"... Tresna (iku) jalaran saka kulina sing suwi."
Beberapa waktu terakhir, saya sangat lekat dengan istilah ghosting. Bukan karena saya baru saja ghosting, tetapi karena adanya artikel yang membahas tentang ghosting.
Tertarik dengan istilah itu, saya pun membacanya. Setelah itu, banyak tulisan mulai membahas tentang ghosting. Tentu, dengan cara pandang yang berbeda--kadang sama cuma beda gaya menulisnya, faktor jenis kelamin penulisnya, juga faktor pengalaman si penulis.
Lalu, mengapa saya menulis ghosting juga? Apakah saya pernah melakukannya?
Mungkin.
Saya jawab demikian, karena ghosting di sini seharusnya tidak hanya berlaku dalam hubungan percintaan. Bisa juga terjadi dalam praktik pertemanan, teman sekelas, teman seorganisasi, bahkan teman kerja.
Artinya, ghosting ini bisa disebut sebagai praktik menghilangnya orang-orang yang awalnya datang dan terlihat mampu memberikan sesuatu (dampak). Jika orang tersebut mampu memberikan dampak, utamanya dampak bagus, maka lama-kelamaan orang tersebut mampu masuk ke dalam lingkungan baru yang ia datangi.
Orang lain yang melihat dampak bagus pasti akan makin terbuka dan mulai berani menaruh harapan kepadanya. "Sepertinya dia sosok yang ideal."
Kira-kira, begitu yang akan dipikirkan si penerima kedatangan, mungkin bisa disebut tuan rumah dan yang datang disebut tamu. Nanti, ketika sudah lama berinteraksi, keduanya akan menjadi ikatan pertemanan. Tinggal pilih, pertemanan yang seperti apa.
Hanya saja, tidak dipungkiri, bahwa pertemanan yang diidentikkan pada istilah ghosting adalah pertemanan hati, alias percintaan. Padahal, intensitas orang datang dan pergi juga tinggi di luar hubungan tersebut.
Mengapa kemudian orang lebih banyak menyuarakan perasaan hatinya?
Menurut pengamatan sederhana saya, orang cenderung tanpa sadar lebih mengutamakan dirinya daripada kepentingan orang lain. Saya sebut tanpa sadar, karena biasanya orang-orang yang sangat akrab dalam dunia percintaan biasanya ingin dipandang sebagai makhluk sosial, alih-alih makhluk individual.