Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Tantangan Simone Inzaghi Menambal "Lubang" Conte di Liga Champions

28 Agustus 2021   20:33 Diperbarui: 29 Agustus 2021   18:02 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mourinho mampu membawa Inter stabil di tiga kompetisi berbeda dalam semusim. Sumber: AFP/Christophe Simon/via Kompas.com

Sesempurna seseorang, pasti ada kekurangannya. Tidak hanya berlaku bagi kita yang berusaha mematut diri pada angle kamera yang pas, demi menangkap wajah yang terlihat sempurna lalu diunggah di media sosial. Hal ini juga berlaku bagi pelatih hebat asal Italia, Antonio Conte.

Seperti yang sudah kita tahu, sebagai publik penggemar sepak bola, bahwa Conte memang salah satu pelatih jawara. Terbukti, bersama Internazionale Milano, alias Inter Milan, Conte sukses meraih gelar juara Serie A musim 2020/21.

Itu artinya, Conte berhasil meraih gelar di tiga klub yang ia asuh di dua kompetisi elit Eropa. Serie A dan Premier League (EPL). Sebelum menjadi jawara di Premier League bersama Chelsea, Conte sukses menjuarai Serie A bersama Juventus.

Tidak hanya sekali, Conte membawa Juventus berpesta scudetto tiga kali beruntun sejak musim 2011/12. Setelah itu, ia melatih Timnas Italia sampai pada musim panas 2016/17 ia ditunjuk sebagai manajer Chelsea.

Hebatnya, di musim pertama, dia langsung menjuarai Premier League. Di musim kedua, dia memang gagal juara liga, dan apalagi Liga Champions, tetapi dia masih bisa memberikan gelar untuk Chelsea, yaitu Piala FA.

Setelah menganggur setahun, pada 2019, ia mau menjadi allenatore Inter Milan. Musim pertama, Inter sudah menunjukkan tanda-tanda yang dekat dengan scudetto. Sayangnya, Juventus berhasil kembali juara dengan hanya berbeda satu poin!

Antonio Conte punya andil besar dalam membangunkan Inter Milan yang lama tertidur. Sumber: AFP/Marco Bertorello/via Kompas.com
Antonio Conte punya andil besar dalam membangunkan Inter Milan yang lama tertidur. Sumber: AFP/Marco Bertorello/via Kompas.com

Harapan meraih trofi sebenarnya ada di Liga Europa (UEL). Samir Handanovic dkk. berhasil melaju ke final dan bertemu Sevilla.

Namun, Inter harus rela pulang sebagai runner-up. Tidak hanya Conte yang kecewa, tetapi semua pemain terutama pemain-pemain yang belum pernah merasakan juara di karier tertingginya juga kecewa. Harus menunggu lagi.

Hingga, musim 2020/21 menjadi bukti sah bahwa Conte memang salah satu pelatih yang ber-DNA jawara. Dia sukses membawa Inter memupus dominasi scudetto Juventus yang dulunya juga dialah yang mengawali kesuksesan tersebut.

Kini, Conte sudah berstatus mantan pelatih Inter. Ia digantikan Simone Inzaghi yang merupakan mantan pelatih Lazio. Apakah Inzaghi adalah pilihan tepat Inter?

Pertanyaan itu sebenarnya berbalut kesangsian. Maklum, kiprah Inzaghi bersama Lazio masih cenderung sporadis. Terkadang bagus, terkadang tidak.

Jika dibandingkan Inter Milan dan proyek kebangkitan AC Milan, maka kiprah Inzaghi di Lazio hampir tidak beda jauh dengan Atalanta bersama Gian Piero Gasperini. Beruntung, potensi Inzaghi dipertemukan oleh ketertarikan Inter Milan yang berusaha mempertahankan semangat memburu gelar lagi di musim 2021/22.

Target realistisnya tentu mempertahankan scudetto.

Dalam kampanye awal, misi itu seperti masih berjalan sesuai rencana. Ini bisa dibuktikan dengan dua kemenangan Inter Milan di awal musim.

Inter menang besar di laga pembuka Serie A 2021/22. Sumber: via Reuters
Inter menang besar di laga pembuka Serie A 2021/22. Sumber: via Reuters

Pada laga pertama, Inter menang telak 4-0 atas Genoa. Memang, lawannya bukanlah tim kuat, tetapi kemenangan dengan skor telak sangat membantu pembangunan optimistis di kubu Inter.

Kemudian, di laga kedua, Inter berhasil menghempaskan perlawanan sengit Hellas Verona dengan skor 1-3. Jika hanya melihat hasil akhir, publik akan berpikir ini juga laga mudah. Tetapi, jika menonton pertandingannya, publik tidak bisa menutup mata, bahwa laga ini berjalan sengit.

Verona sebagai tuan rumah tidak tinggal diam. Mereka juga punya keberanian menyerang dan meneror pertahanan lawan. Mereka juga menggunakan taktik bertahan yang diterapkan Inter Milan, yaitu high pressing.

Lewat upaya itu, Verona sempat mencuri keunggulan akibat kesalahan koordinasi pemain belakang Inter. Skor 1-0 bahkan mampu dipertahankan sampai jeda turun minum.

Sebagai tim juara bertahan, Inter rupanya tahu apa yang harus dilakukan di awal babak kedua. Mereka harus mencetak gol penyeimbang kedudukan. Dan, itu berhasil dilakukan lewat gol Lautaro Martinez di menit 47.

Kunci kemenangan kemudian ada di Joaquin Correa. Dia berhasil mencetak dua gol setelah masuk menggantikan sang pencetak gol pertama.

Correa menjadi bintang kemenangan Inter di pekan kedua. Sumber: via Reuters
Correa menjadi bintang kemenangan Inter di pekan kedua. Sumber: via Reuters

Bukan hanya Correa, Matteo Darmian, dan Nicolo Barella yang patut disanjung akibat keterlibatan mereka di dua gol krusial itu, tetap juga Inzaghi. Dia juga punya keputusan tepat dengan mengganti Marcelo Brozovic dengan Arturo Vidal.

Pemain senior asal Chile itu turut berperan dalam gol kedua Inter. Dia berhasil melihat posisi Darmian di sisi kanan depan yang kemudian mampu mengirim umpan silang lambung ke dalam kotak penalti Verona.

Strategi memasukkan Vidal di babak kedua juga jitu saat Inter melakoni laga pertama. Dialah yang mampu membantu Edin Dzeko mencatatkan debutnya bersama Inter di Serie A dengan gol.

Dari situ, kita bisa melihat bahwa Inzaghi sudah menunjukkan adaptasi cepatnya dengan pemain-pemain yang sebagian besar baru bekerja sama dengannya--kecuali Stefan De Vrij dan Correa. 

Dia bisa dikatakan tahu karakteristik pemain yang sudah dimiliki Inter dan ditambah dengan beberapa pemain baru yang bisa menambal perubahan skuad, terutama dengan kepergian Romelu Lukaku dan Achraf Hakimi.

Dua pergantian pemain yang bisa dikatakan tepat, ada pada sosok Dzeko dan Correa. Namun, tentu saja, ini masih baru dua laga awal. Kita belum tahu bagaimana proses para rival untuk menanggapi start cepat Inter Milan musim ini.

Selain itu, Inter juga belum melakoni jadwal padat dengan keikutsertaan mereka di Liga Champions (UCL). Inter baru akan berlaga di UCL pada 16 September 2021 dengan menjamu Real Madrid.

Artinya, Inzaghi belum mendapatkan ujian berat dengan membagi fokus antara kompetisi domestik dengan Eropa. Pekerjaan berat bagi Inzaghi yang selama di Lazio juga sulit membawa timnya stabil ketika harus berkompetisi juga di Eropa.

Contohnya, di musim 2018/19. Lazio harus finis di posisi 8 klasemen Serie A, karena mereka juga tampil di Liga Malam Jumat, pasca finis ke-5 di musim sebelumnya.

Penyebab kemerosotan pencapaian Inzaghi jika dibandingkan dua musim sebelumnya yang konsisten finis ke-5, selain pembagian fokus, adalah kebobrokan lini belakang Lazio. Bagaimana Lazio bisa kompetitif, kalau mereka hanya mampu surplus 10 gol?

Contoh kedua, di musim 2020/21, yang juga terjadi serupa. Bedanya, Lazio berhasil dibawa Inzaghi naik kelas, yaitu berkompetisi di UCL. Ini karena, Lazio berhasil finis ke-4 di musim sebelumnya.

Tetapi, bagaimana dengan di Serie A?

Secara posisi akhir, Lazio masih lebih baik dari musim 2018/19. Ciro Immobile dkk. finis ke-6, yang artinya bisa berkompetisi di UEL. Tetapi, mereka malah hanya surplus enam gol!

Artinya, mereka bisa mencetak cukup banyak gol, tetapi gawang mereka juga sangat mudah kebobolan. Hal semacam ini jelas sulit bagi Lazio dapat kompetitif menyaingi empat rivalnya yang identik dengan warna strip hitam; Inter Milan, AC Milan, Atalanta, dan Juventus.

Catatan minor Inzaghi di Lazio itu yang kemudian perlu diwaspadai ketika kini di Inter. Apakah bisa ia membawa Inter kompetitif di domestik dan Eropa?

Simone Inzaghi tidak bisa membiarkan Inter hanya sebagai penggembira di UCL. Sumber: via Reuters
Simone Inzaghi tidak bisa membiarkan Inter hanya sebagai penggembira di UCL. Sumber: via Reuters

Bukannya meremehkan Inzaghi. Namun, pelatih yang lebih berpengalaman seperti Conte saja masih menjadikan itu sebagai tantangan terbesar dalam karier suksesnya. Terbukti, selama berkarier sejak melatih Arrezo (2006), Conte hanya sekali memenangkan kompetisi bersistem kalah-gugur, yaitu Piala FA 2017/18.

Artinya, Conte juga bukan pelatih yang seperti Pep Guardiola, Jose Mourinho, Jupp Heynckes, hingga Hansi Flick. Dan, inilah yang menjadi lubang besar dalam karier Conte.

