Maka dari itu, kalau kita memaksa orang lain untuk bersifat dan bersikap sama di mana pun orang itu berada dan di waktu apa saja dia terjaga, itu adalah tindakan konyol. Itu sama seperti kita berusaha menyamaratakan hewan karnivora dengan herbivora.
Mereka yang sudah terlihat jelas spesifikasinya saja, tidak jarang memiliki perbedaan sikap terhadap manusia, apalagi kita yang merupakan makhluk yang doyan makan apa saja. Artinya, kita masih sangat sulit untuk saling mengenal dan saling menilai.
Bukan hanya karena di antara kita saling tidak menerima penilaian orang lain. Tetapi, juga karena kita sendiri masih belum sepenuhnya akurat dalam menilai diri kita sendiri.
Kenapa bisa begitu?
Karena ada waktu dan ruang. Waktu menjadi pemegang peran penting dalam membentuk kepribadian kita. Begitu juga dengan ruang. Di mana kita tinggal, di sanalah ada akar dari tumbuh dan berkembangnya diri kita.
Artinya, kalau kita saja masih terus belajar dan berusaha mengenal diri sendiri, maka itu juga berlaku pada orang lain. Logika sederhana ini juga nantinya dapat membuat kita menjadi lebih bijak dalam menilai orang lain, termasuk melihat orang lain mempunyai "dunianya" sendiri.
Antara orang tua dan anak, bisa juga mempunyai "dunia" berbeda. Bahkan, antara kakak dan adik juga punya "dunia" yang berbeda.
"Dunia" itu tentu berkaitan dengan kenyamanan. Kenyamanan pula yang kemudian menjadi landasan seseorang untuk berekspresi, termasuk di media sosial.
Gayamu adalah gayamu, gayaku adalah gayaku. Itu yang seharusnya bisa kita pahami dan praktikkan bersama dalam berkehidupan di media sosial.
Deddy Husein S.