Sudah banyak berita dan ulasan tentang aksi pendudukan stadion Old Trafford oleh kelompok suporter (2/5). Kita juga tahu bahwa topik yang diangkat dalam aksi tersebut adalah tentang ketidakpuasan terhadap kinerja keluarga Glazer--kemudian disebut Glazers--selaku pemilik klub Manchester United sejak 2005.
Salah satu kinerja yang dikritik adalah keputusan mereka bersatu dengan klub besar lain untuk membentuk European Super League (ESL). Seperti yang sudah kita tahu juga, bahwa banyak orang menolak keberadaan ESL.
Namun secara khusus, di Manchester United, gejolak hadir karena kelompok suporternya ada yang merasa keluarga Glazer sudah semakin ngawur dalam menghidupi Man. United. Mereka seperti pihak yang mulai membawa Man. United ke tempat yang berbeda, yaitu bisnis, bukan sepak bola.
Fakta yang ada memang ada benarnya. Seperti tiket menonton di stadion--dan semua klub besar Premie League--menjadi makin mahal. Secara komunal, Manchester United juga menjadi bagian dari alasan hak siar Premier League di televisi kian tinggi.
Sampai kemudian, puncaknya adalah keikutsertaan Manchester United ke dalam "prototipe" ESL. Ini sudah makin memuakkan bagi penggemar Man. United yang melihat klubnya makin mirip perusahaan teknologi atau otomotif yang haus akan pasar dan keuntungan.
Berdasarkan kemunculan ESL dan keikutsertaan Man. United ke dalamnya, pendudukan stadion terjadi. Imbasnya, laga besar antara dua klub tertinggi pemilik trofi terbanyak Premier League, Man. United vs Liverpool, harus batal digelar.
Awalnya, laga itu sempat membuka peluang Liverpool menang walkout (WO) walaupun status mereka adalah tim tamu. Liverpool punya peluang itu, karena mereka sudah hadir di lokasi.
Namun, pihak Liverpool dikabarkan ingin laga ini tetap tergelar. Lahirlah keputusan 14 Mei 2021 sebagai jadwal untuk menghelat laga tunda tersebut.
Melihat keputusan itu kemudian kita bisa berpikir tentang betapa sulitnya Manchester United menjelang akhir musim. Mereka harus menghadapi jadwal padat dan semuanya penting.
Walaupun mereka sudah dapat mengamankan posisi 4 besar, mereka tidak boleh melepas pedal gas. Lawan yang dihadapi juga cenderung gahar dan sarat gengsi.
Sebelum berjumpa dengan Liverpool, mereka harus menghadapi Leicester City (12/5 WIB). Ini bisa disebut sebagai penentuan tentang siapa yang akan finis kedua di klasemen akhir.
Sebenarnya, jarak sudah melebar saat mereka menang melawan Aston Villa (9/5). Tetapi, laga yang mempertemukan langsung dengan si pesaing terdekat tetaplah menentukan.
Kemudian, saat bentrok dengan Liverpool, akan ada adu gengsi. Sejarah dan kondisi aktual membuat Man. United tidak bisa membiarkan Liverpool sebagai tamu dan raja. Mereka seharusnya tetap menjadi tamu saat tiba dan pulang dari Old Trafford.
Tensi ini kemudian kembali diuji oleh kedatangan Fulham. Terlepas dari hasil tiga laga sebelumnya, Manchester United tetap harus menghadapi Fulham tidak dengan lemah-lembut.
Bagaimana dengan laga melawan Wolverhampton Wanderers? Ini yang kemungkinan dapat menjadi batu sandungan. Karena, ini adalah pekan terakhir Premier League, dan setelah itu Man. United harus berangkat ke final Liga Europa.
Di sana, mereka akan berhadapan dengan Villareal dan pelatih raja Liga Europa, yaitu Unai Emery. Apakah Manchester United dapat menghadapi Villareal dengan tenaga penuh?
Ole Gunnar Solskjaer punya tendensi untuk tidak melawak di final pertamanya bersama Manchester United sebagai manajer. Itulah mengapa, Man. United perlu punya persiapan yang bagus untuk ke sana.
Namun, persiapan bagus itu sebenarnya bisa disebut telah dirusak oleh keberadaan jadwal pindahan yang kontra Liverpool. Laga itu seharusnya sudah digelar, dan Man. United punya beberapa waktu yang lebih untuk "mengisi bahan bakar" menuju final Liga Europa.
Secara nilai untuk menuju ke Liga Champions, Man. United memang tidak butuh. Tetapi, secara nilai terkait istilah 'juara', Man. United dan terutama Solskjaer sangat membutuhkannya.
Hanya saja, keberadaan laga tunda kontra Liverpool bisa saja membuyarkan peluang Man. United untuk juara di "Liga Malam Jumat". Kalau sampai itu terjadi, kira-kira apa penyebabnya?
Penyebabnya tentu adalah aksi pendudukan stadion Old Trafford. Itu adalah aksi yang membuat laga Man. United kontra Liverpool tertunda.
Imbasnya, yang rugi malah Man. United. Mereka harus bermain dengan jadwal yang lebih padat. Sebagai penonton, kita tidak tahu efeknya. Bagaimana bagi para pemain?
Kemudian, kelompok suporter yang melakukan aksi pendudukan stadion bisa berdalih tentang Glazers dan ESL. Tetapi, apakah benar karena dua hal itu?
Jika merujuk pada momen yang bersinggungan dengan laga itu, maka ada potensi bahwa aksi tersebut bisa saja untuk menunda pesta Manchester City sebagai juara Premier League 2020/21. Sebagaimana kita tahu, Man. City dengan jarak poin cukup jauh, hampir pasti akan menjadi juara.
Namun, secara matematis, gelar itu akan resmi jika laga Man. United vs Liverpool digelar. Kalau Man. United menang, memang Man. City masih harus menunda pesta, karena secara matematis, Man. United punya potensi melebihi torehan 80 poin yang saat ini dimiliki Man. City.
Tetapi, kalau Man. United kalah, maka sang tetangga akan berpesta. Sebagai rival sekaligus tetangga, siapa yang mau mendengar tetangga berisik semakin berisik?
Hanya saja, mereka yang mungkin ingin mencegah pesta itu terjadi sedikit lupa, bahwa harimau yang masih kelaparan akan terus mencari mangsa. Mereka akan terus mengaum dan berlari mengejar mangsanya.
Itulah yang membuat Manchester City terlihat tetap fokus di laga kedua semi-final Liga Champions saat menjamu Real Madrid. Di laga itu, sangat terlihat bahwa permainan Man. City masih solid dan belum terlihat ada indikasi santuy.
Mereka masih garang, dan tahu bahwa mereka seperti belum memenangkan apa pun di musim ini. Padahal, mereka sudah memenangkan turnamen Piala Liga musim ini. Namun, sebagai klub besar, mereka tahu kalau prestise gelar tersebut tidak sebesar Premier League, apalagi Liga Champions.
Namun, kalau Man. City sudah memenangkan Premier League, ada potensi mereka akan sedikit kendur. Ada potensi bahwa mereka berpikir sudah berada di situasi yang aman.
Maka dari itu, apa yang dilakukan kelompok suporter Manchester United seperti sesuatu yang bisa saja malah merugikan Man. United berkali-kali lipat. Aksi mereka membuat rasa lapar juara pada tetangga tetap terjaga. Di sisi lain, mereka juga membuat tim kesayangannya harus menanggung konsekuensi dengan mengarungi jadwal padat.
Artinya, kalau orang-orang seperti ini menjadi pemilik klub yang mana disuarakan dalam aksi pendudukan stadion itu, tidak bisa dipikirkan bagaimana nasib klubnya. Karena, klub akan diajak berpikir 'girang sesaat' tanpa memikirkan konsekuensi-konsekuensi di baliknya.
Kalau penulis (saya) dimintai pendapat apakah akan melakukannya kalau sebagai suporter Man. United dan warga Manchester, jawabannya TIDAK. Karena, suporter yang memang mendukung klubnya tidak mungkin akan merepotkan klubnya untuk menanggung dampak dari aksinya.
Ini mungkin terbaca klise. Tetapi, kalau melihat contoh dari aksi (2/5) tersebut, kita bisa melihat bagaimana dampak yang dihadapi klub.
Kalau memang sangat muak dan ingin memboikot klub, kenapa tidak dengan cara yang hampir mendekati kerugian tim manajemen finansial klub. Seperti, memboikot peredaran merchandise klub.
Secara kekerasan dan perusakan infrastruktur, hal itu tidak akan terjadi. Tetapi, secara kepanikan di tubuh manajemen finansial klub akan terasa sekali.
Hal ini juga tidak akan dirasakan langsung oleh pelatih/manajer dan pemain. Karena, jika melihat ESL saja bisa diagendakan tanpa sepengetahuan pelatih/manajer dan pemain, maka soal pemasaran merchandise atau pemasukan finansial (income) juga tidak akan sepenuhnya diberitakan oleh tim manajemen finansial ke tim di atas lapangan.
Artinya, dalam mengganggu stabilitas klub yang sedang bermasalah, terutama klub yang didukung, harusnya bermain dalam kadar yang hampir setara dengan cara kerja pihak yang ingin disasar. Jangan bermain kasar alias pukul rata.
Pelatih/manajer dan pemain harus diselamatkan dalam intrik antara suporter dengan pemilik klub. Itu kalau memang demikian pemicunya.
Kalau memang suporter ingin protes dengan kebijakan klubnya terkait ESL, kenapa baru protes saat klubnya sudah menyatakan mundur dari ESL? Itu yang sebenarnya cukup menggelikan dan membuat penulis meragukan aksi tersebut dikarenakan rasa muak terhadap Glazers dan ESL.
Bersambung....
Malang, 8-11 Mei 2021
Deddy Husein S.
Terkait: Kompasiana.com 1, 2, 3, CNNIndonesia.com, Tempo.co, Bola.net, Tribunnews.com 1 dan 2.
Baca juga: Menelusuri Penyebab Kerusuhan Suporter di Indonesia
Catatan: Nantikan ulasan lanjutannya, dan terima kasih sudah berkenan membaca. Salam bola!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H