Hal itu pula yang membuat tanda tanya besar, apakah Inzaghi bisa menutup lubang besar Conte bersama Inter Milan? Bahkan, dewasa ini mencari pelatih Italia yang bisa membawa timnya kompetitif di minimal dua kompetisi sangat sulit.

Paling mentok adalah pelatih generasi lama, yaitu Carlo Ancelotti. Dia masih bisa menaklukkan maksimal dua kompetisi. Ini dilakukan bersama AC Milan pada musim 2002/03 dengan raihan juara Copa Italia dan Liga Champions.

Kemudian, dia membawa Chelsea juara EPL dan Piala FA pada 2009/10. Di Real Madrid, kisahnya serupa dengan di Milan, yaitu menjuarai Copa del Rey dan Liga Champions pada 2013/14.

Sedangkan, di Juventus (1999), Paris Saint-Germain (2012/13), dan Bayern Munchen (2016/17), Carletto "hanya" sanggup memberikan satu gelar dalam satu musim. Ini artinya, menjadi pelatih yang dapat mengelola daya kompetitif di semua kompetisi sangat tidak mudah.

Itulah yang kemudian menjadi tantangan Inzaghi bersama Inter Milan musim ini. Dia harus menentukan target prioritas dan target yang bisa dikejar jika memungkinkan.

Secara logika sederhana, mempertahankan scudetto adalah misi prioritas Inzaghi. Namun, dirinya juga sebaiknya tidak membuat Inter kembali menjadi badut di Liga Champions seperti musim lalu.

Inter harus mulai kembali menjadi tim yang bermental pemenang di mana pun berada, termasuk di UCL. Alasannya pun sudah jelas, bahwa mereka adalah jawara Italia. Ini tidak beda jauh dengan status Inter Milan di Liga Champions 2009/10 saat dilatih Mourinho.

Mourinho mampu membawa Inter stabil di tiga kompetisi berbeda dalam semusim. Sumber: AFP/Christophe Simon/via Kompas.com
Mourinho mampu membawa Inter stabil di tiga kompetisi berbeda dalam semusim. Sumber: AFP/Christophe Simon/via Kompas.com

Hanya saja, pendekatan pada saat itu dengan sekarang sudah berbeda. Ini dikarenakan pelatihnya dan gaya bermain yang diusung pelatihnya berbeda.

Namun, jika merujuk pada rekam jejak yang masih tergolong singkat dari Inzaghi yang baru melatih pada 2016, alias 10 tahun setelah Conte debut sebagai pelatih, maka Inzaghi sebenarnya masih tergolong bagus.

Itu bisa dibuktikan lewat torehan trofi Copa Italia pada 2018/19 dan Super Copa Italia pada 2019 bersama Lazio. Terutama gelar Copa Italia, itu bisa membuktikan kalau Inzaghi masih tergolong pelatih yang mampu membuat strategi yang cocok untuk rencana jangka pendek.

Berbeda dengan Conte yang cenderung lebih ahli dalam mengelola strategi untuk rencana jangka panjang, alias mengarungi kompetisi yang bersifat satu musim penuh. Ini yang menjadi titik pembeda dengan Inzaghi yang diharapkan bisa menyempurnakan misi Inter musim ini.

Disebut menyempurnakan, karena dalam hal daya tahan kompetitif di liga, para pemain Inter Milan sudah paham caranya. Mengingat, mereka sudah dua musim beruntun berada di level performa tinggi di liga.

Artinya, para pemain tinggal butuh tambahan pengetahuan dan pengalaman dari pelatih yang bisa dikatakan tahu caranya menang lewat kompetisi yang bersistem grup dan sistem gugur seperti Liga Champions dan Copa Italia.

Tentu, logika itu akan sulit diwujudkan, karena Inter Milan musim ini di Liga Champions kembali harus berhadapan dengan musuh besar mereka musim lalu di fase grup. Real Madrid dan Shakhtar Donetsk.

Grup yang dihuni Inter Milan di Liga Champions musim ini. Sumber: diolah penulis dari Google&Commons.wikimedia.org
Grup yang dihuni Inter Milan di Liga Champions musim ini. Sumber: diolah penulis dari Google&Commons.wikimedia.org

Inter tentu harus bisa membalas kegagalan mereka bersaing dengan dua klub tersebut untuk tidak pulang lebih cepat dari panggung Eropa. Inter juga jelas tidak boleh kalah dari klub debutan asal Moldova, Sheriff Tiraspol.

Artinya, musim ini, Inter Milan bersama Inzaghi tidak hanya fokus mempertahankan gelar juara Serie A. Mereka juga perlu tidak mudah untuk dipermalukan di pentas Liga Champions.

Bisakah Inzaghi?

Malang, 28 Agustus 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Kompas.com, Football5star.com, Ligaolahraga.com, Sempreinter.com, Goal.com, Gilabola.com, Detik.com, Inter.it.
Baca juga: Menduga Faktor Penyebab Arsenal Start Buruk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun