Selain saya punya "pengalihan isu" berupa bola dan/atau konten olahraga, saya juga punya cara agar tidak semua pengungkapan rasa perlu ditulis di media yang sama.
Caranya adalah mempunyai banyak media menulis. Media menulis ini tidak harus online dan digital, melainkan juga bisa lewat buku catatan.
Sebelumnya, saya juga cenderung suka berekspresi lewat akun media sosial saya. Namun, akhirnya hal itu berusaha saya kurangi.
Karena, bisa saja bagi saya itu adalah self healing, tapi bagi orang lain itu adalah toxic. Apakah saya takut dibilang toxic?
Antara iya dan tidak. Tetapi, pengubahan perilaku itu juga untuk diri saya sendiri. Supaya saya juga tidak cenderung ketagihan untuk mengakses media sosial hanya untuk menaburkan garam di mata orang-orang yang kepo.
Sejak itulah, saya kemudian seperti punya energi yang cukup untuk memulai proses menulis kreatif, terutama menulis di Kompasiana. Mungkin, bagi beberapa orang, tulisan saya kurang mencerminkan tulisan kreatif, tapi bagi saya itu bagian dari upaya belajar menulis kreatif.
Setidaknya, ada wujud yang bisa mewakili saya, walaupun sangat sederhana dan mungkin juga bisa dianggap tidak penting. Menulis bola, apa pentingnya?
Pertanyaan itu yang saya tangkap dari mata dan ekspresi orang ketika mendengar kalimat "menulis bola". Sebenarnya, saya memaklumi. Karena memang, saya juga bukan praktisi sepak bola.
Tetapi, bagaimana dengan penulis konten tentang anime, komik, film, dan musik? Benarkah mereka juga praktisi?
Kalau mereka sebagai penikmat saja boleh menulis, kenapa saya tidak?