Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Potong Rambut Sendiri, dari Aib Menjadi Keterampilan Tersembunyi

19 Juli 2021   17:01 Diperbarui: 20 Juli 2021   16:23 1715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebaiknya menggunakan gunting khusus untuk rambut. Sumber: Pexels/Cottonbro

Sejak kecil, saya tergolong orang yang jarang dipangkas rambut di salon. Bahkan, mungkin saya hanya pernah dipangkas rambut dua kali di salon.

Pertama, ketika saya ikut ibu yang sedang ingin potong rambut di salon. Kedua, ketika saya diajak menjadi klien simulasi dari pelatihan karyawan di sebuah salon.

Dua pengalaman itu saya dapatkan saat masih sekolah. Pertama ketika saya SD, yang kedua ketika saya SMP.

Kalau jauh sebelum itu, saya lupa, apakah pernah dipangkas rambut di salon atau tidak. Tentu, ada faktor tertentu yang membuat saya hampir tidak pernah pangkas rambut di salon.

Faktor pertama, sedari kecil, ada orang yang lihai dan rutin memangkas rambut saya. Dia adalah ibu saya.

Ilustrasi perempuan pemotong/pemangkas rambut. Sumber: Pexels/Cottonbro
Ilustrasi perempuan pemotong/pemangkas rambut. Sumber: Pexels/Cottonbro

Saat ibu saya sempat disibukkan dengan dunia pekerjaannya dan harus merantau, tugas memangkas rambut saya dipegang oleh nenek saya. 

Di sinilah, saya kemudian harus mulai belajar menempa mental saya, karena ternyata nenek memangkas rambut saya dengan gaya batok.

Kalau dilihat dari depan, saya memang melihat rambut saya bergaya lingkar separuh batok kelapa. Tetapi, saya tidak tahu bagaimana bentuk rambut di belakang, apakah memang melingkar sempurna seperti belahan batok kelapa?

Setelah ibu kembali, tugas memangkas rambut saya kembali dipegang ibu. Ada sisi menarik yang kemudian membuat saya senang dipangkas rambut oleh ibu, yaitu rambut saya selalu tumbuh menjadi lebih halus dan lurus.

Bahkan, ketika rambut saya pernah dipangkas di sebuah salon saat pulang dari sekolah--masih SMP, hasilnya ketika rambut sudah memanjang juga tidak lembut dan lurus. 

Rambut saya selalu menjadi bergelombang ketika sebelumnya dipangkas oleh orang selain ibu, termasuk tangan saya sendiri.

Faktor kedua, kepala saya cenderung sulit diatur untuk memberikan keleluasaan bagi si pemangkas rambut. Ini yang sebenarnya juga sering dikeluhkan ibu saya setiap memangkas rambut saya.

Mungkin, karena saya memang dari kecil lebih sering dipangkas rambutnya oleh orang rumah, maka saya tidak terbiasa untuk menuruti arahan si pemangkas rambut. Ditambah, yang menjadi pemangkas rambut profesional biasanya laki-laki. Maka, kemungkinan besar saya akan menurut karena takut.

Ilustrasi pemangkasan rambut secara profesional. Sumber: Pexels/Thgusstavo Santana 
Ilustrasi pemangkasan rambut secara profesional. Sumber: Pexels/Thgusstavo Santana 

Berbeda jika saya dipangkas rambut oleh ibu. Saya masih punya kesempatan untuk merawat kebandelan saya, termasuk ketika rambut saya sedang dipangkas.

Contoh kebandelan yang saya maksud seperti ketidakmauan kepala saya untuk terus miring dalam beberapa menit, atau menunduk beberapa menit. Ini yang sering menjadi polemik antara saya dengan ibu saat proses pemangkasan rambut.

Faktor ketiga adalah kenyamanan. Saya seperti sudah lebih nyaman untuk diperlakukan sedemikian rupa oleh ibu saat memangkas rambut saya.

