Keterkejutan pertama adalah ketika mendengar bahwa pementasan terakhir akan ada masak-masak. Apakah masak-masak itu menjadi bagian dari pementasan atau bukan?
Keterkejutan kedua adalah ketika pementasan itu hanya menghadirkan dua tokoh. Saya sebut mereka sebagai 'si Pembicara' dan 'si Pemasak'.
Awalnya, saya pikir ini adalah basa-basi. Ternyata, itulah yang memang diungkap lewat pementasan tersebut.
Keterkejutan terakhir adalah tentang konsep interaksi langsung dengan penonton. Sebenarnya, ini sudah tidak terlalu mengejutkan, karena dengan pembawaan cerita sedemikian rupa, memang akan lebih pas jika diiringi dengan interaksi.
Selain itu, saya juga berkaca dengan konsep pementasan hari sebelumnya yang juga ada upaya dari para pemeran mengajak penonton berinteraksi. Artinya, apa yang terjadi di hari sebelumnya terulang, walau dengan sedikit perbedaan.
Perbedaannya, penonton diajak turut berbicara sekalimat-dua kalimat untuk memberi tanggapan terkait hal-hal yang disampaikan atau dipertanyakan si Pembicara. Ini yang kemudian juga menjadi daya tarik dan membuat saya sebagai penonton enggan beranjak dari kursi.
Lewat pementasan ini kemudian saya menemukan adanya bukti bahwa teater juga bisa diusung oleh perempuan dan dengan cara yang bisa dikatakan identik terhadap perempuan. Masak dan membentuk ruang diskusi yang menurut saya adalah perempuan banget.
Masak sekalipun menonjolkan koki-koki lelaki di restoran, hotel, dan acara kuliner di televisi, tetap saja secara kuantitas dan stereotip masih dialamatkan kepada perempuan. Maka, pementasan dengan menunjukkan langsung praktik memasak adalah cara yang tepat untuk menceritakan apa yang biasanya dilakukan perempuan.
Aktivitas berdiskusi yang kemudian juga dapat disebut merumpi adalah pembawaan yang pas untuk menunjukkan kelebihan perempuan. Lewat merumpi, mereka mampu menggiring siapa pun masuk ke dalam pemikirannya.
Biasanya perempuan mampu membicarakan hal-hal yang sedang dipikirkan, termasuk keresahan-keresahan. Itulah kenapa kemudian perempuan seringkali dianggap sebagai kaum baperan. Padahal, lelaki juga punya keresahan yang sayangnya sering ditahan, agar tidak dianggap lemah (fragile masculinity).