Seperti, memperlakukan orang itu menjadi seolah tidak ada. Atau, tidak lagi bersikap seperti sebelumnya (baik) terhadap orang tersebut.
Hal ini mungkin terasa sedikit wajar, jika orang yang akan pergi kurang berdampak positif terhadap tempat tersebut. Tetapi, bagaimana jika justru berdampak positif dan malah banyak?
Rasanya itu sangat tidak manusiawi. Ibaratnya, orang yang akan meninggal, tapi malah dibiarkan meregang nyawa lebih cepat. Padahal, kematian itu punya waktu tersendiri, bukan dipaksakan.
Itu juga berlaku terhadap orang yang akan pergi dari suatu tempat. Sekalipun dia akan pergi, pasti dia masih punya pikiran dan waktu terhadap tempat tersebut. Sederhananya, orang itu pasti masih peduli dengan tempat itu walau takarannya tidak sebanyak sebelumnya.
Itu yang membuat rasanya konyol, jika orang yang akan pergi malah seperti segera didorong untuk pergi. Betapa cepatnya orang membenci ketika merasa tersakiti. Padahal, belum tentu rasa sakitnya setara dengan rasa sakitnya orang yang dibenci.
Ini yang kemudian malah membuat muncul permasalahan baru bagi orang yang akan pergi, yaitu overthinking. Kalau dibahasa-indonesiakan, berpikir berlebihan.
Orang itu pasti akan menjadi tidak nyaman. Ibarat orang pacaran yang memang mulai merenggang dan ingin putus, malah akhirnya memutuskan hubungan itu menjadi tidak baik. Padahal, niatnya ingin putus secara baik-baik, alias akan menjadi teman, bukan musuh.
Memangnya ada yang begitu?
Mungkin ada, walau tidak sebanyak orang-orang yang putus dengan "perang dunia ke sekian". Memang, "bergencatan senjata" dalam hubungan pascaharmonis yang kemudian menjadi disharmoni itu sulit.
Tetapi, bukan berarti tidak ada. Sebenarnya, awal perkaranya di perlakuan tadi. Orang ketika sudah merasa tidak cocok akan saling menyudutkan. Padahal, seharusnya mereka saling mengingat bahwa sebelumnya mereka saling berangkulan.