Termasuk ketika undangannya diberlakukan berbeda. Misalnya, si Anu diberi undangan secara tertulis (cetak), sedangkan si Benu diberi undangan secara lisan.
"Ben, besok datang ya ke nikahan si Cenu. Nikahnya di situ."
Esok hari, Benu datang dengan waktu yang salah, karena tidak mendapatkan waktu yang tepat seperti si Anu yang tahu pukul berapa pernikahan si Cenu dimulai. Sekali lagi, ini hanya contoh, dengan salah satu akibat dari perbedaan cara mengundang.
Beruntungnya, kehadiran undangan nikah digital bisa dikatakan jauh lebih baik. Mereka tidak seperti undangan lisan, dan juga selangkah lebih menarik daripada undangan cetak.
Hanya saja, faktor etika masih saya renungkan. Bagaimana kalau ada yang tidak terima dengan model undangan tersebut?
Sebenarnya, saya setuju dengan sistem mengundang anonim, tanpa nama. Misalnya, disebut "kepada teman TK-ku".
Melihat tujuan undangannya bisa dikatakan tidak per satu orang, maka undangan itu bisa disebar tanpa perlu membuat duplikasi khusus dengan nama undangan. Namun, apakah itu sopan?
Sekilas, saya berpikir demikian. Namun, saya kemudian berpikir tentang adanya rasa pertemanan di masa lalu yang kemudian dapat menentukan apakah saya merasa terpanggil sebagai temannya pada jenjang itu atau tidak.
Saya yang merasa terpanggil sebagai temannya di masa lalu, akhirnya menghapus nilai "etika" terhadap model undangan tersebut. Karena, si mempelai adalah teman saya, saya anggap undangan semacam itu sudah lebih dari cukup.
Bahkan, seandainya saya adalah guru dan dia adalah murid. Lalu, ia mengirim undangan dengan tujuan "kepada guru TK saya", maka saya tetap akan menghargai undangan itu. Karena, saya masih berpikir bahwa saya memang guru TK-nya.
Artinya, semakin lekat ikatan sosial antara si mempelai dengan si penerima undangan, maka semakin tidak perlu memusingkan faktor etika. Kecuali, kalau Anda ingin mengundang presiden ke acara pernikahan Anda. Itu beda cerita, sekalipun presiden tersebut adalah teman kuliah Anda.