Konsep "Herstory" yang sedemikian rupa membuat saya tahu bahwa perempuan bisa merangkul, dibandingkan lelaki yang kadang butuh banyak teknik untuk mengajak orang lain mau memperhatikannya. Sedangkan, lewat "Herstory", tokoh si Pembicara tidak perlu menambahkan teknik selain public speaking.
Teknik inilah yang menurut saya kemudian masih bisa dinikmati, sekalipun teater makin ke sini makin "aneh-aneh". Ternyata, cara yang mirip 'stand up comedy' itu masih bisa dilakukan di atas panggung teater dewasa ini, dan tentunya melibatkan perempuan sebagai tokoh utama.
Pemandangan ini yang kemudian menggiring saya untuk melihat lagi bagaimana peran perempuan di teater, khususnya di Indonesia. Apakah mereka bisa diandalkan seperti kaum lelaki yang masih selalu menonjol di teater?
Pertanyaan itu kemudian mengarahkan saya untuk melihat sepak terjang beberapa perempuan di teater di Indonesia.
Saya mulai dengan nama Ratna Riantiarno. Nama yang sangat familier di kalangan pelaku teater Indonesia.
Bersama Ratna yang dipersunting pada 1978, Nano mendirikan Teater Koma sekaligus mengelolanya sampai sekarang. Di luar Teater Koma, Ratna juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1996-2003). Inilah yang membuat namanya di dunia kesenian Indonesia semakin lekat.
Ratna juga konsen terhadap regenerasi sutradara di forum Asia. Ia bersentuhan dengan teater berawal dari pementasan "Kapai-Kapai" (1969) bersama Teater Kecil. Teater yang didirikan oleh Arifin C. Noer.
Rekam jejaknya berteater kemudian dipertegas oleh kemampuannya berakting di film, yang terus ia lakukan sampai sekarang.
Nama selanjutnya adalah Christine Hakim. Meskipun ia sangat identik dengan dunia perfilman, ia adalah didikan Teguh Karya yang mendirikan Teater Populer (1968).