Tulisan pertama saya di ranah kreatif yang saya ingat bukan puisi, cerpen, apalagi artikel. Melainkan naskah teater. Ada juga yang menyebut naskah untuk pertunjukan di panggung adalah naskah lakon.
Sejak itu, saya punya harapan untuk bisa menjadi penulis. Sampai akhirnya, saya "menyasar" ke bilik Kompasiana. Tulisan kreatif yang saya tulis pun kemudian jauh dari jenis tulisan pertama saya.
Namun, sebelum berjalan di aspal Kompasiana, saya memulai perjalanan di blog. Tulisan pertama adalah semacam pengenalan diri.
Disusul dengan tulisan-tulisan lain. Sebagian besar juga olahraga dan sepak bola. Kemudian, sempat ada di fase saya menggandrungi puisi, walaupun tulisan saya masih lebih dekat ke prosa.
Sempat juga saya membahas musik dan buku cerpen. Sampai akhirnya berani melangkah ke Kompasiana.
Di sini, awalnya saya ingin fokus ke satu hal. Tapi, akhirnya saya mencoba menulis hal-hal lain, seperti Humaniora, Hobi, hingga Fiksiana.
Saya menjadikan Kompasiana juga seperti di blog, yaitu sebagai media eksplorasi keberanian menulis. Bedanya, di Kompasiana tulisan yang saya buat sebisa mungkin masih ada kecenderungan untuk bisa dibaca dan dimengerti oleh pembaca yang tidak perlu mengenal saya.
Sedangkan, di blog, biasanya tulisan saya cenderung lebih mengekspresikan siapa saya. Bahkan, kalau diperhatikan secara jeli, tulisan di blog saya cenderung ada fase-fase semacam self healing.
Tetapi, di sisi lain, tulisan itu juga menjadi bumerang ketika dibaca oleh orang yang tahu apa yang sedang terjadi pada saya. Ketika saya sedang terpuruk dan menghilang dari "peradaban", tetapi seolah-olah berupaya memotivasi orang lain.
Sejak itulah, saya kemudian sadar, bahwa orang lebih peduli dengan orang yang sakit batuk atau yang sakitnya dapat menjemput ajal. Dibandingkan, mempedulikan orang yang terlihat baik-baik saja secara fisik, tapi sebenarnya sedang krisis identitas.
Awalnya, saya merasa sakit hati. Namun, setelah itu saya malah merasa perlu untuk membombardir media menulis dengan hasil tulisan "cakar ayam" saya.
Saya melakukannya tentu tidak dengan sembarangan. Saya perlu menentukan apa yang tepat untuk saya tulis dan tidak bakal disentuh oleh orang lain, terutama yang kenal saya.
Saya akhirnya memilih menulis bola, karena di situlah orang-orang di sekitar saya seperti buta dengan bola. Mungkin, mereka tahu, tapi itu hanya sebagai bagian dari kesenangan atau hiburan.
Bukan sebagai objek penting yang harus digerakkan secara literatur. Wong, para penyuka sepak bola kebanyakan juga cuma bisa teriak "gol" dan "aduh" kalau sedang menonton pertandingan.
Selepas pertandingan, mereka juga cuma pusing dengan skor, bukan dengan permainan. Paling mentok cuma bisa mencaci-maki pelatih dan/atau pemain. Selebihnya, tidak ada.
Bahkan, kalau misalnya tidak terima dengan penggambaran itu, lalu apa yang membuat mereka menyukai klub-klub bola kalau bukan karena prestasi?
Kalau misalnya ada yang suka Tottenham Hotspur, baru saya angkat topi. Karena, apa yang mereka jadikan alasan untuk menyukainya sudah pasti bukan karena gelar.
Lewat perhitungan inilah saya menjadi tahu bahwa menulis itu juga tidak asal menulis. Tidak asal berekspresi. Menulis juga perlu melihat kanan-kiri, depan-belakang, atas-bawah.
Tetapi, cara itu bukan saya lakukan untuk membuat berbeda atau terlihat unik. Ini lebih ke upaya membaur terlebih dahulu.
Memang, dulu saya berpikir kalau menjadi penulis yang objek tulisannya berbeda, akan terasa lebih keren. Tetapi, pada kenyataannya, itu cenderung seperti selfish dan asyik sendiri.
Di luar konteks menulis, saya memang jarang berinteraksi dan cenderung tertutup. Tetapi, dalam konteks menulis, saya berupaya untuk membaur. Dengan siapa saja, lewat objek apa saja.
Tentu, selama saya cukup mengerti tentang apa yang saya tulis. Kalau tidak terlalu tahu, saya akan berupaya berpikir lama untuk dapat memutuskan akan menulisnya. Kalaupun kemudian berani menulis, sudah pasti kualitasnya akan sangat buruk dibandingkan tulisan dari orang yang sangat paham dengan konteks tersebut.
Apakah kemudian menulis bola adalah jalan teraman saya?
Sebenarnya, tidak. Karena, dengan menulis bola, jangkauan saya akan lebih luas. Kalau tulisan saya punya potensi menyinggung pihak tertentu, saya bisa saja dihampiri dengan protes keras.
Bahkan, yang protes kemungkinan belum dan tidak mengenal saya. Biasanya, kontradiksi antara orang yang belum saling kenal akan lebih keras kalau dibandingkan dengan kontradiksi antara orang yang sudah saling kenal.
Artinya, menulis bola juga tidak sepenuhnya aman. Tetapi, saya masih merasa itu aman untuk saya tulis, karena secara pengetahuan masih lebih banyak dibandingkan pengetahuan saya terhadap bidang lain.
Kalau misalnya saya menulis tentang teater, jelas, tulisan itu akan seperti tulisan anak SD yang baru menonton teater. Berbeda kalau misalnya saya menulis tentang bola. Maka, itu setidaknya seperti remaja kuliah semester baru.
Selain itu, menulis bola menurut saya bisa menjadi self healing secara tidak langsung. Kalau secara langsungnya, saya perlu menulis sesuatu yang berkaitan dengan yang saya alami langsung.
Ketika saya menulis tentang bola, saya punya kesempatan untuk sedikit melupakan permasalahan yang sedang saya alami dan sedang sulit saya pecahkan. Biasanya, permasalahan yang sedemikian rupa rentan untuk diungkapkan lewat tulisan, apalagi kalau sudah seperti saya yang punya wadah menulis.
Apakah saya malu untuk curhat?
Sebenarnya, tidak terlalu malu. Tetapi, terkadang saya merasa itu bukan keharusan. Selain itu, secara kehidupan nyata, saya memang tidak pandai becerita tentang apa yang saya alami.
Ibu saya saja sering mengomeli saya karena sering terlambat untuk becerita tentang masalah yang saya hadapi. Itulah kenapa, dalam hal menulis kebiasaan itu juga terjadi.
Selain saya punya "pengalihan isu" berupa bola dan/atau konten olahraga, saya juga punya cara agar tidak semua pengungkapan rasa perlu ditulis di media yang sama.
Caranya adalah mempunyai banyak media menulis. Media menulis ini tidak harus online dan digital, melainkan juga bisa lewat buku catatan.
Sebelumnya, saya juga cenderung suka berekspresi lewat akun media sosial saya. Namun, akhirnya hal itu berusaha saya kurangi.
Karena, bisa saja bagi saya itu adalah self healing, tapi bagi orang lain itu adalah toxic. Apakah saya takut dibilang toxic?
Antara iya dan tidak. Tetapi, pengubahan perilaku itu juga untuk diri saya sendiri. Supaya saya juga tidak cenderung ketagihan untuk mengakses media sosial hanya untuk menaburkan garam di mata orang-orang yang kepo.
Sejak itulah, saya kemudian seperti punya energi yang cukup untuk memulai proses menulis kreatif, terutama menulis di Kompasiana. Mungkin, bagi beberapa orang, tulisan saya kurang mencerminkan tulisan kreatif, tapi bagi saya itu bagian dari upaya belajar menulis kreatif.
Setidaknya, ada wujud yang bisa mewakili saya, walaupun sangat sederhana dan mungkin juga bisa dianggap tidak penting. Menulis bola, apa pentingnya?
Pertanyaan itu yang saya tangkap dari mata dan ekspresi orang ketika mendengar kalimat "menulis bola". Sebenarnya, saya memaklumi. Karena memang, saya juga bukan praktisi sepak bola.
Tetapi, bagaimana dengan penulis konten tentang anime, komik, film, dan musik? Benarkah mereka juga praktisi?
Kalau mereka sebagai penikmat saja boleh menulis, kenapa saya tidak?
Artinya, dalam perjalanan saya mengolah rasa sampai kemudian menjadi berbagai macam tulisan, itu sebenarnya bukan tanpa rintangan. Ada saja rintangannya.
Tetapi, saya sudah cukup mengantisipasinya dengan beberapa cara yang bisa dibilang berguna. Bagi saya, sejauh ini apa yang saya lakukan seperti yang sudah saya jabarkan, itu terlihat ampuh.
Hanya saja, bagi orang lain yang juga sedang ingin membangun identitas sebagai penulis, bisa saja tidak ampuh. Itu bergantung pada tiga hal.
Pertama adalah karakter. Kedua adalah kemauan untuk belajar dari pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan. Ketiga adalah dukungan beberapa orang yang bisa menyalurkan optimistis ke diri kita.
Jadi, selamat menulis, di mana saja!
Malang, 29 Juni 2021
Deddy Husein S.
Baca juga: Personal Branding Penyuka Bola yang Cerewet tapi Tidak Berisik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H