Tentu, para pemangkas profesional akan memberikan pelayanan terbaik. Tetapi, pelayanan itu semacam kode etik antara penjual dengan pembeli.

Itu jelas tidak sama dengan perlakuan yang diberikan seorang ibu kepada anaknya. Sebandel-bandelnya kepala anak, tetap akan diperlakukan dengan baik ala orang tua.

Perlakuan baik itu secara tersirat dapat diwujudkan dengan omelan ibu di telinga anak, jika ada yang mengganggu proses pemangkasan rambut. 

Berbeda dengan pemangkas rambut profesional yang paling mentok akan membatin dan menandai klien tersebut.

Itu yang membuat si klien sampai kapan pun tidak akan pernah merasa bersalah atau merepotkan si pemangkas rambut.

Faktor keempat, uang. Benar, ini adalah faktor yang sering melandasi kenapa rambut saya jarang dipangkas di salon pangkas rambut.

Ilustrasi uang untuk pangkas rambut. Sumber: Pexels/Lukas
Ilustrasi uang untuk pangkas rambut. Sumber: Pexels/Lukas

Sebenarnya, biaya jasa pangkas rambut yang dibebankan kepada anak dan remaja tidak seperti klien umur dewasa. Kalau misalnya orang dewasa laki-laki dikenakan tarif 10.000-15.000 rupiah untuk pangkas rambut, maka untuk anak-anak kemungkinan harganya beda 40-50 persen.

Saya memang tidak tahu pasti harganya saat itu, karena hanya dua kali pangkas rambut tanpa dikenakan biaya. 

Saya juga tidak pernah menggunakan jasa pangkas rambut yang biasanya mangkal di beberapa trotoar. Bukan karena tidak mau, tapi karena merasa uangnya sayang untuk itu.

Lebih baik buat ke warnet. Eh!

Lalu, kenapa akhirnya harus pangkas rambut sendiri?

Pertama, karena ibu sudah lelah menaklukkan kepala saya yang mungkin makin membatu.

Kedua, karena ibu saya mulai sangat sibuk bekerja dan bahkan punya potensi untuk kembali merantau. Artinya, waktu ibu lebih banyak tersita oleh pekerjaan dan sulit untuk berkompromi dengan urusan rambut saya.

Ketiga, saya mulai berani mencoba memangkas rambut sendiri. Tentu, dengan berkali-kali kegagalan.

Kegagalan yang paling sering saya alami adalah rambut petal. Kalau petalnya seperti corak rambut Cristiano Ronaldo, tidak masalah.

Ilustrasi rambut petal yang disengaja menjadi gaya rambut. Sumber: via Gettyimages.com/Kevin C. Cox
Ilustrasi rambut petal yang disengaja menjadi gaya rambut. Sumber: via Gettyimages.com/Kevin C. Cox

Suatu ketika, rambut saya juga pernah saya pangkas habis di dua bagian samping kepala. Jadi, bagian atas telinga itu botak.

Ekspektasi rambut samping seperti ini. Sumber: Gettyimages via Acefootball.com
Ekspektasi rambut samping seperti ini. Sumber: Gettyimages via Acefootball.com
Itu membuat orang yang melihat kemungkinan punya dua penafsiran, antara anak ini (saya) mau menjadi bocah berandalan, atau salah potong rambut.

Sejak itu, saya punya proses dalam memangkas rambut sendiri. Sampai kemudian menemukan masa-masa dapat memangkas rambut cukup rapi dan tidak ketahuan bahwa itu pangkas rambut sendiri. Bagaimana bisa begitu?

Pertama, setelah memangkas rambut, meminta orang lain untuk menilai bagaimana penampakan rambut yang sudah dipangkas. Terutama bagian belakang.

Jika rapi, alias tanpa petal, maka berhasil. Jika tidak, perlu minta bantuan orang yang melihat itu untuk merapikan. Atau, minimal mengarahkan bagian mana yang perlu dirapikan sedikit/banyak.

