Penyebab kemerosotan pencapaian Inzaghi jika dibandingkan dua musim sebelumnya yang konsisten finis ke-5, selain pembagian fokus, adalah kebobrokan lini belakang Lazio. Bagaimana Lazio bisa kompetitif, kalau mereka hanya mampu surplus 10 gol?
Contoh kedua, di musim 2020/21, yang juga terjadi serupa. Bedanya, Lazio berhasil dibawa Inzaghi naik kelas, yaitu berkompetisi di UCL. Ini karena, Lazio berhasil finis ke-4 di musim sebelumnya.
Tetapi, bagaimana dengan di Serie A?
Secara posisi akhir, Lazio masih lebih baik dari musim 2018/19. Ciro Immobile dkk. finis ke-6, yang artinya bisa berkompetisi di UEL. Tetapi, mereka malah hanya surplus enam gol!
Artinya, mereka bisa mencetak cukup banyak gol, tetapi gawang mereka juga sangat mudah kebobolan. Hal semacam ini jelas sulit bagi Lazio dapat kompetitif menyaingi empat rivalnya yang identik dengan warna strip hitam; Inter Milan, AC Milan, Atalanta, dan Juventus.
Catatan minor Inzaghi di Lazio itu yang kemudian perlu diwaspadai ketika kini di Inter. Apakah bisa ia membawa Inter kompetitif di domestik dan Eropa?
Bukannya meremehkan Inzaghi. Namun, pelatih yang lebih berpengalaman seperti Conte saja masih menjadikan itu sebagai tantangan terbesar dalam karier suksesnya. Terbukti, selama berkarier sejak melatih Arrezo (2006), Conte hanya sekali memenangkan kompetisi bersistem kalah-gugur, yaitu Piala FA 2017/18.
Artinya, Conte juga bukan pelatih yang seperti Pep Guardiola, Jose Mourinho, Jupp Heynckes, hingga Hansi Flick. Dan, inilah yang menjadi lubang besar dalam karier Conte.
Hal itu pula yang membuat tanda tanya besar, apakah Inzaghi bisa menutup lubang besar Conte bersama Inter Milan? Bahkan, dewasa ini mencari pelatih Italia yang bisa membawa timnya kompetitif di minimal dua kompetisi sangat sulit.
Paling mentok adalah pelatih generasi lama, yaitu Carlo Ancelotti. Dia masih bisa menaklukkan maksimal dua kompetisi. Ini dilakukan bersama AC Milan pada musim 2002/03 dengan raihan juara Copa Italia dan Liga Champions.