"Yah, kenapa kita duduk di sini, mereka duduk di sana?"
Si ayah yang sempat mengamati sesi pemanasan tim langsung mengubah pandangan menuju sisi yang ditunjuk si bocah.
"Mereka adalah pemegang saham terbanyak klub. Pantas duduk di sana."
"Kapan kita duduk di sana? Apa harus menunggu ayah jadi Rowling?"
"Tidak juga."
"Berarti, kita sebenarnya bisa duduk di sana?"
"Bisa."
"Kenapa tidak pernah duduk di sana? Atau, ayah dan ibu dulu duduk di sana?"
"Ibu tidak pernah kuajak ke stadion."
"Kenapa? Ibu tidak suka?"
"Karena, ibu juga tidak mengajakku menonton serial."
Si bocah diam sejenak.
"Tapi, kita akan duduk di sana, kan?"
"Pada suatu saat yang tepat."
"Aku tidak sabar!" si bocah terlihat senang.
"Justru, kau harus tidak memikirkan itu."
"Kenapa?"
"Target yang tidak dikontrol bisa bikin celaka."
"Aku tidak mengerti."
"Kalau kau mengayuh sepeda tanpa melihat jalan, hanya karena kau merasa sudah jago bersepeda dan hafal jalan, apa yang terjadi?"
Si bocah diam, mulutnya mengunyah baguette yang terlihat nikmat.
"Itu seperti kau yang suka makan baguette tanpa rasa-rasa tambahan, sedangkan ayah memilih muffin atau paczki."
"Berarti, ayah tidak pernah makan baguette ini?"
"Pernah."
Si bocah kemudian tersenyum ke ayahnya, begitu juga si ayah yang membalas senyumnya, sekaligus mengelus kepala bertopi bucket itu. Pertandingan akan dimulai dan mereka segera fokus menyaksikan para pemain keluar dari lorong.
*
Beberapa waktu kemudian, dan setelah pertandingan usai.
"Yah, kenapa kita duduk di sini?"
"Karena, ini kado ulangtahunmu, dan setelah lama kita tidak ke stadion mungkin kau akan tidak nyaman duduk di sana.
Kau suka?"
"Nyaman, dan bisa bertemu teman-temanku. Tapi, aku mengantuk."
"Mungkin karena kau sekarang tidak makan baguette, melainkan makowiec."
Si bocah yang kini menjadi seorang gadis berusia 20-an tahun tertawa.
"Jadi, pekan depan duduk di mana?"
Si gadis menunjuk ke tribun belakang gawang yang biasa ia tempati dulu sewaktu kecil. Si ayah tersenyum, dan mengajak anaknya pulang.
Saat di luar.
"Duduk di situ ada enaknya, tapi juga ada tidak enaknya. Kalau di tempat biasa, berisik, tapi bikin semangat."
"Tidak perlu kaujelaskan, aku juga tahu, Mal."
"Kenapa ayah panggil namaku?"
"Karena, orang lain juga perlu tahu namamu kelak."
***