Kedua, menggunakan sisir-silet. Saat itu saya juga sudah menggunakan sisir-silet. Itu karena saya melihat teman saya sering dipangkas dengan alat itu oleh bapaknya atau tetangganya.

Ilustrasi sisir silet yang sering digunakan untuk pangkas rambut mandiri. Sumber: via Google/sisir silet
Ilustrasi sisir silet yang sering digunakan untuk pangkas rambut mandiri. Sumber: via Google/sisir silet

Berhubung orang di rumah tidak berani melakukannya, maka saya melakukan sendiri. Awalnya jelas ada kegagalan. Karena, saya kurang mampu memperhitungkan antara ketajaman silet dengan tebal-tipisnya rambut.

Selain itu, kepekaan tangan juga belum terlatih untuk menilai tebal-tipisnya rambut. Berbeda kalau orang lain yang memangkas, maka penilaian tebal-tipisnya rambut akan berdasarkan pada penglihatan, bukan perabaan.

Namun, karena harus pangkas rambut sendiri, maka perabaan perlu dilatih. Artinya, harus sering memangkas rambut sendiri, agar mulai tahu seberapa batas minimal rambut untuk dinyatakan sudah tipis.

Ketiga, menggunakan sisir biasa untuk menyelamatkan rambut dari pemangkasan yang ekstrem akibat sisir-silet. Awalnya, saya hanya mengandalkan sisir-silet akibat hasil melihat orang lain yang dengan gampangnya memangkas rambut teman saya dengan sisir-silet tanpa alat lain.

Ternyata, kalau memangkas sendiri dengan sisir-silet, masih tetap perlu adanya sisir biasa untuk menjadi pengukur batas minimal ujung rambut yang terpangkas. 

Batas minimalnya adalah ketika rambut sudah tidak mengembang atau sulit untuk menyelipkan sisir, saat rambut disisir secara vertikal mengarah ke atas.

Intinya, sisir biasa digunakan selain sebagai pengukur batas minimal ujung rambut, juga untuk "perisai" rambut. Supaya silet yang ada di sisir tidak sampai menyentuh kulit kepala, yang artinya sampai membotaki kepala.

Kecuali, kalau tujuannya untuk membotaki kepala demi gaya rambut ala mahasiswa baru atau angkatan militer dan anggota kepolisian. Itu baru dipersilakan.

Kiat yang pertama juga bisa diubah dengan situasi sekarang yang sudah ada teknologi, yaitu memanfaatkan kamera ponsel. Entah, dengan kamera depan atau kamera belakang, bisa semua.

Hanya saja, perlu penyesuaian. Kalau menggunakan kamera depan, kita bisa langsung menekan tombol potret setelah mengarahkan kamera ke bagian kepala belakang. 

Kalau menggunakan kamera belakang--karena faktor resolusi yang lebih baik dan sebagainya, maka perlu diterapkan pula pengaturan hitung waktu mundur.

Ilustrasi memotret bagian kepala belakang pasca pangkas rambut mandiri. Sumber: via Sehatq.com
Ilustrasi memotret bagian kepala belakang pasca pangkas rambut mandiri. Sumber: via Sehatq.com

Bisa tiga detik atau lima detik. Ini juga bisa dilakukan kalau kita punya tripod. Ini bahkan sepertinya lebih memudahkan, karena tidak akan ada getar dan kita juga tinggal berpose membelakangi kamera.

Pasca pangkas rambut mandiri, perlu untuk potret-potret sejenak guna memeriksa hasilnya. Sumber: Pexels/Somya Dinkar 
Pasca pangkas rambut mandiri, perlu untuk potret-potret sejenak guna memeriksa hasilnya. Sumber: Pexels/Somya Dinkar 

Tangan dijamin tidak pegal untuk melakukan 'sesi pemotretan' pasca pangkas rambut. Karena, sesi ini bisa dikatakan perlu dilakukan berkali-kali sampai tidak menemukan titik-titik petal pada setiap sisi rambut, terutama bagian belakang.

