Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Masih Berjuang Melekatkan Prinsip dengan Al Kafirun

28 April 2021   16:29 Diperbarui: 28 April 2021   16:39 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keberagaman itu unik dan menarik untuk dijalani. Sumber: Thinkstocks/ANNASUNNY/via Kompas.com

Tidak hanya saat Ramadan, saya mengingat surah dengan 6 ayat ini. Setiap hari, saya masih lebih lekas ingat surah ini selain Al Fatihah.

Ada beberapa faktor yang membuat saya cukup lekat dengan surah ini.

Faktor pertama, karena surah ini sangat menantang ingatan terkait ketepatan melafalkan ayat ke-3, ke-4, dan ke-5. Biasanya, surah-surah di dalam Alquran sifat repetitifnya ada di akhiran (bisa disebut rima), bukan dalam satu kalimat utuh.

Ini yang dalam proses penghafalan saat masih kecil terasa menantang. Saya tidak hanya ditantang untuk hafal setiap kosakata baru setiap berpindah ayat, tetapi juga mengingat runtutannya.

Menurut saya, keberadaan ayat yang kembali melafalkan ayat sebelumnya seperti melatih saya untuk tidak hanya hafal per ayat, tapi menghafal keseluruhan ayat. Dengan begitu, saya tahu mengapa sebuah ayat dapat berulang dengan persis.

Faktor kedua kemudian muncul karena faktor pertama, yaitu saya menjadi tergugah untuk segera membaca dan mempelajari terjemahannya. Keberadaan ayat yang berulang membuat saya ingin mengetahui latar belakang dari munculnya surah tersebut di Makkah.

Keberadaan ayat yang berulang seperti ingin menekankan sesuatu, agar pesan yang disampaikan dapat dipahami dan melekat. Itu yang membuat saya merasa lebih mudah menangkap garis umum dari surah ini dibandingkan surah lain saat proses penghafalan ayat-ayatnya.

Faktor ketiga juga muncul akibat dari faktor kedua, yaitu saya menjadi lebih merasa punya pemahaman dan tanggung jawab yang segera muncul terkait perbedaan agama yang dianut. Memang, selama sekolah, mayoritas teman saya masih yang beragama mayoritas di Indonesia.

Tetapi, dengan saya lebih cepat mengerti latar belakang surah ini, saya menjadi sering tidak menjadikan perbedaan agama sebagai topik perbincangan negatif alias pergunjingan. Seperti, menyampaikan asumsi terkait kehidupan orang lain yang beragama berbeda tapi tanpa keberadaan orang tersebut.

Memang, kalau ada yang membicarakannya, saya tidak menolak melainkan tetap mendengarnya. Karena, saya baru akan menolak atau menerima setelah menunggu sampai semua hal yang terdengar atau terlihat tuntas tersuguhkan.

Walaupun saya mudah menerima topik perbincangan apa pun termasuk agama, kalau harus menjadi pihak yang memulai pembicaraan dengan topik perbedaan agama, saya berusaha menghindari.

Kecuali, kalau ada teman beda agama yang bertanya tentang ajaran dan praktik di dalam agama yang saya anut, maka itu akan saya tanggapi dengan tangan terbuka. Karena, itu adalah sarana pertukaran informasi, bukan media untuk mengeluarkan penilaian atau asumsi.

Apa yang saya lakukan sebenarnya bagian yang sangat kecil dari apa yang diajarkan lewat surah ini. Menurut saya, ada perbedaan itu pasti, dan itu malah membuat kehidupan menjadi punya keunikan.

Keberagaman itu unik dan menarik untuk dijalani. Sumber: Thinkstocks/ANNASUNNY/via Kompas.com
Keberagaman itu unik dan menarik untuk dijalani. Sumber: Thinkstocks/ANNASUNNY/via Kompas.com
Faktor keempat adalah surah ini menjadi sebuah pedoman saya dalam memasuki setiap tempat tanpa harus mengajak orang lain. Lebih spesifiknya adalah teman.

Seringkali saya menemukan wadah-wadah baru dalam mengikuti perjalanan waktu. Seperti ketika saya menemukan sebuah grup pencinta sastra pada 2018, dan terlihat mengasyikkan bagi saya.

Namun, alih-alih saya mengajak teman saya untuk bergabung ke grup itu, saya malah lebih sering tidak merekomendasikannya ke teman. Memang, saya cukup sering menceritakannya, tetapi saya tidak berusaha menekankan bahwa tempat itu sangat menarik dan harus dimasuki teman saya.

Meski begitu, kalau kemudian teman saya sangat tertarik dan ingin ikut, saya juga tidak akan menghalanginya. Karena, menghalangi rasa ingin tahu itu tidak baik, dan itu saya pahami sekali sebagai orang yang juga punya rasa ingin tahu cukup tinggi.

Baca juga: Bolehkah Anak Perempuan Bermain Teater?

Kemudian, apabila rasa ingin tahu lebih banyak didorong oleh diri sendiri, orang tersebut akan lebih bertanggung jawab terhadap konsekuensinya ketika masuk ke tempat itu. Karena, tidak semua tempat baru dapat memenuhi ekspektasi.

Jika begitu, orang tersebut (seharusnya) tidak akan menuntut orang lain atau rekannya untuk bertanggung jawab telah memasukkannya. Karena, masuk ke tempat baru tersebut sudah menjadi bagian dari konsekuensi yang berdasarkan pengambilan keputusan pribadi, bukan murni dari ajakan.

Pemikiran semacam ini yang membuat saya selalu punya tempat berbeda dari teman-teman saya. Karena, memang di satu sisi saya tidak mudah masuk ke lingkaran orang lain, dan di sisi lain saya juga ingin hidup lebih berwarna.

Punya relasi yang terus berputar di jaringan yang sama menurut saya tidak seru. Dunia menjadi seakan menuruti lebar daun kelor. Ini yang kemudian secara sadar dan tidak sadar telah menjadi prinsip saya.

Walaupun, saya juga tidak menampik bahwa jaringan yang bagus juga sebaiknya diisi oleh relasi yang tepat. Ketepatan itu biasanya terbantu oleh pemahaman dan waktu.

Seandainya saya mengajak teman untuk masuk ke jaringan saya, saya perlu memahami orang yang akan diajak. Apakah sudah cukup tepat untuk masuk ke jaringan tersebut atau belum.

Begitu pula dengan waktu, yang artinya, keputusan hadir karena adanya pertimbangan. Pertimbangan selalu membutuhkan waktu, bukan paksaan.

Menciptakan jaringan lewat pertemanan itu bagus, dan lebih bagus lagi kalau tanpa paksaan. Sumber: Shutterstock via Kompas.com
Menciptakan jaringan lewat pertemanan itu bagus, dan lebih bagus lagi kalau tanpa paksaan. Sumber: Shutterstock via Kompas.com
Prinsip inilah yang pada awalnya dibukakan lewat membaca surah ini dan mengetahui latar belakang turunnya surah ini. Seandainya tidak ada surah ini, atau, seandainya saya tidak membaca surah ini, mungkin saya akan kurang tahu dasar dari kecenderungan saya yang cukup sering tidak mau mengajak orang yang saya kenal untuk masuk ke "gua" yang sama.

Jadi, saya sangat berterimakasih atas keberadaan Surah Al Kafirun. Meski berupa surah pendek, keberadaannya sangat melekat dalam kehidupan saya yang semoga cukup panjang.


"lakum dnukum wa liya dn"

"Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku"
 

Malang, 28 April 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Sindonews.com, Merdeka.com, iNews.id, Tafsirweb.com.

Tulisan sebelumnya: Tiga Aktivitas Utama Saat Ramadan di Rumah Aja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun