Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Benarkah Kasus di Old Trafford Murni karena ESL dan Glazers? (Bagian 2)

15 Mei 2021   05:59 Diperbarui: 15 Mei 2021   17:03 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Manchester United masih menjadi klub yang bernilai tinggi di Premier League. Sumber: Twitter/Transfers/via Bola.com

Benarkah Kasus di Old Trafford Murni ESL dan Glazers?

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Silakan klik tulisan yang berwarna biru di atas!

-*-

Mengenai aksi pendudukan stadion pada 2 Mei lalu, bisa saja, ada yang berupaya membuat aksi tersebut sangat menyinggung humanitas. Terutama tentang hak suara suporter di dalam tata kelola kehidupan klub.

Padahal, itu mungkin merupakan bentuk hiperbolis guna menutupi makna receh yang berkaitan dengan sentimentil terhadap tetangganya yang lagi-lagi berhasil mengangkat trofi EPL. Kalau memang begitu, rasanya menyedihkan.

Rasa yang menyedihkan itu kemudian membuat sepak bola seperti perlu kedatangan orang-orang dari luar bidang sepak bola untuk dapat berbuat sesuatu yang di luar perihal sepak bola. Mereka adalah kaum pebisnis.

Mereka bisa disebut sebagai para ahli dalam membuat rencana termasuk membuat risiko demi dapat memeroleh kumulasi benefit dari olahan risiko-risiko tersebut. Mereka juga biasanya mau berdarah-darah dan sudah berpengalaman untuk melakukannya demi mempertahankan bisnisnya, sekalipun terkadang ada fase merugi.

Jika dibandingkan dengan kelompok suporter, sudahkah rekan-rekan suporter merasa legawa untuk melihat klubnya kalah atau tidak juara di akhir musim? Jika dalam konteks itu saja masih sulit, bagaimana jika harus duduk sebagai bagian dari pemilik klub dan berkacamata bisnis?

Apakah mereka sudah sadar, bahwa dalam kehidupan klub pola dasarnya juga mirip dengan kehidupan keluarga? Keduanya itu mirip. Keduanya sama-sama butuh dua unsur penting yang hampir memengaruhi keseluruhan hidup, yaitu bisnis dan politik.

Sebuah keluarga bisa sejahtera sebagian besar bukan hanya karena menjadi pegawai, tapi juga menjadi pebisnis. Walaupun, tidak harus besar.

Sebuah keluarga juga akan dipandang penting dalam sebuah lingkungan kalau dia punya pengaruh. Entah, berawal dari keberhasilan bisnis, atau untuk memulai bisnis.

Coba tengok beberapa toko kelontong, kedai, atau kios-kios tertentu, tidak jarang pemiliknya juga seorang Ketua RT atau malah Kepala Kelurahan/Desa. Artinya, mereka bisa terpandang karena ada persinggungan antara bisnis dan politik.

Hal ini juga berlaku untuk klub sepak bola. Kalau mereka ingin bertahan hingga berkembang pesat sebagai dan/atau menjadi klub besar, dua unsur itu harus diperhatikan.

Mereka sudah tidak sepenuhnya harus meladeni rasa cinta atau ketertarikan suporter saja. Karena itu bisa dan mudah muncul kalau ada kejayaan.

Coba dipikir, kenapa kelompok suporter Manchester United bisa tersebar hingga pelosok bumi?

KEJAYAAN.

Omong kosong kalau bukan karena itu, kecuali kalau orang-orang itu adalah masyarakat Manchester atau pernah tinggal di sana. Kalau tidak, apa yang bisa menjadi garansi orang menyukai mereka?

Kalau ada yang menjawab karena permainan. Permainan juga pada akhirnya akan merujuk pada kejayaan.

Ketika Arsenal sedang bagus-bagusnya, mereka juga berjaya. Ketika Jose Mourinho datang ke Chelsea dan mendemonstrasikan sepak bola anti-beauty football, mereka juga kemudian berjaya.

Kejayaan ini bisa datang karena ada pengaruh bisnis dan politik. Kedatangan pebisnis ulung seperti Roman Abramovich ke Chelsea, kemudian disusul pebisnis ulung dari Unit Emirat Arab (UEA) yang menguasai Manchester City.

Secara latar belakang, pemilik Man. City juga merupakan bagian dari kerajaan di negaranya, karena Khaldoon Al Mubarak adalah putra dari dubes UEA untuk Prancis. Artinya, ada pertautan antara bisnis dan politik (kuasa) untuk dapat mengembangkan sebuah klub menjadi lebih besar dari sebelumnya.

Hal semacam ini sebenarnya juga berlaku di Manchester United, termasuk ketika ada Malcolm Glazer dan Glazers. Bahkan, Glazers sebenarnya masih menjadikan klub tersebut sebagai klub paling bagus hingga saat ini di Premier League.

Mereka masih mampu juara pada musim 2012/13. Bahkan, sebenarnya, bisa saja mereka merangkai juara tiga kali beruntun dari musim 2010/11. Namun, mereka kecolongan pada musim 2011/12 oleh era kelahiran tim besar Manchester City.

Alm. Malcolm Glazer akuisisi Manchester United di tengah krisis finansial klub raksasa tersebut. Sumber: AFP (dokumentasi 2004)/via Kompas.com
Alm. Malcolm Glazer akuisisi Manchester United di tengah krisis finansial klub raksasa tersebut. Sumber: AFP (dokumentasi 2004)/via Kompas.com
Sejak akuisisi Glazer pada 2005 sampai sekarang, mereka masih lebih bagus dari pencapaian Arsenal secara prestasi mayor. Bahkan, mereka juga masih lebih bagus dalam segi transfer pemain.

Mereka pernah mampu menaungi dan menumbuhkan talenta hebat Cristiano Ronaldo. Mereka juga pernah memenangkan banyak transfer pemain besar seperti David De Gea, Robin van Persie, Angel Di Maria, Memphis Depay, Romelu Lukaku, Zlatan Ibrahimovic, Harry Maguire, hingga Bruno Fernandes.

Soal apakah pemain-pemain itu berhasil atau tidak di Man. United, itu urusan di luar bisnis dan politik. Tetapi, hal itu dapat memperlihatkan bahwa bersama Glazers masih ada pemain-pemain luar biasa yang dapat direkrut.

Artinya, Manchester United sebenarnya masih mempunyai standar yang tinggi. Mereka masih sadar lahir-batin sebagai klub besar.

Hanya saja, apakah semua klub di Inggris mau terus berada di bawah standar Manchester United? Apakah tidak ada satu pun klub yang ingin menyainginya bahkan melampauinya?

Itu adalah bagian dari hukum alam, dan sepak bola ada di dalamnya. Ada sebuah klub yang berhasil mencapai suatu hal, maka suatu saat akan ada klub lain yang menggantikannya lewat cara mengalahkannya atau melebihi standar yang telah klub itu pasang sebelumnya.

Skuad juara Premier League 2012/13. Sumber: AFP/ANDREW YATES/via Kompas.com
Skuad juara Premier League 2012/13. Sumber: AFP/ANDREW YATES/via Kompas.com
Kalau mau sedikit membuka mata, alias tidak hanya melihat kebobrokan Glazers, kita masih bisa melihat klub lain yang jauh lebih carut-marut. Ada Tottenham Hotspur yang kian musim bukannya berusaha memapankan pondasi, malah terus mengutak-atik pondasi.

Hasilnya apa? (maaf) Tidak ada.

Menonjolkan pemain memang bagus, tetapi pemain juga mudah lelah dalam memburu prestasi besar. Mereka kalau terus menjadi andalan tetapi tidak ada jaminan untuk berprestasi, buat apa?

Coba tengok Robin van Persie dan Cesc Fabregas bersama Arsenal. Dua pemain yang sangat penting bagi klub, namun dirinya juga punya target besar dalam kariernya, yaitu juara liga.

Hal semacam itu wajar terjadi, karena tidak semua pemain mau seperti Francesco Totti. Bahkan, Gianluigi Buffon saja masih berupaya mengejar trofi Liga Champions sampai rekan-rekannya pensiun satu per satu.

Padahal, ia di level klub sebenarnya tidak sekering Harry Kane. Apalagi di level timnas, pencapaian Buffon masih jauh lebih prestisius dengan juara Piala Dunia 2006.

Tetapi, setiap pemain pasti punya target berbeda dan mereka selalu punya batas dalam menunggu pencapaian terbaiknya. Mereka juga ingin memenangkan sesuatu bersama, bukan hanya dirinya sendiri. Dan, itu butuh sebuah tatanan yang tepat di dalam klub yang menaunginya.

Jika melihat sekali lagi dengan Manchester United, mereka masih lebih baik. Mereka masih selalu punya potensi juara. Bahkan, meski mereka punya manajer yang berbeda dalam kurun waktu 5 musim terakhir.

Artinya, Man. United bersama Glazers tidak buruk banget. Cara menilainya saja yang bisa berbeda.

Manchester United masih bisa juara Liga Europa pada 2016/17. Sumber: AFP/Jonathan Nackstrand/via Kompas.com
Manchester United masih bisa juara Liga Europa pada 2016/17. Sumber: AFP/Jonathan Nackstrand/via Kompas.com
Manchester United masih menjadi klub yang bernilai tinggi di Premier League. Sumber: Twitter/Transfers/via Bola.com
Manchester United masih menjadi klub yang bernilai tinggi di Premier League. Sumber: Twitter/Transfers/via Bola.com
Bagi sebagian kelompok suporter, ada saja yang merasa kemenangan dan juara adalah segalanya. Mereka lupa, kalau dalam meraih hal semacam itu perlu proses dan perlu pengelolaan di dalamnya.

Untuk sekali juara lalu tenggelam, mungkin semua klub bisa melakukannya. Tetapi, untuk dapat mengukur potensi mengulangi hasil itu perlu kecermatan dan tentunya kesabaran.

Kalau tidak punya itu, habis. Menggebrak meja saja untuk membuat perhatian mengarah ke kita jelas gampang. Tetapi, membuat mereka untuk tetap melihat kita, itu yang tidak gampang.

Itulah yang sebenarnya dilakukan Glazers. Soal apakah cara mereka bagus atau tidak, siapa yang bisa mengukur standar pola kerja pebisnis?

Para motivator bisnis lintas sekolah/kampus saja masih punya standar kesuksesannya masing-masing. Apalagi, mereka yang sudah selevel pemilik klub sepak bola.

Artinya, kalau ingin membuat pemilik sebuah klub muhasabah (wawas diri), caranya bukan hanya dengan aksi protes ke klub yang bersangkutan. Tetapi, buatlah aliansi yang dapat menembuskan sebuah surat ketidakpuasan ke meja federasi.

Seperti dalam hal kepemilikan klub 50+1, yang artinya, sebuah klub hanya dapat dimiliki pihak investor maksimal 49 persen. Itu memang dapat berlaku di Jerman. Tetapi, bisakah itu terjadi di semua negara, terutama Inggris?

Kalau melihat sepak bola Inggris adalah salah satu pusatnya pemain terbaik berkumpul, maka aturan itu susah diterapkan. Alasannya sederhana, siapa yang dapat menebus banderol transfer hampir 200 juta euro untuk mendaratkan Erling Haaland ke Old Trafford?

Apakah (misalnya) uang adsense di kanal Youtube Man. United dari hasil "patungan" para suporternya bisa dicairkan untuk membeli Haaland? Kalaupun mungkin bisa, apakah pendapatan adsense itu hanya untuk terus berbelanja pemain yang kian lama makin mahal?

Itulah kenapa, tidak selamanya suatu persatuan dapat menghadapi rintangan dengan kesatuan. Terkadang, butuh sosok-sosok yang memang kuat secara individual untuk menjadi acuan dalam menghadapi rintangan tersebut.

Bersambung....

Sumber: diolah dari AFP/Andrew Yates via Kompas.com oleh Deddy Husein S.
Sumber: diolah dari AFP/Andrew Yates via Kompas.com oleh Deddy Husein S.
Malang, 8-11 Mei 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Kompas.com 1, 2, 3, Sindonews.com, Tempo.co.

Catatan: Nantikan ulasan lanjutannya, dan terima kasih sudah berkenan membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun