Ramadan sebenarnya dapat menjadi momen self-healing, secara pribadi maupun secara kolektif. Misalnya, dalam lingkup keluarga.
Itulah kenapa, kedatangan Ramadan sangat penting, karena dapat mengingatkan setiap individu dan keluarga untuk lebih mampu mengontrol diri daripada di waktu-waktu yang lain. Termasuk ketika ada di Ramadan masa pandemi, ini juga menjadi momen untuk lebih tenang untuk menghadapi keresahan akibat masih belum jelasnya kebangkitan ekonomi, khususnya bagi saya dan keluarga.
Ini adalah Ramadan yang kembali berat, bahkan sebenarnya lebih berat dari sebelumnya, karena perekonomian tidak kunjung membaik. Sedangkan, hidup masih berusaha untuk disambung terus.
Hanya saja, permasalahan seperti ini harus berusaha dihadapi. Sekalipun sangat mengandung godaan untuk pesimis.
Ini juga bisa dikatakan makin diperparah dengan terpisahnya ruang dan waktu antarpribadi dalam keluarga. Seperti yang saya alami sekarang.
Ketika perekonomian tidak kunjung membaik, justru rasanya masih sulit untuk berkumpul lagi dengan orang tua. Ini membuat Ramadan terasa jauh dari kenikmatan yang diharapkan.
Sebenarnya, pengalaman ini sudah bertahun-tahun terjadi. Tetapi, ketika perekonomian tidak memadai, perpisahan antara anak dengan orang tua seperti telah memperuncing permasalahan hidup.
Sebagai anak, sudah sewajarnya membantu orang tua. Tidak hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga tenaga.
Bahkan, sumbangan tenaga terasa lebih penting. Karena, tenaga anak pasti lebih besar dari tenaga orang tuanya.
Itulah yang membuat saya seringkali merasa sangat tidak berguna ketika melihat orang tua terus berjuang secara terpisah membangkitkan perekonomian. Sedangkan, anaknya belum bisa membantu, khususnya tenaga.
Padahal, seharusnya saya yang mencangkul lahan perkebunan yang sejak Desember 2020 dibuka setelah mengalami kebangkrutan di usaha warungnya. Beruntung, orang tua, khususnya ibu selalu mempunyai ide untuk bangkit, seperti lewat usaha membuka lahan perkebunan di tanah kosong milik pemerintah.
Akhirnya, kebun tersebut harus gagal panen, ketika Ramadan sudah tiba. Padahal, setiap momen Ramadan biasanya akan ada usaha lebih untuk menabung agar dapat menyambut Lebaran dengan baik.
Seperti menyiapkan kue-kue, juga memberi uang jajan ke anak-anak kerabat. Memang, tradisi semacam itu tidak tertulis, tetapi mulut dan otak biasanya sudah mematri kebiasaan itu, termasuk ketika orang tua saya dua-duanya tipikal overthinking--dengan kadar berbeda.
Saya tentu tidak mempermasalahkan itu, karena banyak orang mempunyai kepribadian seperti itu. Termasuk ketika harus berhadapan dengan "tradisi" dan stereotip tentang Lebaran. Kita hidup di lingkaran itu, bukan di Kutub Selatan.
Seandainya tidak ada banjir di lahan perkebunan, mungkin cobaan yang dialami orang tua tidak akan lebih terasa berat. Termasuk, seandainya saya berhasil ada di dekat mereka, tentu saya akan berusaha meringankan beban mereka.
Berkumpul dalam duka-suka, bersatu-padu berjuang menjalani Ramadan agar khidmat dan berkah. Tentu, saya berharap momen ini bisa terjadi suatu saat nanti.
Entah, cepat atau lambat. Saya ingin melihat lagi senyum manis ibu, mendengar celotehannya, dan tentu ingin terus tertular oleh semangatnya yang selalu tinggi untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat.
Selamat menjalani Ramadan untuk orang tua tercinta, juga untuk semua orang yang mungkin juga sedang terpisah oleh keluarga tersayangnya. Semoga Ramadan yang akan datang lebih baik dari Ramadan saat ini.
Malang, 16 April 2021
Deddy Husein S.
Catatan: Semua gambar/foto yang tersemat di badan artikel--kecuali gambar sampul artikel--adalah dokumentasi pribadi (dari orang tua penulis).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H