Kemudian, untuk cara kedua dan ketiga sebenarnya bisa diterapkan dengan alat pangkas rambut konvensional berupa gunting. 

Gunting yang digunakan sebisa mungkin gunting yang panjang mata guntingnya.

Sebaiknya menggunakan gunting khusus untuk rambut. Sumber: Pexels/Cottonbro
Sebaiknya menggunakan gunting khusus untuk rambut. Sumber: Pexels/Cottonbro

Gunting yang sedemikian rupa akan lebih pas digunakan untuk memangkas rambut. Teknik yang digunakan pun bisa menggunakan cara ketiga, yaitu menggunakan sisir biasa sebagai "dinding" bagi ujung rambut minimal yang diinginkan.

Selain gunting, sebenarnya alat cukur yang biasa digunakan untuk mencukur kumis atau janggut juga bisa digunakan untuk memangkas rambut, kalau terdesak. Tetapi, usahakan juga ada sisir biasa, karena cara kerjanya 11-12 dengan sisir-silet.

Bedanya, hanya di panjang-pendek alatnya. Itu yang membuat rambut yang terpangkas oleh alat cukur tidak sebanyak sisir-silet, karena daya jangkaunya terbatas.

Selain itu, usahakan punya dua sisir biasa. Satu sisir digunakan khusus untuk pangkas rambut. Satu sisir untuk menyisir rambut dalam situasi normal. Kenapa harus begitu?

Karena, sisir rambut yang biasa digunakan untuk pangkas rambut akan meninggalkan bekas 'pahatan'. Itu bisa terjadi kalau misalnya, pernah menggunakan alat cukur kumis/janggut untuk memangkas rambut sendiri.

Pahatan bekas silet pada sisir. Sumber: Dokumentasi penulis
Pahatan bekas silet pada sisir. Sumber: Dokumentasi penulis

Walaupun, saya sering memangkas rambut sendiri, sebenarnya saya juga tidak jarang menggunakan jasa pangkas rambut. Terutama setelah saya merantau.

Faktor gaya rambut dan efektivitas biasanya saya pertimbangkan. Ketersediaan uang untuk biaya pangkas rambut juga membuat saya kadang tidak enggan untuk mampir ke salon pangkas rambut.

Kemudian, saya mempunyai keterampilan ini juga hanya untuk kebutuhan saya sendiri. Sejauh ini, saya belum pernah mau menerima permintaan dari orang lain, termasuk teman, walaupun sepertinya ada yang sudah mengetahui kebiasaan saya memangkas rambut sendiri.

Lalu, kenapa saya lebih banyak menggunakan istilah pangkas rambut daripada potong rambut?

Alasannya bukan karena sudut pandang jenis kelamin, melainkan faktor konotasi kata yang menurut saya sedikit berbeda. 

Menurut saya, rambut laki-laki biasanya tidak sepanjang rambut perempuan. Kalaupun ada laki-laki berambut gondrong, jumlahnya pasti tidak sebanyak perempuan yang berambut panjang.

Artinya, rambut laki-laki lebih sering dipangkas dan mendekati pencukuran daripada dipotong. Secara konotasi kata pun terasa lebih mudah dimengerti, jika laki-laki memangkas rambut (tidak gondrong) daripada laki-laki memotong rambut (gondrong).

Bahkan, tidak jarang pula, rambut laki-laki lebih familier untuk dicukur, kalau laki-laki tersebut ternyata punya genetika botak. Apakah (maaf) kepala botak perlu potong rambut?

Malang, 18 Juli 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Kompas.com, Mediaindonesia.com, Akurat.co.
Baca juga: Mengolah Rasa dan Menyesuaikan Tulisan dengan Tempatnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun