Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tip Sederhana Anak Kos Kelola Uang Saat Ramadan

18 April 2021   16:58 Diperbarui: 18 April 2021   17:57 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi uang dari hasil belanja. Sumber: Pexels/Pixabay

Ramadan dan anak indekos--kemudian disebut anak kos--adalah paket komplet. Karena, anak kos tanpa momen Ramadan secara mau dan tidak mau sebenarnya juga sering menjalankan puasa.

Memang, puasanya bisa disebut insidental, terpaksa, dan tentu tanpa niat, alias sebenarnya tidak ikhlas. Berbeda dengan berpuasa kala Ramadan. Itu sudah berniat dan ikhlas, karena itu bagian dari ibadah, khususnya bagi kaum muslim.

Selain itu, bedanya berpuasa insidental ala anak kos adalah faktor ekonomi. Ketika anak kos (misalnya) tidak makan sehari, karena memang tidak ada uang cukup untuk makan di hari itu.

Sedangkan, kala Ramadan, justru cukup aneh melihat orang berpuasa dapat berbuka dengan makanan-makanan lezat. Di satu sisi itu ironi, di sisi lain itu juga berkah bagi anak kos. Misalnya, dengan bergabung ke momen ngabuburit di masjid/mushola, maka akan ada menu berbuka puasa yang jelas lebih lezat dari mi instan.

Lalu, bagaimana kalau sudah tiba bulan Ramadan, masih pandemi, dan itu harus dihadapi anak kos?

Secara pribadi, sejak Ramadan 2020, saya memilih tidak ngabuburit. Bahkan, di awal Ramadan 2021 juga belum terpikirkan untuk ngabuburit, seperti di masjid/mushola atau bersama teman.

Artinya, ada potensi untuk mengalami pengeluaran uang yang seadanya untuk tetap dapat mencukupi kebutuhan berbuka puasa dan bersahur. Tentu, ini perlu ada persiapan sejak sebelum datang Ramadan, agar kala Ramadan tidak sepenuhnya "berdarah-darah".

Cara sederhana yang saya lakukan adalah membiasakan diri untuk berbelanja dengan menyisakan uang yang dibawa. Berapa pun nominal yang dibawa, uang itu harus ada sisanya.

Contohnya, ketika saya membawa uang 20.000 rupiah, maka sebisa mungkin uang itu ada kembalian separuhnya atau minimal 10 persen dari nominal itu. Ini juga tetap berlaku dengan membawa uang lebih kecil, 10.000 hingga 5.000.

Semakin kecil tentu akan semakin kecil kembaliannya. Hanya ketika nominalnya memang sangat pas dengan target yang dibeli, itu baru tidak masalah jika memang tanpa kembalian.

Seperti ketika uang yang dibawa mentok di angka 5.000 dan harga yang ditebus memang senominal itu, maka tidak masalah kalau tanpa kembalian. Namun, hal ini baru dimaklumi kalau memang tidak ada uang lagi.

Kalau masih ada uang lebih dari itu, maka bawalah uang yang lebih dari harga yang akan ditebus. Artinya, saat melakukan ini, juga perlu untuk tahu estimasi harganya.

Alasan dari membiasakan membawa uang lebih dan juga mengharuskan ada kembalian, itu akan melatih diri untuk tetap mau menerima kembalian, tahu harga, dan tetap punya uang cadangan kalau sudah sangat "sekarat".

Memang, terkadang melihat uang di dalam dompet itu jarang. Tetapi, bisa saja di tiap-tiap kantong pakaian dan di atas meja, ada uang-uang darurat yang masih dapat digunakan untuk bertahan sedikit lagi sembari menunggu adanya pemasukan lagi.

Ilustrasi koin dari uang kembalian. Sumber: Dokumentasi Deddy Husein S.
Ilustrasi koin dari uang kembalian. Sumber: Dokumentasi Deddy Husein S.
Rutinitas ini juga sebenarnya mirip dengan menabung. Bedanya, saya tidak secara khusus menaruh uang di tempat tertentu, dan sengaja untuk tidak menjangkaunya dalam beberapa waktu.

Saat melakukan ini, saya juga menghindari untuk menggunakan uang kembalian, baik itu uang koin atau uang kertas dengan nominal rendah. Seperti, 1.000, 2.000, dan 5.000.

Saya akan menjangkaunya kalau sudah memang tidak ada uang besar lagi, atau saat terdesak. Seperti, ketika saya kesulitan menemukan uang yang pas untuk membayar belanjaan, maka saya akan segera menemukan uang itu yang memang selalu ada di kantong.

Ilustrasi uang ditaruh di saku. Sumber: Pexels/Karolina Grabowska
Ilustrasi uang ditaruh di saku. Sumber: Pexels/Karolina Grabowska
Uang itu juga bisa diandalkan kalau membayar biaya parkir atau kalau ada penjual yang sedang tidak punya kembalian. Maka, mereka biasanya meminta uang tambahan dengan nominal kecil, agar si penjual dapat memberikan kembalian yang masih tergolong besar nominalnya.

Kebiasaan ini memang tidak terlihat seperti orang yang sengaja mengelola uang seperti menabung atau berinvestasi. Tetapi, kebiasaan ini terasa paling manusiawi untuk diterapkan anak kos.

Untuk melakukannya tidak perlu banyak mendata keuangan, juga tidak perlu berpikir muluk ke depan. Yang harus dilakukan adalah mengetahui harga pasar, mengingatnya, dan tentu harus terus bekerja mencari uang, agar dapat menjaga pengeluaran yang tidak sampai menguras habis uang yang dimiliki.

Uang kembalian ini kalau terus tidak dipakai bisa saja menjadi tabungan dan investasi nyata yang tidak disengaja.

Cara ini juga bisa dilakukan untuk menekan rutinitas berbelanja, karena lebih baik berbelanja sekali langsung dapat mencakup kebutuhan beberapa hari, daripada hanya untuk sehari. Ini nanti akan berguna untuk belajar berumahtangga.

Sebagai lelaki, saya merasa cara ini membuat saya menjadi tidak kaget kalau melihat perempuan datang ke warung/toko kelontong langsung membeli beberapa kebutuhan dan mengeluarkan uang besar. Karena, saya yakin, dia tidak akan belanja lagi esok hari, khususnya di tempat itu.

Jadi, cara ini juga menjadi latihan saya untuk menyamakan cara berpikir dengan perempuan ketika berbelanja. Karena, terkadang saya masih lebih sering mendengar atau melihat keluhan lelaki yang menganggap perempuan lebih banyak berbelanja daripada lelaki.

Padahal, yang perempuan beli, biasanya untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk rentang waktu tertentu. Maka, jangan heran kalau sekali datang ke supermarket, pasar, bahkan toko kelontong, mereka mengeluarkan uang 100.000-an dan kemudian membawa pulang sekantong besar barang belanjaan.

Ilustrasi pasutri berbelanja. Sumber: Pexels/Jack Sparrow
Ilustrasi pasutri berbelanja. Sumber: Pexels/Jack Sparrow
Menariknya, saat perempuan itu melakukannya, pasti dia juga akan selalu menerima uang kembalian. Tidak seperti lelaki kebanyakan yang terkadang tidak mau menerima kembalian setelah membeli rokok.

Padahal, kalau sedang terjepit, uang-uang kembalian itu akan menjadi "malaikat penyambung nyawa". Itu yang sering saya rasakan, dan tentu sudah saya siapkan untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk saat menjalani Ramadan edisi kedua masa pandemi ini.

Selamat berpuasa, selamat berbelanja, dan selamat mengelola uang dengan cara yang tepat, termasuk bagi anak kos saat Ramadan.

Malang, 18 April 2021
Deddy Husein S.

Silakan dibaca juga: Uang Recehan, Riwayatmu Kini (Andry Natawijaya)

Tulisan Sebelumnya: Satu Khas Ramadan yang Dirindukan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun