Setiap akhir pekan di dua buah bangku penonton di tribun belakang gawang, selalu ada sosok pria berusia 40-an tahun dengan seorang bocah perempuan berusia 7 tahunan. Mereka selalu kompak berekspresi dan merayakan gol jika tim yang didukung mencetak gol.
Entah kebetulan atau tidak, tim yang didukung sama. Sebuah klub yang identik dengan warna merah.
"Merah itu berani, kan Yah?" celetuk si bocah.
"Tentu, sayang. Itulah kenapa dulu aku suka merah."
"Tapi, kenapa kadang mereka mainnya bertahan? Apalagi kalau lawan si biru itu." Pertanyaan yang mulai meruncing.
"Karena untuk menang, tidak hanya menyerang, tapi juga bertahan."
"Ah, mereka sering kalah."
"Karena, tembok yang terus dipukul juga akan retak."
"Berarti mereka tidak berani?"
"Mungkin mereka sedang lupa."
"Tapi, kenapa sering?"
"Karena, itu sudah menjadi kebiasaan. Kau ingat kan, setelah seminggu kubelikan mainan baru, kau menjadi enggan bermain dengan mainan yang lama. Mereka juga seperti itu."
Si bocah diam, tapi terlihat mengernyitkan dahi, sedang matanya terus mengikuti arah permainan di lapangan.
"GOL!"
Teriak kelompok suporter di tribun gawang seberang, dan beberapa sisi yang juga berisi suporter si biru.
"Ah, mereka kalah lagi!" si bocah terlihat kesal.
"Ayo, kita pulang, Yah!"
"Tenang, sayang. Kalah-menang kita tetap lihat sampai habis."
"Kan tidak bagus. Aku lebih baik menonton serial dengan ibu."
"Kenapa begitu?"
"Karena akhir cerita selalu berpihak ke tokoh utama."
"Di sepak bola, tokoh utama hanya ada di akhir musim. Selama belum sampai ke sana, semua berhak bersaing."
"Tapi, kalau kalah terus buat apa dilihat?"
"Itulah namanya persaingan. Ada yang kalah, ada yang menang. Tapi, tidak selamanya yang kalah akan terus kalah, dan yang menang akan terus menang."
"Mereka menang cuma lawan tim mudah."
"Selama 90 menit belum dimulai, semua lawan adalah tantangan baru."
"Apa itu karena mereka sudah biasa menang ketika lawan tim mudah?"
"Begitu juga bisa."
"Berarti, mereka juga bisa menang lawan tim sulit?"
"Tentu saja. Selama ada upaya untuk mengubahnya, hasil yang berbeda juga dapat terwujud."
Si bocah kembali diam. Sepertinya dia mulai fokus menyaksikan pertandingan yang semakin seru.
*
Pekan berganti dua kali. Kembali, kita menyaksikan dua orang, ayah-anak, duduk di tribun yang sama. Pertandingan belum dimulai, si bocah menikmati setengah potong baguette, sedang si ayah menikmati minuman dingin teh hijau favoritnya.
"Yah, kenapa kita duduk di sini, mereka duduk di sana?"
Si ayah yang sempat mengamati sesi pemanasan tim langsung mengubah pandangan menuju sisi yang ditunjuk si bocah.
"Mereka adalah pemegang saham terbanyak klub. Pantas duduk di sana."
"Kapan kita duduk di sana? Apa harus menunggu ayah jadi Rowling?"
"Tidak juga."
"Berarti, kita sebenarnya bisa duduk di sana?"
"Bisa."
"Kenapa tidak pernah duduk di sana? Atau, ayah dan ibu dulu duduk di sana?"
"Ibu tidak pernah kuajak ke stadion."
"Kenapa? Ibu tidak suka?"
"Karena, ibu juga tidak mengajakku menonton serial."
Si bocah diam sejenak.
"Tapi, kita akan duduk di sana, kan?"
"Pada suatu saat yang tepat."
"Aku tidak sabar!" si bocah terlihat senang.
"Justru, kau harus tidak memikirkan itu."
"Kenapa?"
"Target yang tidak dikontrol bisa bikin celaka."
"Aku tidak mengerti."
"Kalau kau mengayuh sepeda tanpa melihat jalan, hanya karena kau merasa sudah jago bersepeda dan hafal jalan, apa yang terjadi?"
Si bocah diam, mulutnya mengunyah baguette yang terlihat nikmat.
"Itu seperti kau yang suka makan baguette tanpa rasa-rasa tambahan, sedangkan ayah memilih muffin atau paczki."
"Berarti, ayah tidak pernah makan baguette ini?"
"Pernah."
Si bocah kemudian tersenyum ke ayahnya, begitu juga si ayah yang membalas senyumnya, sekaligus mengelus kepala bertopi bucket itu. Pertandingan akan dimulai dan mereka segera fokus menyaksikan para pemain keluar dari lorong.
*
Beberapa waktu kemudian, dan setelah pertandingan usai.
"Yah, kenapa kita duduk di sini?"
"Karena, ini kado ulangtahunmu, dan setelah lama kita tidak ke stadion mungkin kau akan tidak nyaman duduk di sana.
Kau suka?"
"Nyaman, dan bisa bertemu teman-temanku. Tapi, aku mengantuk."
"Mungkin karena kau sekarang tidak makan baguette, melainkan makowiec."
Si bocah yang kini menjadi seorang gadis berusia 20-an tahun tertawa.
"Jadi, pekan depan duduk di mana?"
Si gadis menunjuk ke tribun belakang gawang yang biasa ia tempati dulu sewaktu kecil. Si ayah tersenyum, dan mengajak anaknya pulang.
Saat di luar.
"Duduk di situ ada enaknya, tapi juga ada tidak enaknya. Kalau di tempat biasa, berisik, tapi bikin semangat."
"Tidak perlu kaujelaskan, aku juga tahu, Mal."
"Kenapa ayah panggil namaku?"
"Karena, orang lain juga perlu tahu namamu kelak."
***
Malang, 14 Maret 2021
Deddy Husein S.
Sumber gambar: Commons.wikimedia.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H