Tulisan ini tentu hanya seputar pengungkapan perasaan saya ketika mengikuti event tahunan di Kompasiana, yang bernama Samber THR Kompasiana. Terhitung secara pribadi, saya mengikuti event ini tiga kali berturut sejak 2019.
Event ini kabarnya sudah ada sejak 2018. Namun, karena saya baru masuk ke Kompasiana bulan November, otomatis tidak merasakan Samber THR "musim pertama".
Kesan awal mengikuti terasa sangat menarik dan menantang. Seolah-olah sudah seperti pekerjaan, karena tiap hari harus menyetor minimal satu tulisan dan berlabel Samber THR.
Tahun kedua, saya terasa seperti sudah mengerti aturan main. Namun, penghalangnya adalah pandemi. Segala rencana yang dibayangkan sebagai evaluasi pribadi pada tahun 2019, terasa buyar seketika.
Namun, itu adalah pengalaman menarik. Bahkan, ada pengalaman yang sulit terlupakan, yaitu membuat konten video menu bersahur.
Kebetulan saat itu juga masih cukup bersemangat membuat konten video di kanal Youtube pribadi. Beruntung juga, ada teman yang bersedia diajak kolaborasi.
Sekalipun mungkin tidak sesuai dengan aturan main di Samber THR, menurut saya itu sudah suatu terobosan baru bagi saya sendiri. Kapan lagi bisa bikin konten kolaborasi dengan kanal yang tidak sebesar orang-orang yang sudah pantas menyandang status Youtuber.
Artinya, saya menemukan salah satu pencapaian pribadi dan itu menyenangkan bagi saya, walaupun tidak menang di event tersebut. Improvisasi adalah suatu hal yang selalu ingin saya lakukan sebagai bagian dari upaya mengobati diri yang cenderung kurang kreatif.
Kemudian, di tahun ketiga, alias tahun ini, saya menemukan pemandangan yang sebenarnya menarik. Secara objektif, saya melihat Kompasiana seperti berupaya mempopulerkan event ini dengan semaksimal mungkin.
Walaupun, secara subjektif, entah karena idealisme atau karena ketidakmampuan saya untuk mengikuti pola populer itu, saya cenderung menganggap itu adalah kengerian. Namun, di sinilah saya belajar satu hal, yaitu bijak dalam membuat konten yang di luar batas kemampuan.