Sebagai orang yang masih tinggal indekos, alias merantau, mi adalah salah satu makanan yang terkadang menjadi paling enak di momen-momen tertentu. Salah satu momen paling membuat mi terasa lezat adalah 'tanggal tua'.
Nahasnya, tanggal tua, bukan lagi hanya terjadi pada akhir bulan, justru juga bisa terjadi saat awal bulan. Ketika orang lain sedang berlomba mengeluarkan uang berwarna biru dan merah saat awal bulan, saya justru mengeluarkan uang paling besar warna ungu atau ungu-kebiruan, dan paling sering warna coklat muda.
Syukurlah, masih ada yang dikeluarin, daripada tidak sama sekali dan ngutang ke warungnya, kan?
Kalau bisa bayar, tidak masalah. Bagaimana kalau tidak? Malu.
Itulah mengapa, ketika uang yang dikeluarkan sudah berwarna coklat muda dan warna-warna pudar lainnya, saya pasti akan melirik dan mencomot bungkusan plastik berisi mi. Saat seperti inilah, saya menganggap mi adalah penyambung nafas surga dunia saya.
Lebay? Semoga Anda tidak merasakannya, ya! Hehe.
Ketika saya sudah menganggap mi sebagai penolong kantong di dalam perut saya, maka saya menepikan segala macam tulisan yang menyatakan bahwa mi merupakan makanan yang tidak sehat. Tentu, dengan catatan jika dikonsumsi secara berlebihan.
Contohnya, saya mengonsumsi mi instan 3 kali sehari persis seperti mengonsumsi nasi atau makanan yang dianggap pokok dan lebih "normal" di masyarakat sekitar. Itu akan membuat orang lain menganggap saya sudah melakukan pola hidup yang tidak sehat.
"Jangan makan mi mulu, Ded!"
Bayangkan, seandainya seseorang dalam kurun waktu nyaris tiga-empat hari, hanya tinggal memiliki uang 10-20 ribu. Apa yang akan ia makan?