melainkan karena banyak majas mulai sudah mudah diketahui pembaca.
Banyak diksi yang juga sudah sering digunakan, membuat puisi dewasa ini kurang inovatif, alih-alih kreatif. Nahasnya lagi, dewasa ini, mulai banyak orang yang cenderung menganggap puisi seperti tulisan diari.
Kalau ingin menangis, maka segala ungkapannya menjadi sangat cengeng. Kalau ingin mengumpat pun, segala diksi yang digunakan akan menggambarkan dengan jelas tentang emosi kemarahan.
Padahal, setahu saya, puisi seharusnya masih bisa cukup "netral" dibandingkan tulisan lain. Misalnya, karya yang karakteristiknya cenderung sudah pasti tentang pengungkapan isi pikiran dan perasaan, terutama dari si penulis atau juga bisa dengan sudut pandang orang pertama, yaitu 'senandika'.