Meski begitu, saya pikir ini adalah awal dari perjalanan Turki menatap masa depan. Mereka saat ini sedang mempunyai banyak pemain berkualitas di usia yang masih muda.
Maka, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka juga bisa mengikuti jejak Belgia sebagai tim kuat penantang gelar juara di ajang internasional. Saya menyatakan demikian, bukan karena saya mengikuti Super Lig, liga utama Turki. Tetapi, saya cukup tahu kualitas para pemainnya.
Artinya, ketika saya melihat timnas, sebenarnya berbeda dengan bagaimana saya melihat kompetisi domestiknya. Saya bisa memuji dan berharap tentang masa depan tim Turki, tapi saya tidak terlalu mau tahu-menahu dengan Super Lig.
Walaupun benar, saya pernah sedikit membahasnya lewat drama antara Trabzonspor dengan John Obi Mikel.
Baca juga: John Obi Mikel Pilih Keluarga daripada Profesi
Tetapi, saya pikir kualitas Super Lig tidak bisa disandingkan dengan timnas Turki. Sekali lagi, saya melihat bahwa antara liga dan timnas terkadang punya jalan cerita yang berbeda.
Sama halnya dengan Portugal, negara yang sebelumnya saya singgung untuk mengaitkannya dengan timnas Inggris. Kenapa harus Portugal?
Karena, negara ini seperti menganut pragmatisme dalam sepak bola. Saya sebut negara, karena beberapa pelatih Portugal seperti menganut gaya bermain pragmatis.
Tidak hanya pelatih top seperti Jose Mourinho. Pelatih lain seperti Nuno Espirito Santo juga terlihat fasih memainkan sepak bola pragmatis bersama Wolverhampton Wanderers.
Tentu, rujukan selanjutnya adalah Fernando Santos. Pelatih Timnas Portugal ini juga cenderung bermain pragmatis, walaupun di sana ada pemain sehebat Cristiano Ronaldo.
Entah mengapa, Cristiano Ronaldo seperti berjodoh dengan sepak bola pragmatis. Real Madrid di era kepelatihan Mourinho, Ronaldo harus bermain pragmatis. Apalagi, ketika harus bertemu dengan Barcelona di El Clasico.