Cepat atau lambat sesuatu yang manis bisa menjadi hambar, bahkan pahit. Seperti saat kita mengunyah permen karet. Awalnya manis, semakin lama semakin tidak berasa, dan akhirnya harus dibuang.
Analogi ini tidak hanya berlaku untuk hubungan percintaan, penyebab ghosting, dan sebagainya. Penggambaran ini juga bisa digunakan untuk melihat apa yang terjadi pada sepak bola, khususnya pada sebuah klub.
Saya mengajak pembaca "terbang" ke Anfield Stadium, markas klub juara Premier League 2019/20, Liverpool FC. Ada apa di sana?
Ada kisah menarik tentang sebuah klub yang telah berupaya mengakhiri dahaga gelar liga selama 30 tahun. Bayangkan, siapa yang sanggup hidup tanpa minum air selama itu?
Gelar juara bagi klub juga seperti air. Menyegarkan, melegakan, bahkan juga memabukkan.
Siapa yang berhasil juara, mereka akan bersukacita. Siapa yang juara, mereka akan bangga. Dan, siapa yang juara, mereka dapat duduk santai.
Tiga hal yang wajar dialami oleh setiap klub yang berhasil mencapai tujuan akhir paling maksimal. Mereka berhak berpesta dan mengagungkan diri atas hasil jerih payahnya.
Namun, ada satu hal yang dapat merusak nilai dari keberhasilan itu, yaitu duduk terlalu lama. Duduk terlalu lama ini berawal dari rasa santai yang melenakan dan ini bisa disimbolkan sebagai pengagungan diri.
Ada yang mengagungkan diri sebagai raja, ratu, permaisuri, hingga panglima. Ini juga bisa dialami oleh pesepak bola yang kemudian mengagungkan dirinya sebagai yang terbaik di klubnya, bahkan di kompetisi.
Ini yang kemudian saya lihat di Liverpool. Mereka yang berhasil juara kemudian lambat-laun menumbuhkan rasa pengagungan diri di dalam pemainnya.
Secara langsung, saya membidik dua nama, Sadio Mane dan Mohamed Salah. Nama terakhir memang layak disebut terbaik, karena dia musim ini (2020/21) juga masih menjadi pencetak gol terbanyak klub dan liga.