Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Takut Turun Takhta

23 Maret 2021   12:16 Diperbarui: 23 Maret 2021   12:58 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desember, tanggal 16. Pada suatu acara yang mewah. Ada banyak orang berdatangan dengan mobil-mobil mengkilat dan orang yang turun akan langsung menapakkan kaki di karpet merah.

Kemudian, ada dua orang turun dari mobil yang juga terlihat elegan. Turun sepasang kaki jenjang dengan hak yang tidak terlalu tinggi. Lalu disusul sepasang kaki yang cukup kecil berselimut celana kain berwarna abu-abu muda dan sepatu pantofel hitam mengkilat yang juga tidak besar.

Ternyata, itu adalah pemandangan dari seorang perempuan anggun yang tangan kirinya menggenggam erat tangan seorang bocah lelaki manis. Sorotan kamera menyerbu sepasang ibu-anak tersebut.

Kamera-kamera itu juga memotret ekspresi mereka. Yang satu tenang, yang satu terlihat gugup.

Mereka masuk ke gedung di mana acara itu tergelar, dan kita sepertinya tak diizinkan untuk mengetahui bagaimana kemeriahan acara tersebut. Jadi, sekarang kita beralih ke pemandangan di dalam sebuah rumah yang ternyata milik perempuan dan bocah lelaki tadi.

Penampilan perempuan itu terlihat seperti ibu rumah tangga kebanyakan. Rambut diikat ke atas, dan tanpa riasan wajah. Hanya saja, ada suatu hal yang khas pada dirinya, yaitu selalu menggunakan kemeja putih lengan pendek dan celana pendek.

Dia seringkali terlihat asyik melakukan sesuatu pada kertas-kertas putih polos yang ada di atas meja yang bisa disebut meja kerjanya. Rupanya, dia seorang komikus jika dilihat dari gambar-gambarnya. Entah mengapa, dia masih menggambar dengan cara konvensional meski sekarang sudah era digital.

Tetapi, fokusnya bukan di situ, melainkan pada sosok bocah lelaki yang seringkali membuka pintu ruang kerja perempuan itu. Tanpa sepengetahuan si perempuan, bocah lelaki mengamati punggungnya pada waktu tertentu.

Salah satunya, ketika si bocah lelaki ingin tahu alasan perempuan itu lebih sering di rumah. Khususnya, di ruang kerja itu sejak dua tahun setelah menghadiri acara 16 Desember.

Namun, rasa penasarannya seringkali ditahan. Dia segan untuk menanyakan itu, karena di sisi lain, dia juga senang mulai sering melihat ibunya ada di rumah.

Bahkan, ibunya juga tidak jarang lagi untuk menjemputnya di sekolah. Kalaupun tidak dijemput, ia pasti akan melihat ibunya telah membukakan pintu sesaat setelah kedua kakinya menginjak beranda rumah.

Saat melihat pintu dibuka oleh ibunya, kedua matanya berbinar dan seolah-olah sudah melupakan apa saja yang telah terjadi di sekolah. Itulah mengapa, ia selalu menjawab "tidak ada" kepada ibunya, ketika ditanya tentang apa yang terjadi di sekolah.

Kali ini, 'tidak ada' yang ia maksud bukan karena ia ragu untuk menceritakan apa yang terjadi di sekolah. Melainkan, karena ia ingin ibunya yang selalu tersenyum hangat kepadanya takperlu memikirkan apa yang terjadi di sekolah.

"Aku kan lelaki, Ma. Pasti akan kuselesaikan sendiri permasalahanku."

Namun, rasa optimisnya seiring berjalannya waktu mulai tergerus. Ini karena dia mulai tidak tahu apa yang membuat ibunya ada di rumah. Setiap dia ingin tahu, dia hanya bisa membuka pelan pintu ruang kerja ibunya yang dulunya adalah sebuah kamar milik seorang perempuan yang dipanggil 'Bibi' olehnya.

Ketika sudah mengintip ibunya yang selalu duduk tegak, ia hanya bisa menghela nafas dan menutup kembali pintu itu. Ia kemudian kembali ke kamar dan mulai membuka tabletnya.

Bagaimana dengan si perempuan?

Perempuan itu tetap menggoreskan pensilnya, ia terus membuat sketsa dalam bentuk tokoh dan adegan. Aktivitasnya baru berhenti pada pukul 21.00. Ketika alarm di ponselnya berbunyi, maka dia segera mengakhiri aktivitasnya dan memadamkan lampu di ruang tersebut.

Langkah kakinya menuju kamar si bocah lelaki.

"Kamu belum tidur, sayang?"
"Aku menunggu Mama membacakan jilid baru."
"Iya, mama pasti melakukannya."

Bocah lelaki itu segera mematikan layar tabletnya, dan bersiap untuk berbaring. Sedangkan, si perempuan mengambil sebuah buku komik di rak buku dekat meja belajar.

Rupanya, setiap malam menjelang tidur, si perempuan membacakan kisah di buku komik kepada bocah lelaki. Kisah itu terus dibacakan sampai si bocah lelaki sudah terlelap dengan tangan melingkar di pinggang perempuan itu. Jika sudah begitu, si perempuan akan ke luar, kembali ke ruang kerjanya atau juga ke kamarnya.

Namun, kali ini tangan si bocah lelaki tak kunjung melingkar di pinggang perempuan. Kisah yang dibacakan pun mulai mendekati halaman akhir, dan kelihatannya si bocah lelaki masih terjaga.

"Kamu belum mengantuk?"
"Belum, Ma."
"Ceritanya sudah selesai. Apa harus kulanjutin ke jilid berikutnya?"
"Tidak usah, Ma."
"Ada yang ingin kamu ceritakan?"
"Bagaimana Mama tahu?"
"Hanya menebak."

"Mulailah bercerita!"
Giliran perempuan itu yang bersiap mendengarkan apa yang akan diocehkan bocah lelaki.

"Aku sebenarnya sangat senang melihat Mama sering di rumah. Tetapi, aku tidak tahu alasan Mama ada di rumah setiap hari. Ini tidak seperti dulu."
"Mama di rumah karena mama tidak bekerja di tempat yang sama. Juga tidak melakukan hal yang sama, walau masih ada kemiripannya."

"Apa pekerjaan Mama sekarang tetap seperti dulu?"
"Apa maksudmu?"
"Masih dapat membuat orang lain menghormati Mama."

Perempuan itu diam sejenak.

"Dari dulu mama tidak mencari penghormatan, sayang. Mama melakukan apa yang mama suka. Mama suka menggambar, maka mama menjadi arsitek. Itu juga agar Opa dan Oma merelakan mama tetap menggambar.
Kalau kemudian orang lain menghormati mama, itu adalah hak mereka. Bukan kewajiban.
Mengapa kamu memikirkan itu?"

"Orang-orang di sekolah selalu memandangku berbeda, karena mereka melihatmu, Ma. Apalagi, dulu Mama juga berada di balik pembangunan gedung sekolah.
Tapi, sejak Mama di rumah saja, aku mulai khawatir kalau mereka mulai menganggapmu biasa saja. Itu artinya, aku juga akan dibiarkan mendapatkan ancaman.
Agar tidak seperti itu, aku masih mengatakan kalau Mama masih bekerja seperti biasa."

"Mulai sekarang, katakan saja kalau mama sudah tidak menjadi arsitek. Jawablah secara jujur."
"Memangnya, Mama sekarang menjadi siapa? Apa yang membuat Mama tetap bisa dianggap hebat oleh mereka?"

Perempuan itu menyentuh dada bocah lelaki.
"Mama sekarang lebih menjadi mama. Dan, kamu yang akan membuat mama tetap bisa dianggap hebat."
"Jadi, aku harus menjadi arsitek?"
"Tidak. Kamu harus menjadi apa yang kamu sukai."

"Itu seperti saat kamu mendengar kisah di komik yang mama bacakan. Paling pentingnya adalah kamu mengetahui dirimu suka dengan ceritanya. Tapi, tidak harus kamu menamatkan cerita itu.
Kalau kamu bosan, atau tahu bahwa itu tidak penting lagi bagimu, kamu bisa mengakhirinya."

"Seperti tadi?"
"Iya.
Itulah yang juga mama lakukan dalam hal bekerja. Mama suka menggambar, tapi tidak selamanya mama menjadi arsitek. Masih banyak status yang dapat menaungi minat menggambar mama."

"Apakah Mama juga bisa membuat komik?"
"Salah satunya."
"Kalau Mama bisa menjadi komikus, aku senang. Tapi, bagaimana dengan mereka, Ma?"
"Tidak usah kamu pikirkan."

"Aku tidak ingin Mama direndahkan."
"Tapi, kalau kamu suka, bagaimana?"

Giliran bocah lelaki yang diam.

"Sudah. Sekarang, kamu harus tidur, ya!"
"Mama tidur di sini?"

Perempuan itu mengangguk, dan si bocah lelaki mulai melingkarkan tangannya ke pinggang ibunya. Lampu dipadamkan.

Malang, 21-23 Maret 2021
Deddy Husein S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun