"Benarkah Kasus di Old Trafford Murni ESL dan Glazers? (Bagian 1)"
"Bagian 2 atau yang bersubjudul "Masih tentang Kasus Old Trafford"
Tulisan ini diberi subjudul "Menerka Dampak Peraturan 50+1 untuk Liga Inggris". Tulisan ini merupakan penutup serial artikel yang dibuat atas dasar menanggapi aksi protes suporter Manchester United dan pendudukan stadion Old Trafford pada 2 Mei 2021 lalu.
Dalam agenda buruk itu kita juga tahu bahwa ada ungkapan tentang kebijakan 50+1 yang diharapkan dapat diberlakukan di Liga Inggris, terutama Premier League. Ini seperti yang berlaku di Liga Jerman (Bundesliga dan kasta di bawahnya).
Peraturan 50+1 jelas bisa dijalankan di Jerman, karena mereka pada akhirnya menjadi pasar pemain muda, bukan pasarnya pemain matang. Mereka bisa bersembunyi dalam keguyuban suporter, tetapi mereka tidak menampik strategi menjual pemain dengan banderol tinggi.
Itu sama saja seperti melihat para pemain dari Premier League pada akhirnya tidak semua mendapatkan banderol tinggi ketika dibeli oleh klub lintas liga. Artinya, Premier League sampai sejauh ini, terutama dalam sedekade terakhir sedang berada di area yang berbeda dalam hal bursa transfer pemain.
Klub-klub di sana sering menggelontorkan banyak uang untuk mendatangkan pemain, khususnya dari liga lain. Harganya pun seringkali mahal. Namun, ketika mereka "mengeluarkan" pemain, belum tentu dengan harga yang mahal.
Hal semacam ini sudah menunjukkan bahwa Liga Inggris adalah liga yang mengumpulkan banyak pemain dari luar. Mereka biasanya datang dengan harga mahal, karena banyak ekspektasi yang menyertai.
Jika hal itu dibenturkan dengan kebijakan 50+1, bukankah akan mengubah pola klub Liga Inggris dalam berburu pemain di bursa transfer? Akankah pemain seperti Erling Haaland, Jadon Sancho, dan sebagainya mau merapat ke klub Premier League?
Apakah pemain seperti Sergio Aguero dulu akan datang ke Manchester City? Jika dilihat secara nama besar, klub tersebut dulu masih kalah dengan tetangganya, Manchester United.
Itu sama seperti pemain matang yang akan bermain di Bundesliga. Rata-rata, mereka akan memprioritaskan Bayern Munchen, baru ke klub lain.
Itu wajar. Karena, pemain juga ingin bermain di klub besar dan punya peluang besar untuk juara.
Hal itu bisa dilihat dari bagaimana klub itu membangun. Awalnya adalah uang. Uang dapat membangun fasilitas. Uang dapat mendatangkan pelatih hebat. Uang juga dapat mendatangkan pemain-pemain hebat.
Itu yang pernah dilakukan Manchester City di masa awal membangun klub untuk menjadi klub besar, dan calon juara. Mereka bisa mendatangkan Roberto Mancini adalah keputusan besar, dan perlu upaya dari tim manajemen finansial untuk meyakinkan Mancini dalam membangun proyek tim juara.
Apakah klub di Jerman bisa melakukannya? Adakah pelatih di Bundesliga datang dari liga lain atau merupakan pelatih kawakan?
Rata-rata, pelatih di sana adalah pelatih 'homegrown'. Jupp Heynckes, Ralf Rangnick, Jurgen Klopp, Thomas Tuchel, hingga Julian Nagelsmann adalah pelatih-pelatih hebat asli Jerman.
Klub yang kemudian paling mudah untuk mendatangkan pelatih kawakan dari luar adalah Bayern Munchen dengan Louis van Gaal (Belanda), kemudian Pep Guardiola (Spanyol). Sedangkan, klub seperti Eintracht Frankfurt sejak 2001 lebih banyak dilatih pelatih Jerman dan baru beberapa musim terakhir dilatih pelatih asing yang ternyata bisa memberikan gelar dan posisi yang cukup bagus.
Artinya, klub di Premier League mempunyai pola yang berbeda dalam mempopulerkan sepak bola. Dan, pola itu terasa lebih pas kalau didukung oleh keberadaan investor, alih-alih mengandalkan finansial kelompok suporter.
Mengapa begitu?
Coba kita melihat kembali di bursa transfer musim panas 2020/21. Apakah klub di Bundesliga bisa membeli banyak pemain? Apakah Bayern Munchen dapat mendatangkan penyerang hebat yang potensial sebagai pengganti Robert Lewandowski?
Jawabannya tidak.
Uniknya, Arsenal masih mampu mendatangkan pemain matang seperti Thomas Partey saat mereka juga sebenarnya tidak kondusif finansialnya. Hal ini juga diperbesar oleh Chelsea yang bisa jor-joran dalam mendatangkan pemain baru, seperti duo Jerman; Timo Werner dan Kai Havertz.
Apakah hal itu akan terjadi kalau klub Premier League menerapkan 50+1?
Persentase jawaban terbesarnya adalah tidak. Kalaupun iya, hanya beberapa klub yang mampu melakukannya. Paling mentok adalah "The Big Six".
Atau, kalau kebijakan 50+1 sudah dijalankan sebelum era 2010-an, klub besar di Liga Inggris hanya ada tiga. Manchester United, Liverpool, dan Arsenal.
Chelsea masih perlu upaya besar untuk masuk. Namun, potensi dan mimpi besar seperti Manchester City dan Tottenham Hotspur akan sangat sulit untuk terwujudkan.
Ini seperti Bundesliga. Sesekali memang ada klub yang berhasil juara Bundesliga atau minimal DFB Pokal. Tetapi, standar tertinggi masih hanya dipegang oleh Bayern Munchen.
Borussia Dortmund? Masih akan kepayahan mengejar Die Roten. Apalagi klub lain, masih akan sering berangan-angan menyusul Bayern Munchen.
Praktik politik yang pertama adalah kekuasaan atas nama keinginan suporter. Memang, sepak bola tumbuh dari kelompok masyarakat bawah, tetapi apakah selamanya sepak bola dipaksa untuk sesuai standar masyarakat kelas bawah?
Ketika kelompok suporter mendominasi suara klub, apa saja yang berkaitan dengan klub dan liga adalah harga murah. Sedangkan, di sisi lain, suporter juga ingin ditunjang oleh kenyamanan dan kemajuan dalam segi fasilitas. Bukankah itu perlu adanya finansial?
Jangan lupa dengan pepatah klasik ini, "ada harga ada barang". Itu adalah logika sederhana yang harus dicermati oleh semua orang, terutama pihak di dalam klub dan kelompok suporter.
Praktik politik yang kedua adalah UBM. Ujung-ujungnya Bayern Munchen. Tidak hanya pemain yang kemudian menjadikan Bayern Munchen sebagai tolok-ukur menaikkan standar kualitas, para pelatih pun melakukannya.
Julian Nagelsmann adalah contoh teraktual. Dia adalah pelatih yang sangat potensial, namun belum bisa juara. Hingga kemudian, langkahnya adalah merapat ke Bayern Munchen.
UBM ini juga berlaku dalam hal fasilitas. Fasilitas sepak bola terbaik di Jerman masih bisa disebut puncaknya ada di kandangnya Bayern Munchen. Allianz Arena di Munich adalah sebuah representasi bahwa mereka masih menjadi kiblatnya kemajuan sepak bola di Jerman.
Dan, jangan lupa, pembangunan itu juga tidak lepas dari sponsor besar. Allianz. Artinya, dalam hal membangun fasilitas sepak bola perlu keberanian mengambil risiko bisnis dan visi ke depan dari pihak investor dan sponsor.
Hal itu yang kemudian seharusnya menjadi cermin wawas diri terkait keberadaan kebijakan 50+1. Harmoni komunal dalam sepak bola memang penting, tetapi jangan naif dengan peningkatan standar kehidupan.
Kita harus ingat bahwa kemajuan fasilitas dewasa ini dan ke depan pasti butuh uang yang sangat banyak. Kelompok suporter memang punya uang, tetapi apakah uang tersebut dapat dialokasikan semua untuk klub?
Selain itu, kekurangan terkait kebijakan 50+1 adalah ketika ada pandemi Covid-19. Saat pandemi terjadi, dan sektor ekonomi massal terdampak, bagaimana keadaan kelompok suporter? Apakah baik-baik saja?
Kalau kelompok suporternya saja tidak baik-baik saja, apalagi klubnya. Pasti sangat tidak baik.
Artinya, dalam kebijakan ini ketika ada masalah, satu jatuh maka semua akan jatuh. Seperti ketika pandemi, klub-klub di Jerman (maaf) sekarat finansialnya. Mereka juga yang kemudian berupaya segera melanjutkan kompetisi 2019/20.
Tidak hanya karena mereka bisa cepat mengatasi pandemi, tetapi juga karena mereka sangat butuh kompetisi dapat berlanjut agar dana dari hak siar tidak hangus.
Kebijakan 50+1 juga pasti butuh tambang yang dapat dikeruk uangnya. Tambang itu bernama Premier League.
Apakah nanti juara Liga Champions hanya dipegang oleh tiga klub itu--dan tentunya ditambah Bayern Munchen? Apakah semua liga mau seperti Bundesliga yang UBM?
Tidak asyik!
Secara permainan, memang tidak terlalu tampak jelas. Karena bagus-tidaknya permainan juga berkaitan dengan mentalitas dan stamina. Taktik bagus, kalau stamina dan mental pemain sedang tidak bagus, hasilnya tidak akan berjalan sesuai harapan.
Namun, secara kompetisi, Bundesliga masih kurang kompetitif. Bahkan, ketika Bayern Munchen kalah di DFB Pokal saja, masih banyak orang yang tidak terima dan menghujat. Padahal, kekalahan Bayern Munchen adalah salah satu indikasi adanya kompetisi yang bagus.
Hal ini yang kemudian seharusnya menjadi cerminan bahwa kebijakan 50+1 juga ada imbas buruknya. Kekuatan finansial atau yang sebelumnya disebut bisnis akan dilemahkan dengan kekuatan politik.
Walaupun dua unsur itu harus ada di sepak bola, tetapi unsur politik jangan sampai terlalu kuat. Ketika unsur politik lebih kuat dari unsur finansial, maka sepak bola akan kurang menarik.
Sebuah klub yang antah berantah menjadi tidak punya pijakan yang kuat untuk membuat kejutan. Padahal, salah satu unsur penting dalam membuat kejutan adalah kesehatan finansial.
Ketika finansial sehat, fokus mengejar sesuatu yang di depan atau malah yang ada di atas, akan menjadi pekerjaan yang tidak terlalu muluk-muluk.
Bayangkan, kalau klub seperti Leicester City tidak kedatangan investor asing (Thailand), selamanya mereka hanya pusing mengelola keuangan yang belum kunjung melegakan. Ketika keuangan belum lega, bagaimana bisa tim manajemen finansial dapat mendorong para pemain dan tim pelatihnya untuk fokus ke lapangan?
Malang, diubah pada 29 Mei 2021
Deddy Husein S.
Terkait:
Kompas.com 1, 2, 3, Panditfootball 1 dan 2.
Tersemat: Wikipedia.org, Detik.com, Kompas.com, dan Football5star.com.
Catatan: Terima kasih sudah membaca dari artikel bagian pertama sampai bagian ini.
Tulisan ini sebenarnya hanyalah hasil pemikiran sederhana atas kejadian di Old Trafford beberapa waktu lalu (2/5). Secara pribadi, penulis tidak suka dengan aksi tersebut, karena kurang menunjukkan kedewasaan dan indikasi kuat bahwa kelompok suporter akan mampu menjadi pemimpin klub.
Lalu, bagaimana kalau menurut pembaca dan penikmat sepak bola Inggris di Indonesia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H