Kalau penulis (saya) dimintai pendapat apakah akan melakukannya kalau sebagai suporter Man. United dan warga Manchester, jawabannya TIDAK. Karena, suporter yang memang mendukung klubnya tidak mungkin akan merepotkan klubnya untuk menanggung dampak dari aksinya.
Ini mungkin terbaca klise. Tetapi, kalau melihat contoh dari aksi (2/5) tersebut, kita bisa melihat bagaimana dampak yang dihadapi klub.
Kalau memang sangat muak dan ingin memboikot klub, kenapa tidak dengan cara yang hampir mendekati kerugian tim manajemen finansial klub. Seperti, memboikot peredaran merchandise klub.
Secara kekerasan dan perusakan infrastruktur, hal itu tidak akan terjadi. Tetapi, secara kepanikan di tubuh manajemen finansial klub akan terasa sekali.
Hal ini juga tidak akan dirasakan langsung oleh pelatih/manajer dan pemain. Karena, jika melihat ESL saja bisa diagendakan tanpa sepengetahuan pelatih/manajer dan pemain, maka soal pemasaran merchandise atau pemasukan finansial (income) juga tidak akan sepenuhnya diberitakan oleh tim manajemen finansial ke tim di atas lapangan.
Artinya, dalam mengganggu stabilitas klub yang sedang bermasalah, terutama klub yang didukung, harusnya bermain dalam kadar yang hampir setara dengan cara kerja pihak yang ingin disasar. Jangan bermain kasar alias pukul rata.
Pelatih/manajer dan pemain harus diselamatkan dalam intrik antara suporter dengan pemilik klub. Itu kalau memang demikian pemicunya.
Kalau memang suporter ingin protes dengan kebijakan klubnya terkait ESL, kenapa baru protes saat klubnya sudah menyatakan mundur dari ESL? Itu yang sebenarnya cukup menggelikan dan membuat penulis meragukan aksi tersebut dikarenakan rasa muak terhadap Glazers dan ESL.
Bersambung....