Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"ENTAH" dan Teater Daring (Bagian 2)

1 April 2021   06:18 Diperbarui: 1 April 2021   13:06 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah adegan dalam pementasan. - Sumber: Dokumentasi Teater Pribumi/Artmedianet

Pembahasan keempat yang tak kalah menarik adalah tentang label pertunjukan teater yang dilakukan Teater Pribumi bersama naskah "ENTAH". Sebenarnya, secara pribadi saya menganggap pelabelan pementasan yang dilakukan secara daring ini tidak perlu dilakukan.

Hanya saja, kalau disuruh memilih antara istilah 'teater virtual' dengan 'teater daring', maka saya memilih istilah 'teater daring'. Alasannya, istilah 'daring' merupakan singkatan dari 'dalam jaringan'. Artinya, istilah ini lebih merujuk pada perantara alias pengantar, alih-alih bentuknya.

Berbeda dengan istilah 'virtual' yang memiliki persamaan kata dengan 'mirip' dan 'maya'. Artinya, istilah ini lebih dekat dengan bentuknya, yaitu sesuatu yang mirip akan cenderung disebut virtual.

Contoh sederhana adalah ketika saya memainkan gim Play Station sepak bola seperti Pro Evolution Soccer (PES), maka itulah yang disebut virtual game. Permainan yang berusaha meniru aslinya. Artinya, virtual itu lebih merujuk pada sesuatu yang 'menyerupai' dan 'seolah-olah'.

Jika label pementasan yang disajikan lewat platform digital disebut 'teater virtual', maka apakah pementasan itu menjadi seolah-olah teater? Seandainya saya menjadi pembuat pementasan tersebut, dan saya bisa mengontrol porsi pementasan itu dalam kaidah keteateran, maka saya tidak bisa menerima anggapan itu dengan ikhlas.

Apalagi, jika kemudian pementasan teater disuguhkan dengan cara mendokumentasikan lewat video belaka. Maka, itu jelas masih disebut teater. Termasuk pementasan "ENTAH", yang sekali lagi masih saya anggap sebagai teater, bukan seolah-olah teater.

Sebuah adegan dalam pementasan. - Sumber: Dokumentasi Teater Pribumi/Artmedianet
Sebuah adegan dalam pementasan. - Sumber: Dokumentasi Teater Pribumi/Artmedianet
Pembahasan kelima, alias yang terakhir adalah tentang unek-unek saya sebagai penonton.

Poin pertama yang menjadi unek-unek saya adalah tentang soundtrack-nya. Menurut saya, jika lagu ini hanya dirilis tanpa pementasan naskahnya, akan sedikit janggal.

Khususnya pada liriknya di bagian awal. Susunannya masih cenderung seperti bertutur, alias ingin mengungkapkan segalanya. Padahal, awalan musik sudah terlihat mulai ingin memacu suasana menjadi tinggi.

Namun, ketika mendengar liriknya, terasa ingin "jatuh" alias kembali ke level mendayu bukan menuju puncak. Baru ketika masuk ke reff/chorus, lagu ini menjadi enak didengarkan.

Perlu beberapa waktu untuk membiasakan diri mendengar lagu ini dengan menyimak liriknya. Dan, secara pribadi telinga saya sangat terbantu dengan akhir adegan "ENTAH", yang kemudian disambung dengan lagu "Terbelenggu".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun