Inilah yang memunculkan faktor keempat, yaitu keberadaan talenta penggarap musik di komunitas teater. Dalam beberapa kesempatan, saya melihat beberapa komunitas teater mulai akrab dengan keberadaan anggota-anggota yang memang mahir bermain musik.
Ketika melihat potensi itu, jelas, tidak ada sutradara teater yang ingin menyia-nyiakannya. Menurut saya, itu langkah cerdas dan wajar.
Itu juga akan membuat teater tidak hanya dikenal sebagai penghasil aktor-aktor hebat yang nantinya menjadi tulang punggung jagat perfilman. Teater juga bisa menjadi wahana berkarya para musisi.
Kalau aplikasi berjoget-joget saja tidak ingin melepaskan diri dari musik, maka teater juga harus begitu. Teater harus merangkul musik dengan erat untuk menggaet penonton serta calon penonton teater dari segala lapisan, agar penontonnya tidak hanya berkutat pada pertemanan belaka. Harapannya begitu.
Pembahasan kedua adalah tentang keberadaan teknik sinematografi dalam pementasan "ENTAH". Secara pribadi, saya tidak memperdebatkan hal ini.
Alasannya, saya sudah menonton trailer-nya terlebih dahulu. Saya juga menonton video klip lagu "Terbelenggu". Maka, saya sudah punya sedikit bayangan, bahwa pementasan ini tidak hanya merekam adegan, tetapi juga menggunakan teknik pengambilan gambar ala film.
Alasan lain, setelah saya menonton pementasan tersebut, saya tidak merasa banyak terganggu. Termasuk dalam hal kekhawatiran penonton terhadap 'perasaan'.
Biasanya, penonton teater mampu merasakan kelekatan terhadap cerita dikarenakan dapat mengeksplorasi seluruh adegan di panggung. Aktor, tempat, suasana, dan pergerakan dapat dilihat dengan bebas.
Itu yang membuat penonton teater dapat menangkap 'perasaan' terhadap pementasan. Bagaimana dengan saya?
Sejauh saya menonton teater, tidak semua pementasan dapat menggugah 'perasaan'. Faktornya macam-macam. Bisa karena kisah yang diangkat, kejelasan vokal aktor, atau jarak antara panggung dengan tempat saya menonton.