Fantastis! Kata yang seharusnya tepat untuk menggambarkan seri perdana MotoGP 2021, khususnya di kelas utama.
Kata fantastis merujuk pada pemandangan duel sengit yang tidak ada habisnya sejak awal hingga akhir.Â
Secara detail, itu dapat ditandai sejak awal balapan, ketika para pembalap yang mengisi baris start depan tetap mampu memulai balapan di baris depan.
Pembalap seperti Fabio Quartararo dan Maverick Vinales bisa dikatakan tidak melawak di awal putaran. Dampak positifnya, mereka mampu menekan dominasi Ducati yang juga langsung mengisi baris terdepan.
Bahkan, pembalap rookie, Jorge Martin yang membela tim Pramac Ducati sempat mengisi posisi 4 besar. Artinya, di awal ada Francesco Bagnaia, Jack Miller, Johann Zarco, dan Jorge Martin. Ini sebuah pemandangan mengerikan bagi para rival.
Pada momen ini, Quartararo yang menjadi pendobrak. Ia juga yang mampu menggusur Jack Miller yang entah mengapa kali ini terlihat takberkutik.
Hanya saja, Quartararo seperti bertemu dengan pawangnya, yaitu Johann Zarco. Alih-alih mampu mendekati Zarco dan menyalipnya, Quartararo malah mulai kehilangan kecepatan dan tugas pendobrak akhirnya dijalankan oleh Vinales.
Seolah-olah memang sedang mendapatkan angin bagus, Vinales terus memangkas jarak dengan Zarco dan terus memepetnya. Akhirnya, upaya Vinales berhasil.
Namun, bukan faktor agresivitas saja yang membuat Vinales garang, tetapi dugaan kekuatan ban yang masih oke sepertinya sangat membantu Vinales.
Tugas Vinales kini adalah mengejar dan menggusur Bagnaia. Pembalap yang juga akrab dipanggil Pecco itu akhirnya juga gagal menghadang kengototan Vinales untuk masuk ke sisi dalam tikungan.
Vinales memimpin. Pemandangan yang bisa dikatakan jarang terlihat, karena sejak 2018 (tanpa 2020) pemimpin jalannya balapan Qatar biasanya Ducati atau Honda, bukan Yamaha.Â
Yamaha memang tidak sepenuhnya kalah bersaing, hanya saja faktor kecepatan khususnya di lintasan lurus itu adalah momok Yamaha.
Namun, kali ini, Yamaha khususnya lewat Vinales seperti membuktikan bahwa tenaga mereka tidak sepenuhnya kalah dengan motor lain. Apalagi, dalam hal menaklukkan tikungan, mereka masih jago.
Menariknya, saat itu, situasinya bisa dikatakan nyaris mirip dengan sekarang. Pada musim 2017, Vinales pertama kali membela Yamaha yang kala itu masih bernama Yamaha Movistar.
Artinya, Vinales saat itu sedang memiliki kepercayaan diri tinggi dan ingin membuktikan bahwa dirinya memang pantas membela pabrikan besar seperti Yamaha. Itu juga mirip dengan sekarang, ketika dirinya kini resmi menjadi pembalap utama tanpa bayang-bayang Valentino Rossi.
Meskipun, musim lalu ia sudah ditunjuk sebagai patokan pengembangan motor, namun masih adanya Rossi di garasi yang sama tentu akan memengaruhi cara kerja tim. Ini yang diduga telah berbeda ketika musim 2021 Yamaha sudah menggeser Rossi ke tim satelit.
Visi Vinales diprediksi menjadi lebih didengar, meskipun di dekatnya ada Fabio Quartararo yang sempat membuat orang berdecak kagum pada awal musim lalu. Inilah yang seperti menjadi momentum bagus bagi Vinales untuk percaya diri terhadap kemampuannya.
Itu berkebalikan dengan mantan rekannya, Valentino Rossi. Rossi justru mampu tampil bagus saat balapan dibandingkan saat latihan bebas dan kualifikasi. Itulah sebabnya, Rossi sering disebut 'the Sunday rider'.
Tetapi, khusus pada balapan ini, Vinales bisa dikatakan tampil sempurna, alias mantab abis! Ia tidak tercecer saat start, yang mana itu adalah pemandangan khas Vinales dalam dua musim belakangan.
Perubahan itu yang membuatnya tidak terlalu kesulitan untuk mencatatkan progres selama balapan. Ia juga mampu memanfaatkan agresivitas Quartararo dalam memecah konsentrasi pembalap Ducati dengan terus membuntuti rekan setimnya.
Ketika El Diablo mulai terhadang oleh degradasi ban, giliran Vinales yang membuat tim Ducati sempat memegang kepala.Â
Bagaimana tidak, mereka yang sempat terlihat perkasa di awal balapan justru mulai tergerus oleh motor-motor biru, Yamaha dan Suzuki.
Namun, Ducati patut bersyukur, bahwa mereka memiliki satu pembalap spesial yang bisa dikatakan menjadi pembalap terbaik setelah Vinales pada seri ini. Dia adalah Johann Zarco.
Zarco bisa disebut cerdas, karena dia tidak mengikuti tindakan Pecco yang terus menggeber motornya untuk berusaha membuat jarak.Â
Justru, ketika Pecco terlalu agresif, ia terlihat mulai membiarkan Pecco di depan.
Keputusannya sempat terlihat salah atau mungkin penonton akan menganggap Zarco sudah kehabisan daya cengkeram terhadap bannya.Â
Namun, apa yang dilakukan Zarco pada akhirnya mampu digunakan untuk bertarung sengit dengan Mir.
Mir sempat membuat Zarco hampir "hanya" akan memperoleh podium yang tersisa, yaitu posisi ketiga. Tetapi, kesialan justru menghampiri Mir di tikungan terakhir.
Apa yang terjadi pada Zarco bisa dikatakan keberuntungan yang menghampiri akibat usaha dan kesabaran. Ia juga bisa dikatakan mampu membalap dengan rapi, meskipun daya cengkeram bannya terus merosot.
Ia terlihat lebih taktis dibandingkan pembalap Ducati lain, bahkan yang paling berpengalaman seperti Jack Miller. Zarco seperti sudah tahu bahwa motornya tidak bisa dipaksa untuk seperti motor Yamaha dan Suzuki yang memiliki akselerasi mulus di tikungan.
Itulah mengapa, ketika daya cengkeram bannya terdegradasi, ia masih tidak sesulit Pecco dan Miller. Bahkan, seandainya Mir tidak melakukan kesalahan, mungkin Zarco tetap bisa berupaya mengajak duel Mir lebih dramatis lagi di garis finis.
Semua ingin mengawali musim dengan hasil yang terbaik. Namun, yang juara tetaplah hanya satu. Dan itu dapat dicapai dengan strategi yang tepat, seperti Vinales, juga keuletan dalam menjaga kemampuan motornya sampai di titik-titik paling kritis seperti yang dialami Zarco.
Selamat buat Vinales dan Zarco! Selamat buat Yamaha yang kembali bersorak di awal musim. Semoga, mereka juga bisa bersorak di akhir musim.
Deddy Husein S.
Terkait: Motogp.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H