"Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak."
Tulisan ini harus dibuka dengan pepatah klasik. Karena, tulisan ini juga mengacu pada bagaimana kebiasaan banyak orang cenderung menilai orang lain, bukan dirinya sendiri.
Pada satu sisi, memang kenyataannya kita sulit menilai diri sendiri. Butuh orang lain untuk menilai.
Namun, pada sisi lain, itu seperti kesempatan untuk mengobrak-abrik kekurangan orang lain. Tentu, tindakan itu bisa menjadi petaka. Untuk dirinya--bisa dicap sebegai orang jahat, maupun untuk orang yang telah diobrak-abrik mentalitasnya--orang tersebut bisa depresi.
Menilai orang lain sebenarnya bukan hal tabu, kalau berdasarkan kebutuhan. Terutama kebutuhan bersama. Kebutuhan bersama ini bisa skala besar atau pun kecil.
Skala besar seperti untuk perekrutan pegawai perusahaan. Maka, tindakan menilai orang lain yang merupakan calon pegawai, perlu dilakukan.
Itu juga berlaku dalam penerimaan anggota baru organisasi. Calon anggota baru perlu dinilai sikap dan kemungkinan sifatnya. Karena, itu nanti dapat berpengaruh dalam hal interaksi dan penempatan anggota baru dalam struktur keanggotaan dan partisipasi kegiatan.
Kemudian, kebutuhan bersama dalam skala kecil, bisa merujuk pada aksi pendekatan pribadi. Istilahnya, "hubungan antara aku dan kamu".
Dalam hubungan antara aku dan kamu juga penting untuk ditunjang dengan aksi saling menilai. Tujuannya, bisa dalam rangka mempelajari sikap, kemungkinan karakter, dan tentu saja bagaimana dapat berinteraksi dengan "equal advantage".
Ketika hal itu terjadi, maka menilai orang lain juga penting. Hanya saja, tidak jarang, aksi menilai orang lain kemudian menjurus pada aksi mengomentari, menjelek-jelekkan, hingga membuka aib.
Hal semacam itu bisa terjadi, karena sebelum menilai orang lain, seseorang perlu "menjelajahi" orang lain. Zaman sekarang, menjelajahi orang lain bisa dilakukan dengan membuka media sosial dan mencari akun media sosial orang lain.
Kita bisa melihat semua unggahannya dan mulai mencoba menerka-nerka bagaimana sifat orang tersebut. Apakah itu valid?
Pada kenyataannya, kita juga perlu berinteraksi dengan orang tersebut, untuk mulai selangkah lebih pasti dalam menilainya. Hanya saja, berinteraksi juga tidak gampang.
Kalau orangnya jauh, kita hanya bisa berinteraksi lewat media sosial. Kalau orangnya dekat, kita bisa mengajak bertemu, walau belum tentu dapat terjadi.
Menilai orang lain di media sosial juga bisa dilakukan kepada orang-orang yang sudah dikenal di kehidupan nyata. Bedanya, menilai orang yang sudah dikenal lewat aktivitasnya di media sosial juga bisa menjadi permasalahan.
Dua diantaranya adalah keterkejutan dan tidak menerima "pertunjukan" yang berbeda antara di kehidupan nyata dengan di kehidupan maya. Ada orang-orang yang cenderung pasif di kehidupan nyata, tapi aktif dan sangat aktif di kehidupan maya.
Ada yang terlihat aktif di kehidupan nyata, namun pasif di media sosialnya. Tapi, ada juga yang aktif di dua sisi kehidupan tersebut.
Hal semacam itu kemudian tidak jarang menimbulkan ketidakterimaan bagi orang yang melihatnya. Langkah yang terjadi selanjutnya, bisa dengan terwujudnya komentar di media sosial, maupun di pertemuan langsung.
Komentar itu menjadi bagian dari upaya menilai, termasuk mengungkapkan rasa tidak suka terhadap aktivitas yang kontras antara di kehidupan nyata dengan maya. Apakah itu boleh?
Sebenarnya boleh, kalau berdasarkan kebutuhan bersama dan berdasarkan tingkat mengenal antarindividu. Kalau berdasarkan kepentingan yang berat sebelah, itu tidak baik. Begitu juga kalau dilakukan dengan kondisi belum sepenuhnya saling mengenal.
Belum kenal saja sudah saling menilai dan mengomentari, apalagi kalau sudah kenal. Bisa makin runyam.
"Oh, ternyata olay juga tuh orang!"
Padahal, kita seharusnya ingat bahwa masing-masing pasti punya "zona teritorial" tersendiri. Masing-masing pasti punya rumah sendiri.
Memang, media sosial adalah bagian dari keterbukaan. Tetapi, media sosial terkadang bisa menjadi rumah bagi penggunanya.
Rumah itu terkadang bisa berfungsi sebagai ruang tamu, bisa pula berfungsi sebagai tempat makan, tempat tidur, dan sebagainya. Artinya, rumah bisa menjadi tempat bepersona, maupun menjadi tempat berekspresi apa adanya.
Hal itu juga bisa diberlakukan di akun media sosial masing-masing. Ada orang-orang yang tetap ingin menjalin interaksi, namun dibatasi. Ada pula yang ingin membuka interaksi seluasnya.
Tinggal pilih.
Mengenai sifat, ada orang-orang yang sebenarnya punya sifat yang terbuka. Namun, keterbukaan itu terkadang perlu ruang dan waktu tertentu. Ada pula yang keterbukaannya bisa kapan saja dan di mana saja.
Kemudian, kita juga perlu mengingat tentang ekspresi. Hampir semua orang punya ekspresi. Hampir semua orang punya keinginan untuk becerita. Namun, tidak semua orang merasa menemukan media yang sama untuk berekspresi dan becerita.
Ada orang-orang yang cenderung sukanya becerita kepada banyak orang, ada yang ke sedikit orang. Ada pula orang yang suka membuka ekspresinya atau ceritanya dengan menyasar ke lingkup umum, yang artinya bisa menjebak ketersinggungan bagi orang lain yang mengetahui apa yang dibagikan orang tersebut.
"Siapa yang tersinggung, itu urusanmu. Bukan urusanku." Ibaratnya begitu.
Atau, ada pula yang sudah bingung mau berekspresi di mana dan ke siapa, maka media sosial menjadi pelampiasan. Inilah yang kemudian ada orang-orang yang terlihat kalem atau bijaksana ternyata di media sosial masih terendus aroma "orang lebay".
Ketika melihat itu, apa yang seharusnya dilakukan?
Pertama, menerimanya. Artinya, membiarkan orang itu bertingkah sesukanya, selama itu masih menggunakan akun/identitasnya sendiri dan tidak menyeret orang/pihak lain untuk terlibat.
Kita bisa mencari tahu penyebab dari aksi yang sedemikian rupa, yang mungkin sebenarnya cukup mengganggu bagi kita yang melihatnya. Namun, aksi ini harus dengan catatan tidak memaksa orang tersebut untuk becerita kalau orang itu tidak mau banget.
Ketiga, meninggalkannya. Orang yang terlihat sudah tidak berdampak bagus bagi kita di media sosial lebih baik ditinggalkan. Unfollow, unfriend, dan sejenisnya.
Hal itu perlu dilakukan, karena berkaitan dengan mentalitas. Zaman sekarang tekanan tidak hanya berasal dari singgungan langsung antarindividu di ruang dan waktu yang sama. Tetapi, kita bisa merasa tertekan lewat media sosial.
Jika sudah demikian, maka lebih baik ditinggalkan. Kalau perlu diblokir. Kalaupun memang sebenarnya orang itu adalah orang yang kita kenal langsung atau kita kenal lama, maka tindakan itu bukan dosa besar.
Selama itu demi kesehatan mental kita, maka itu lebih dulu harus dilakukan. Menjalin silaturahmi masih bisa kita lakukan di lain waktu, lain tempat, atau lain media.
Misalnya, kalau kita malah lebih senang berteman langsung dengan orang itu karena sifat dan sikapnya terasa baik saat bertemu langsung. Maka, berteman saja secara langsung dengan orang itu. Tidak perlu berteman juga di media sosial.
Maka dari itu, kalau kita memaksa orang lain untuk bersifat dan bersikap sama di mana pun orang itu berada dan di waktu apa saja dia terjaga, itu adalah tindakan konyol. Itu sama seperti kita berusaha menyamaratakan hewan karnivora dengan herbivora.
Mereka yang sudah terlihat jelas spesifikasinya saja, tidak jarang memiliki perbedaan sikap terhadap manusia, apalagi kita yang merupakan makhluk yang doyan makan apa saja. Artinya, kita masih sangat sulit untuk saling mengenal dan saling menilai.
Bukan hanya karena di antara kita saling tidak menerima penilaian orang lain. Tetapi, juga karena kita sendiri masih belum sepenuhnya akurat dalam menilai diri kita sendiri.
Kenapa bisa begitu?
Karena ada waktu dan ruang. Waktu menjadi pemegang peran penting dalam membentuk kepribadian kita. Begitu juga dengan ruang. Di mana kita tinggal, di sanalah ada akar dari tumbuh dan berkembangnya diri kita.
Artinya, kalau kita saja masih terus belajar dan berusaha mengenal diri sendiri, maka itu juga berlaku pada orang lain. Logika sederhana ini juga nantinya dapat membuat kita menjadi lebih bijak dalam menilai orang lain, termasuk melihat orang lain mempunyai "dunianya" sendiri.
Antara orang tua dan anak, bisa juga mempunyai "dunia" berbeda. Bahkan, antara kakak dan adik juga punya "dunia" yang berbeda.
"Dunia" itu tentu berkaitan dengan kenyamanan. Kenyamanan pula yang kemudian menjadi landasan seseorang untuk berekspresi, termasuk di media sosial.
Gayamu adalah gayamu, gayaku adalah gayaku. Itu yang seharusnya bisa kita pahami dan praktikkan bersama dalam berkehidupan di media sosial.
Deddy Husein S.
Baca juga: Bagaimana Kalau Teman Tidak "Easy Going"?
Terkait: Detik.com, Kompas.com, Cosmopolitan.co.id, Grid.id, Neliti.com.